Refleksi dari Kitab Sayd al-Khatir: Cermin Retak di Serambi Mekkah

RTA Nilai BSI Tak Komit Dukung Penegakan Syariat Islam di Aceh Pengurus Besar Rabithah Thaliban Aceh (PB RTA) menilai gangguan layanan Bank Syariah Indonesia (BSI) merusak citra syariat islam yang berlaku di Aceh. Sayd al-khatir
Sekjen Pengurus Besar Rabithah Thaliban Aceh (PB RTA) Tgk Faisal Kuba. Foto: HO for Komparatif.ID.

Ibnu al-Jauzi menulis lagi dalam kitab Sayd al-Khatir: “Di antara tipu daya syaitan yang paling halus adalah membuat seseorang sibuk dengan amal yang terlihat, tapi lalai dari amal hati yang tersembunyi.”

Kita kerap bangga menyebut Aceh sebagai Serambi Mekkah, Nanggroe Syariat; Nanggroe teuleubeh ateuh rung donya, negeri lex-specialis, dan segudang sebutan-sebutan yang “membusung-dada” lainnya. Gelar-gelar itu telah menjadi semacam mahkota kultural dan religius yang diwariskan turun-temurun. Tapi benarkah kita masih pantas menyandangnya?

Di balik semua gelar dan simbol itu, ada pertanyaan sunyi yang kerap kita hindari:Apakah wajah batin kita seindah tampilan luar yang kita banggakan? Apakah kesalehan kita benar-benar tumbuh dari hati yang takut kepada Allah, atau sekadar kulit luar yang dikejar karena tekanan sosial dan kepentingan politik? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang membawa ingatan saya pada sebuah kitab lama (sekitar 500-an tahun yang lalu) yang pernah menggetarkan hati para pencari kebenaran.

Baca: Yati, Kita, dan Aceh Ka Pungo

Dalam kebisingan simbol-simbol syariah yang terpampang di mana-mana, saya teringat pada sebuah kitab tua, Sayd al-Khatir, karya Ibnu al-Jauzi. Bukan kitab hukum, bukan kitab tafsir Al-Quran dan syarah hadist, bukan pula risalah politik. ayd al-Khatir hanya catatan hati seorang ulama yang merasa takut kepada Allah SWT, sambil merawat kesadaran bahwa dirinya bisa tergelincir kapan saja dan dimana saja meski di tengah popularitas dan kealimannya.

Ibnu al-Jauzi menulis Sayd al-Khair bukan untuk menggurui, menyindir atau bahkan menghina. Ia menulis untuk mengingatkan dirinya sendiri akan bahaya kesombongan batin, kesibukan lahiriah, dan keletihan jiwa yang kadang terbungkus dalam kebajikan palsu.

Ia tahu betapa mudahnya manusia tertipu oleh amalnya sendiri, oleh gelar keulamaan, amanah jabatan dan oleh gemerlap popularitas. “Aku melihat diriku,” tulisnya dalam Sayd al-Khatir, “senang bila dipuji, dan sedih bila dikritik. Maka aku sadar bahwa kecintaanku belum murni untuk Allah.” Sebuah pengakuan yang langka dari seorang ulama besar dan sekaligus cermin yang jujur bagi siapa pun yang merasa sedang berada di jalan kebaikan.

Sayd al-Khatir, Cermin yang Tak Ditatap

Cermin semacam itu jarang kita tatap. Kita lebih senang bercermin pada baliho syariah, jargon relijius di media sosial, dan semangat formalitas hukum Islam yang menepuk bahu kita sendiri. Kita bermegah dengan status daerah syariah, tapi enggan bertanya: Apakah keadilan sudah benar-benar hadir di ruang-ruang pengambilan keputusan? Apakah hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, atau justru menjadi alat legitimasi bagi mereka yang berkuasa?

Hari ini, seorang pemuda bisa dicambuk karena duduk terlalu dekat dengan perempuan, tapi seorang pejabat yang memotong dana bantuan yatim-piatu justru mendapat penghargaan karena “jasanya”.

Perempuan-perempuan di pelosok desa masih dibungkam suaranya atas nama aib, sementara predator seksual berselimut status akademis dan jubah kesalehan tetap bebas berkeliaran.

Kita teriak tentang aurat, tapi diam tentang pengkhianatan. Kita cepat bertindak atas zina dua insan lemah, tapi pelan—atau bahkan pura-pura lupa—atas korupsi yang membunuh ribuan masa depan.

Bank Syariah Dalam Polesan Religi

Ibnu al-Jauzi menulis lagi dalam kitab Sayd al-Khatir: “Di antara tipu daya syaitan yang paling halus adalah membuat seseorang sibuk dengan amal yang terlihat, tapi lalai dari amal hati yang tersembunyi.”

Bukankah ini yang terjadi pada kita? Sibuk menjaga citra “Serambi Mekkah”, tapi lalai menjaga batin masyarakat yang mulai kehilangan malu, kehilangan empati, kehilangan rasa takut kepada Allah.

Salah satu ironi paling mencolok lain hari ini adalah dunia keuangan syariah. Di papan-papan nama, bank syariah tampak menjulang megah sebagai simbol kemajuan Islam modern.

