Rabiah binti Abdullah, Pergi Setelah Purna Sebagai Ibu

Obituari

Rabiah binti Abdullah
Hj. Rabiah binti Abdullah (kiri) bersama putranya H. Mukhlis,A.Md. Selama hhidupnya Hj. Rabiah sangat mencintai anak sambung dan anak kandungnya. Foto: Koleksi keluarga H. Mukhlis.

Rabiah binti Abdullah tidak sempat menikmati masa bulan madu sebagai pengantin baru. Setelah menikah ia diboyong ke Alue Krub, menimang beberapa anak yatim yang sebelumnya memanggil dirinya dengan sebutan Mak Cik. Ia mengasuh anak-anak sambungnya dengan cinta yang tulus. Hingga ia memiliki anak kandung, cinta kepada piatu di rumahnya tak pernah luntur. Pada Selasa sore, 7 Maret 2023, perempuan perkasa tersebut pamit dari dunia fana. Membawa segenap cerita tentang cinta dan kesetiaan.

Hj. Rabiah binti Abdullah bin Teungku Haji bin Ali bin Assegaf, perempuan kelahiran Cot Kuta, 1928, tidak pernah membayangkan akan dinikahkan begitu cepat. Setelah lulus Sekolah Menengah Islam (SMI) di Bireuen, ia bermaksud melanjutkan pelajaran ke Sekolah Persiapan Institut Agama Islam Negeri (SPIAN). Berbekal kemampuan menguasai pelajaran bahasa Arab, ia mantap hendak melanjutkan pendidikan.

Namun mimpi itu terpaksa ia kubur. Karena kondisi daerah sedang tak menentu, Syeikh Abdullah menjodohkannya dengan Cut Hasan bin Syekh Mahmud bin Syekh Abbas bin Syekh Fauzi Hadramaut. pada tahun 1945 mereka mengikrarkan sumpah setia di sebuah Kantor Urusan Agama (KUA) di pesisir Bireuen. Kala itu usia Rabiah baru 17 tahun.

Baca juga: (Obituari) Fiona Zakaria, Ilmuan Aceh di panggung Internasional

Obituari: Tu Min, Ulama Organik Penjaga Keutuhan Aceh

Tidak mudah menjadi seorang ibu pada usia masih sangat muda. Anak-anak yang ia asuh dengan tingkah polahnya yang terkadang membuat ia pusing tujuh keliling, tak sedikitpun melunturkan kasih sayangnya.

jenazah Rabiah binti Abdullah
H. Mukhlis (kiri) dan H. Amir (kanan( menandu jenazah ibu mereka–Hj. Rabiah binti Abdullah– menuju tempat peristirahatan terakhir di Gampong Alue Krub, Peusangan Siblah Krueng, Rabu (8/3/2023). Foto: HO for Komparatif.id

Cinta kepada anak sambung tak juga lekang, ketika satu persatu anak dari rahim Rabiah lahir ke dunia. Tidak mudah mengurus 13 orang anak—sambung dan anak kandung—tapi Rabiah tetap tak mengubah cintanya; semua diberikan porsi yang sama. Bahkan khusus untuk Anwar—anak bungsu dari perkawinan Cut Hasan-Fatimah, diberikan porsi lebih oleh Rabiah. Karena ketika ibu kandungnya meninggal dunia, Anwar masih sangat kecil.

“Ketika Kak Fatimah meninggal, saya selalu teringat kepada Anwar. Bagaimana anak itu? Dia pasti kesepian. Dia pasti merindukan seorang ibu. Mungkin itulah salah satu alasan mengapa saya tidak menolak ketika ayah dan ibu menjodohkan saya dengan Teungku Abi (panggilan Rabiah kepada suaminya),” kata Rabiah binti Abdullah suatu ketika.

Dari 13 anak itu hanya dua yang tidak bersekolah tinggi, yaitu Nuraini (anak sambung) dan Zubir yang mengalami gangguan kesehatan mental. Selebihnya, minimal berhasil menamatkan PGA/SMA.

Beban sebagai ibu bertambah pula karena Cut Hasan sepanjang hayatnya merupakan Keuchik Gampong Alue Krub. Warga seringkali mengadukan kondisi ekonominya kepada Teungku Keuchik. Cut Hasan yang hidup sederhana, tak membiarkan rakyatnya kekurangan bahan makanan. Ia selalu memberi, meski seringkali beras di rumah hanya tinggal sebambu.

