
Komparatif.ID, Banda Aceh— Rakyat kecil tidak ada yang bela. Isu-isu kerakyatan nyaris tidak pernah menjadi wacana serius dalam dialektika pembangunan. Rakyat kecil dihimpit kemiskinan, narkoba, dan berbagai persoalan amoral lainnya.
Perekonomian rakyat kecil di Aceh tidak ada yang mengawal. Partai politik sibuk berpolitik untuk keuntungan segelintir elit. Beberapa bulan di akhir 2024 hingga awal Mei 2025, kemiskinan semakin dalam di Aceh. Uang nyaris tidak lagi dimiliki rakyat kecil. Dalam kondisi yang kian sengkarut, tidak ada partai yang bicara dan membela rakyat.
Demikian disampaikan oleh anggota Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh Muhajir Juli, yang juga Wakil Kepala Sekolah Jurnalistik Indonesia (SJI) Provinsi Aceh, Senin (5/5/2025) siang di aula gedung Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) Aceh, Banda Aceh.
Dalam diskusi publik Bincang Golkar Sambil Ngopi; Proyeksi Golkar Aceh Pasca Pilkada, Muhajir Juli di depan puluhan peserta diskusi saat ini persoalan ekonomi kerakyatan nyaris tidak disentuh oleh partai politik.
Rakyat Aceh dibiarkan hidup dalam ketidakmandirian ekonomi, kemiskinan, serangan narkoba, dan tindakan amoral lainnya. Kalau ingin melihat bagaimana sudah kualitas orang Aceh di akar rumput, maka bukalah TikTok. Di media sosial tersebut, semua tersaji. Bahkan dengan mudah ditemukan orang Aceh yang menampakkan alat kelaminnya di TikTok, hanya demi mendapatkan perhatian.
“Kalau ingin melihat bagaimana kondisi orang Aceh di akar rumput, bukalah TikTok. Di sana tersaji semua,” kata Muhajir Juli.
Peredaran narkoba di Aceh sudah sangat marak. Aceh menjadi tempat transit narkoba dan obat-obatan terlarang. Uang yang bersumber dari narkoba sudah sangat banyak beredar di Aceh.
Meskipun dunia narkoba bisa menghasilkan para abangda dan para ketua, tapi dunia haram tersebut seperti kanker. Menguntungkan sebagian kecil, tapi merusak dalam skala luas.
“Narkoba tidak akan pernah menjadi solusi perbaikan ekonomi. Lihatlah Kolombia. Andaikan narkoba bisa menjadi ruang ekonomi yang mampu menghadirkan kesejahteraan, maka negara paling maju saat ini adalah Kolombia. Tapi apa yang terjadi di sana?” kata Muhajir.
Baca juga: Andi HS Sebut Partai Golkar Harus Ambil Peran Lebih Besar di Aceh
Setiap tahun dana pangan Aceh mengalir keluar begitu saja. Setiap tahun Rp52 triliun dana pangan Aceh menguap begitu saja. Padahal bila dikelola dengan baik, dana sebesar itu bisa menjadikan rakyat Aceh mampu menjadi masyarakat yang sejahtera dan bahagia.
Pada kesempatan itu, Muhajir berharap Partai Golkar mau mengambil peran, membela kepentingan rakyat, dan berjuang memperbaiki perekonomian rakyat. Rakyat kecil yang saat ini tidak memiliki teman pembangunan, harus ditemani oleh Golkar.
“Dulu, Pak Ibrahim Hasan mampu membangun Aceh dengan gilang-gemilang. Barat Selatan Aceh dibebaskan dari rakit. Proyek Krueng Aceh mampu membuat Banda Aceh bebas banjir. Perekonomian rakyat mulai bertumbuh. Sekarang? Di tengah banyaknya uang Aceh, rakyat kecil justru semakin sulit mendapatkan pendapatan yang layak,” kata Muhajir.
Muhajir Juli juga meminta Golkar menjadi partai yang mendorong wujudnya lembaga pelatihan bersertifikat kaliber internasional bidang migas dan mineral lainnya.
Dalam beberapa tahun ke depan, berbagai sumur migas di lepas pantai Aceh akan beroperasi. Dengan adanya lembaga pelatihan bersertifikat internasional, putra-putri Aceh di akar rumput bisa diserap ke dalam industri besar itu.
“Kita bisa mencontoh pusat pelatihan migas di Cepu dan Solo Tekno Park. Anak-anak rakyat di akar rumput yang selama ini tidak dipedulikan, dilatih di sana. setelah lulus, bisa bekerja di dalam negeri, maupun ke luar negeri. kenapa harus anak-anak masyarakat di akar rumput? Supaya terwujudnya keadilan kesempatan mendapatkan pekerjaan yang bergaji besar,” katanya.
“Bang Andi HS di DPP Golkar saya harap bisa menjadi motor penggerak mewujudkan harapan itu,” kata wartawan tersebut.
Pada kesempatan itu, Ketua DPP Partai Golkar Andi HS mengatakan saat ini pihaknya sedang mendorong nilam Aceh masuk dalam program hilirisasi, sehingga ke depan Banda Aceh bisa menjadi kota parfum di Indonesia.
Terkait lembaga sertifikasi dan pusat pelatihan, dirinya mengatakan hal tersebut perlu diperjuangkan supaya generasi muda Aceh di akar rumput bisa terserap dalam dunia kerja bidang migas dan mineral.
“Kita bisa mendorong perusahaan-perusahaan tersebut berkontribusi. Pada tahap pertama tenaga kerja yang digunakan, adalah yang telah terampil. Kemudian, dari hasil pelatihan yang dibuat, makin banyak Angkatan muda Aceh yang diserap,” katanya.
Diskusi yang dipandu oleh Cut Intan Arifah, menghadirkan tiga narasumber, Andi Hs, Nofriadi,M..I.P, dan Muhajir Juli. Diikuti puluhan orang dari unsur kader Golkar dan mahasiswa FISIP Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh.