Menjadi rakyat Aceh tidak boleh cengeng. Saya sepakat dengan pernyataan teman ngopi pada suatu pagi di teras warkop di sebuah kecamatan di Aceh Utara. Rakyat Aceh sejak zaman konflik telah hidup dalam keadaan ketidaknormalan yang dianggap normal.
Apa yang kurang di Aceh? Sejak zaman Kesultanan Aceh Darussalam, hingga menjadi Provinsi Aceh, Aceh memiliki semuanya. Emas,batubara, minyak bumi dan gas, uang dana otonomi khusus, dana bagi hasil migas, hutan tropis yang menyimpan banyak sumber daya, sungai jernih yang mengalir 24 jam tanpa henti, laut bersih yang menyimpan banyak sekali ikan.
Baca: Evendi Menjadi Pendeta, Ibunda Menangis Meminta Sang Putra Bertaubat
Menurut data, Aceh juga tidak kekurangan sumber daya manusia ahli bidang ilmu dunia. Aceh tidak kekurangan sumber daya manusia bidang ilmu agama Islam. Aceh tidak kekurangan politisi andal yang bergaul hingga ke Pusat. Aceh tidak kekurangan sarjana, Aceh tidak kekurangan apa pun, termasuk orang-orang naif.
Perihal orang naif, Aceh bukan saja tidak kekurangan. Tapi mengalami surplus. Mungkin tingkat pertumbuhan ekonomi negara-negara maju, kalah, bila persentasenya dihadapkan dengan kenaifan orang Aceh.
Seorang guru Matematika pernah mengatakan. Orang-orang bodoh dapat diberi pengetahuan. Semua orang cerdas bermuasal dari orang bodoh. Sedangkan orang naif sulit diberi pengetahuan. Mereka menjunjung tinggi pragmatism. Sesuatu baru dianggap benar, bila menguntungkan dirinya. Orang naif tidak peduli pada apa pun selain dirinya. Kita surplus manusia seperti itu.
Setiap lima tahun sekali kekuasan berganti. Tanpa kekerasan politik, tanpa gangguan ketertiban dan keamanan, tak ada pemimpin di Aceh yang dipilih untuk kedua kalinya. Setidaknya sejak 2006 hingga saat ini, belum pernah kejadian. Yang mengantarkan pemimpin tertentu berhasil duduk kedua kalinya, karena penyelenggara pemilu dan peserta pemilu bekerja curang.
Demikian juga anggota legislatif. Sangat sedikit yang benar-benar dicintai rakyat. Meeka dipilih karena uang.
Pemimpin kita, wakil krakyat Aceh di legislatif bekerja di ruang gelap, menumpuk kekayaan, melakukan korupsi, melakukan kolusi, dan melakukan nepotisme, demi memperkaya diri, memperkaya keluarga, dan memperkaya kolega.
Supaya tidak ditangkap, atau supaya ditangkap di waktu yang lain, mereka bekerja sama dengan anak manusia yang berpangkat besar di institusi hukum. Mereka berkolaborasi melakukan korupsi. Para pemimpin dan wakil rakyat Aceh, ditambah para birokrat yang curang, berkoalisi dalam sekte kejahatan. Mereka menjunjung tinggi segala cara haram, supaya bisa menggerus semua sumber pundi harta rakyat Aceh.
Mereka tidak takut lagi kepada rakyat Aceh. Karena hampir semuanya mudah disuap. Mulai dari [oknum mahasiswa] sampai oknum [agamawan] mudah sekali dibujuk dengan uang dan jabatan. Bahkan tidak sedikit [rakyat] yang buat gebrakan supaya mendapatkan perhatian.
Saat ini Aceh sedang berada di titik nadir. Uang tidak ada di kantong-kantong rakyat kecil. Pasar sepi. Pedagang mengeluh. Kriminalitas mulai menampakkan diri lebih terang. Perekonomian kelas menengah ke bawah hancur. Jangankan uang membeli kondom sutra, beli telur saja sudah megap-megap.
Meskipun kondisi sudah sedemikian buruk, belum ada pemimpin dan wakil rakyat yang melakukan terobosan penting. Setidaknya hadir di tengah masyarakat menyampaikan situasi terkini. Mereka justru sibuk bersandiwara, memainkan melodrama politik. Sembari sikit-sikit menyingkap aksi saling sikut para istri pemimpin, demi menjadikan diri sebagai first lady.
Orang-orang yang tidak tahan dengan kondisi Aceh yang tak pernah membaik sepanjang tahun, sudah lama berpindah haluan ke jalan lebih ringkas. Menjadi bagian dari bisnis haram sabu-sabu, perdagangan ilegal obat keras seperti tramadol, dan lain-lain. Mereka tahu bila tindakan itu salah. Tapi mereka menikmatinya, karena ada saja orang yang membela mereka, menyanjung mereka, memberikan kursi kehormatan kepada mereka.
Lihatlah angka manusia Aceh yang mengidap ODGJ. 21 ribu lebih. Setengah dari angka itu merupakan ODGJ kategori berat. Itu yang terdata. Bagaimana yang tidak terdata? Tentu seperti fenomena gunung es.
Bila pada suatu hari kau menemukan seseorang berbuat salah, dan saat kau menegurnya, dia marah-marah kepadamu, maka kamu telah bertemu dengan salah satu orang Aceh yang mengidap gangguan mental. Karena manusia yang sehat mental, bila ditegur karena berbuat salah, akan segera meminta maaf dan merasa sangat malu. Orang yang tidak malu, bahkan mempertontonkan tindakan amoralnya, maka ia telah masuk dalam golongan ODGJ. Bila bila kamu bertemu dengan penggede negeri ini yang gemar korupsi, gemar kolusi, gemar nepotisme, dia patut dipertanyakan kesehatan mentalnya.
Rakyat Aceh yang masih waras, masih menjunjung tinggi kehalalan rezeki, masih mencintai Islam dengan tulus [bukan modus] harus lebih kuat. Hidup di tengah kenaifan yang berlembaga, sungguh tidak mudah. Tetaplah berusaha menjadi oknum yang mencintai Aceh, Islam, dan segenap isi di dalam negeri ini.
Semoga saja rakyat Aceh yang masih waras, tidak ikut-ikutan naif, bila empat sampai dua minggu lagi kondisi Aceh tidak membaik.
Penulis: Zulfikar, menetap di Aceh Utara.













Mari berdoa bersama saya, berdoa agar dana otsus tidak diperpanjang 5 tahun saja. kalau perlu ramai-ramai masyarakat meng-email DPR RI untuk tidak memperpanjang dana otsus selama 5 tahun saja. jangan hanya rakyat saja yang jangan cengeng, masyarakat juga ingin melihat pejabat-pejabat di aceh juga jangan cengeng karena dana otsus tak diperpanjang.