Rabiah tidak pernah protes. Ia tahu risiko jabatan yang diemban oleh sang suami. Bila Cut Hasan telah bertitah, Rabiah tak pernah membantah. Ia teguh mematuhi setiap keputusan sang suami.

Usia mereka terpaut cukup jauh, ketika menikah Cut Hasan berumur 40 tahun, sedangkan Rabiah baru 17 tahun. Tapi bekal ilmu pengetahuan agama yang diberikan semasa diasuh oleh kedua orangtuanya, cukup menjadi bekal baginya. Apalagi Cut Hasan juga seorang pria yang memiliki pengetahuan agama yang cukup mumpuni. Cut Hasan sangat telaten membina rumah tangganya.

“Tak sekalipun Teungku Abi membentak saya. Ia tak pernah memarahi saya. Saya pun sangat menghormati beliau. Teungku Abi merupakan hadiah dari Allah untuk saya. Sebagai istri saya benar-benar beruntung,” kenangnya suatu ketika.

Rabiah binti Abdullah, Tetap Berjuang Sepeninggal Suami

Ketika Cut Hasan meninggal dunia, Rabiah binti Abdullah kehilangan tempat bersandar. Kala itu anak-anaknya masih banyak yang menimba ilmu di sekolah. Bila ada yang telah menamatkan pendidikannya, barulah menata hidup. Tapi ada satu hal yang menarik, siapa saja yang telah memiliki fondasi lumayan kuat, akan turun tangan membantu beban ibu mereka. begitulah Cut Hasan dan Rabiah binti Abdullah menanamkan rasa peduli antar sesama.

Sepeninggal Cut Hasan, secara perlahan rumah panggung yang dibangun puluhan tahun, rusak sisi demi sisi. Rabiah binti Abdullah tak mampu lagi memperbaiki. Akhirnya dia membangun sepetak gubuk di dekat rumah lama. Di sanalah dia mengasuh anak-anaknya dengan penuh kesabaran. Demi memenuhi kebutuhan rumah tangga, ia bekerja siang dan malam. Siang membenahi kebun dan sawah, malam membuat kue untuk dititipkan ke kedai di Alue Krueb.

Alhamdulillah, seiring dengan bergulirnya waktu, Rabiah binti Abdullah mendapatkan kesempatan menyaksikan satu persatu putera-puterinya bertumbuh menjadi orang. Ada yang menjadi guru, dosen, pengusaha, dan birokrat di pemerintahan. Mereka hidup rukun dan saling tolong menolong.

Tiga di antara 13 anak-anaknya yang masyur dikenal publik yaitu almarhum H. Saifannur yang pernah menjadi Bupati Bireuen hasil Pilkada 2017. Kemudian H. Mukhlis,A.Md—Dirut PT Takabeya Perkasa Group, dan Muslim beberapa tahun menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Kabupaten Bireuen.

Perempuan kelahiran 1928 tersebut akhirnya tak kuasa melawan waktu. Usianya yang semakin sepuh, membuat ia mudah tergerus penyakit. Satu hal yang menarik di usia senjanya. Meskipun telah mencapai 95 tahun, ingatanya tetap kuat. Mungkin karena ia dulunya bukan saja dapat membaca Quran dengan baik. Tapi juga dapat menghafalnya di luar kepala. Setiap mengajari anak-anaknya mengaji sembari menjahit daun rumbia di kolong rumah, ia mengetahui di mana letak kesalahan ketika anaknya membaca Quran.

Pada Selasa sore, Rabiah binti Abdullah pamit dari dunia fana. Ia dikebumikan di kampung tempat ia dan suami membina mimpi merajut masa depan. Selamat jalan wahai perempuan perkasa, petarung yang berhasil mengalahkan ketidakmungkinan. Ibu yang menyapih seluruh anak-anaknya dengan kasih sayang tulus. Istri yang tegar mendampingi suami di tengah ragam ujian.

Artikel SebelumnyaNurmaziah Pimpin Penilaian Desa Gammawar di Pirak Timu
Artikel SelanjutnyaSambut Ramadan, Pj Bupati Aceh Utara Instruksikan Gotong Royong Massal
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here