Istilah-istilah seperti murābaah, wakālah, mudhārabah, dan ijārah terdengar begitu agung namun pada praktiknya, seringkali hanya sekadar ganti nama dari sistem ribawi yang dibungkus rapi. Banyak yang merasa telah menjalankan sistem ekonomi Islam hanya karena sudah mengganti kata “bunga” menjadi “margin”, atau “kredit” menjadi “akad”.

Tapi di mana letak keadilan ekonomi yang dijanjikan Islam? Di mana empati kepada kaum lemah, yang justru kerap dipersulit oleh tumpukan biaya, penalti, dan administrasi? Bukankah Rasulullah mengajarkan bahwa setiap akad harus dilandasi kerelaan dan kejujuran? Sementara hari ini, banyak akad yang lebih mirip jebakan bagi yang lemah, dan perlindungan bagi yang punya kuasa. Syariah dijadikan produk industri, bukan jalan ibadah. Hukum dipreteli dari ruhnya—dan tinggal kulit yang dibanggakan.

Kita lupa bahwa syariah bukan hanya aturan yang ditulis di atas kertas, tetapi jalan hidup yang menuntut kejujuran dalam kesendirian, keadilan dalam kekuasaan, dan kasih sayang dalam setiap tindakan.

Syariah yang tidak menjelma menjadi akhlak, hanyalah kulit tak berisi. Ia bisa menjadi topeng—atau bahkan tameng—bagi kebusukan yang tersembunyi. Dan dalam konteks ini, kita patut bertanya: Apakah kita benar-benar sedang membela Islam, atau justru sedang menjadikannya kendaraan untuk kepentingan dunia?

Semua ini menunjukkan satu hal: kita sedang kehilangan esensi dan kekeringan spiritual. Kita sibuk membangun kerangka luar, tapi mengabaikan ruh. Dan kerusakan seperti ini tidak bisa diselesaikan dengan regulasi semata, apalagi dengan hukuman yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Yang kita butuhkan adalah pendidikan hati. Tarbiyah al-qulūb.

Inilah titik di mana solusi sejati harus mulai digagas. Pendidikan karakter yang berakar pada nilai-nilai ruhaniah mesti ditanamkan sejak usia dini, bukan sekadar hafalan ayat, tapi pembiasaan adab, penguatan empati, dan pengenalan akan Allah sebagai Dzat yang Maha Melihat, bukan sekadar Maha Menghukum. Anak-anak kita harus dibesarkan dalam atmosfer yang menumbuhkan rasa malu kepada Allah, bukan sekadar takut kepada hukuman atau cambuk.

Keluarga harus menjadi madrasah pertama yang menanamkan kejujuran bukan sebagai teori, tapi sebagai tradisi yang hidup. Masjid bukan hanya tempat ibadah ritual, tapi juga ruang pembinaan nurani umat, tempat orang-orang diajak bercermin. Perguruan tinggi, pesantren dan lembaga pendidikan Islam harus kembali menjadi oase keilmuan yang membebaskan jiwa dari belenggu dunia, bukan sekadar pabrik ijazah atau stempel religius elit, atau komunitas tertentu.

Dan yang lebih penting, para pejabat, akademisi, para tokoh agama, dan pemegang amanah publik harus memulai dari diri sendiri. Karena moralitas tidak bisa ditanamkan lewat surat seruan bersama, instruksi gubernur, instruksi bupati, tausiah fatwa alim ulama dan lainnya, tapi ditularkan lewat teladan.

Aceh tidak kekurangan masjid, tidak kekurangan lembaga pendidikan agama, tapi kita kekurangan keteladanan. Aceh hari ini ibarat tanah yang basah oleh ceramah, tapi kering dari keteladanan; kita surplus mauizah hasanah, defisit ustwatun-hasanah. Masyarakat butuh figur yang tidak hanya fasih berbicara tentang syariat, tapi juga istiqamah menanggung risiko kejujuran, yang hadir sebagai pelindung dan pengayom.

Membaca Sayd Al-khatir adalah belajar menangkap bisikan hati, Seperti Ibnu al-Jauzi yang selalu mengingatkan dirinya sendiri sebelum menasihati orang lain, kita pun harus berani mengakui bahwa mungkin selama ini kita sedang menyimpan bangkai di bawah sajadah.

Sebelum kita kehilangan seluruh makna dari gelar “Serambi Mekkah”, barangkali kita perlu menengok ke dalam, menunduk, dan bertanya ulang: apakah kita masih takut kepada Allah? Atau hanya takut kehilangan pengakuan dunia?

Dari keping-keping cermin yang retak, masih terpantul cahaya kebenaran—meski remang, meski berdebu. Namun selama hati masih bersedia tunduk, mata masih mau jujur memandang, dan jiwa masih rindu pulang, maka pintu menuju makna sejati syariat tak akan pernah tertutup. Sebab rahmat Allah selalu mendahului murka-Nya, dan jalan kembali akan selalu ada bagi yang benar-benar mengetuk. Wallāhul-Musta‘ān.

Faisal Kuba, Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Wathan Aceh.

Artikel SebelumnyaStatus WNI Dicabut, Serda Satria Arta Kumbara Sindir Pemerintah Indonesia
Artikel SelanjutnyaKajari Bireuen Ungkap Penyebab Belum Digelar Pilchiksung 16 Desa di Peusangan
Faisal Kuba
Akademisi STISNU Aceh, Sekjend PB RTA Aceh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here