Pulo Breuh, Perawan Surga yang Menanti Sentuhan Raja

Sejumlah anak-anak gembira melihat pelepasan tukik ke laut di Pantai Lambaro. Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.
Sejumlah anak-anak gembira melihat pelepasan tukik ke laut di Pantai Lambaro. Foto: Fauzi.

Pulo Breuh sangat tepat bila disebut sebagai rangkaian zamrud di Khatulistiwa. Gunung menghijau, dan pasir putih yang dipeluk oleh ombak biru, menjadikan pulau terbesar di gugusan Kecamatan Pulo Aceh itu, seperti negeri dongeng di kisah 1001 Malam.

Pulo Breuh yang menjadi ibukota Kecamatan Pulo Aceh, terbentang di atas hamparan tanah daratan seluas 58,35 kilometer bujur sangkar, sehingga menjadikannya sebagai pulau terbesar di gugusan kecamatan itu. Gampong Lampuyang, dipilih oleh pemerintah sebagai ibukota kecamatan yang berada di pertemuan Samudera Hindia dan Selat Malaka.

Di masa lalu, Pulo Breuh dipandang penting oleh Pemerintah Hindia Belanda. Di sebuah tanjung pegunungan karst Meulingge, dibangun mercusuar Willem’s Toren III, yang merupakan menara suar langka yang hanya ada tiga di dunia. Satu berada di negeri Belanda dan telah menjadi museum, satu lagi di Kepulauan Karibia.

Menurut sejumlah sumber, dipilihnya Pulo Breuh sebagai tempat pendirian mercusuar, karena kawasan tersebut sangat penting di Samudera Hindia, sekaligus menjadi tempat paling tepat mengawasi Pulau Weh yang direncanakan dijadikan kawasan penting ekonomi setelah pembukaan Terusan Suez di Mesir.

Menara suar dengan tinggi 85 meter, dengan jumlah 7 lantai dan 167 anak tangga, dibangun sangat kokoh. Tebal temboknya 1 meter. Meski telah berusia satu abad lebih, Menara itu masih tetap tegak melayani kebutuhan lampu petunjuk untuk kapal-kapal yang berlayar di Samudera Hindia.

Pulau kecil tersebut juga memiliki sejumlah pantai yang seluruhnya menawarkan keindahan tiada tara. Bak kepingan surga. Hamparan garis pantainya yang mencapai 87,26 kilometer, menawarkan pemandangan penuh pesona dengan permadani pasir putih.

Pulo Breuh menyimpan pesona luar biasa, hamparan teluk dengan air jernih telihat luar biasa. Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.
Pulo Breuh menyimpan pesona luar biasa, hamparan teluk dengan air jernih telihat istimewa. Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.

Baca jugaMercusuar Willem’s Toren III; Nederland di Serambi Mekkah

Warga Pulo Breuh Berbenah

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh Almuniza Kamal, Selasa (14/2/2023) dibuat takjub ketika menuruni Kapal Motor (KM) Suthan Bahari di Pelabuhan tradisional yang berada di tepian Gampong Gugop.

Udara siang yang berembus dari laut membawa aroma segar; campuran rasa angin laut yang telah bercampur dengan hijaunya vegetasi di sekitarnya.

Setiap jengkal tanah di Pelabuhan itu bersih. Tak ada tahi lembu yang dulunya menjadi “sajian pertama” ketika menapaki pulau itu. Tak juga terlihat lembu-lembu yang dulunya menjadikan setiap petak tanah sebagai kendang sekaligus tempat binatang berkaki empat itu “mencari nafkah”.

“Itu masa lalu. Sekarang lembu dilarang dilepasliarkan. Bila ingin memelihara lembu maka harus diikat, atau dipelihara di tempat khusus yang dipagar. Bila ada yang melanggar, akan dihukum Rp 500 ribu per ekor. Bila dalam tempo satu minggu belum ditebus, lembu-lembu itu akan dijual oleh pemerintah desa,” sebut Rizki, sopir Mitsubishi L300 pickup yang mengantar rombongan wartawan berkeliling Pulo Breuh.

Di Gampong Gugop terdapat pantai yang kini dijadikan tempat konservasi tradisional penyu. Di sana setiap bulan November hingga Januari penyu belimbing dan lekang. Demikian juga di Pantai Balu, dan pantai lainnya di sepanjang itu, sering menjadi tempat berlabuhnya penyu dari Samudera Hindia.

Warga berhimpun dalam Lembaga Ekowisata Pulo Aceh (LEPA). Salah satu lembaga di bawah LEPA yaitu Camp Penyu yang saat ini diketuai oleh Badruddin (45) yang merupakan warga Gampong Gugop. Mereka menangkar sebagian telur-telur penyu untuk tujuan konservasi. Selebihnya diperjual belikan atau dikonsumsi.

“Di Pantai Lambaro belum ada aturan yang melarang bahwa telur penyu tak boleh diambil seluruhnya. Kami masih dengan pedoman lama, bila ada 100 butir telur, 10 butir diserahkan kepada Camp Penyu untuk ditetaskan,” sebut Badruddin.

Peraturan tidak boleh mengambil lagi telur penyu untuk konsumsi dan perdagangan sudah diterapkan di Pasie Weung. “Sebelum peraturan itu dibuat, telur-telur penyu di sana dikontrakkan. Setiap tahun sekitar Rp2 juta diserahkan sebagai kebutuhan operasional dua masjid yang ada di sana,” sebut Fauzi, yang bekerja sebagai pegiat wisata di Pulo Aceh.

Pasie Weung juga disinggahi penyu belimbing yang habitatnya kian rentan menurut klasifikasi status konservasi.

Dalam pertemuan dengan Kadisbudpar Aceh di Camp Penyu, Selasa malam (14/2/2023) perwakilan warga mengatakan mereka membutuhkan dukungan dari Pemerintah Aceh.
Dalam pertemuan informal tersebut warga menyampaikan bahwa mereka sudah sepakat mendirikan BUMDES Bersama, kerja sama 12 desa di Pulo Breuh. Lini bisnisnya agrowisata.

Semangat itu telah diwujudkan dengan langkah pertama yang begitu menarik. Gampong Gugop menerbitkan qanun tentang tata kelola satwa peliharaan. Qanun tersebut langsung dilaksanakan sehari setelah disahkan. Hasilnya, sepanjang jalan dari Gugop ke berbagai desa di Pulo Breuh kini telah terbebas dari tahi lembu.

Bahkan kawanan lembu yang dulunya hilir mudik di jalan, kini tak terlihat lagi petantang-petenteng. Pemilik lembu yang bandel juga telah kena batunya. Mereka yang menolak membayar tebusan, harus rela lembunya dijual.

“Warga telah sadar tentang betapa pentingnya menjaga kebersihan, demi menarik perhatian pengunjung,” sebut Sayid, seorang warga yang ditemui Komparatif.ID di Gampong Ule Paya.

Almuniza memberikan apresiasi atas komitmen warga. Dia meminta semangat itu terus dipelihara, supaya semakin hari bertambah pula wisatawan yang jatuh hati kepada Pulo Breuh.

“Untuk menarik pengunjung, kita di sini tak cukup hanya mengandalkan mercusuar Willem’s Toren. Tapi butuh lain-lain seperti homestay yang representatif, kebersihan lingkungan, keramahan warga, plus penyediaan konsumsi,” sebut Almuniza, yang berkomitmen mendukung pengembangan Pulo Breuh sebagai destinasi wisata.

Baca juga: Pantai Lambaro, Surga Penyu Belimbing di Pulo Aceh

Pelabuhan Lampuyang di Seurapong, Ule Paya. Pelabuhan ini masih belum representatif untuk menjamu wisatawan karena kapal yang bersandar masih bergantung pasang surut air laut. Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.
Pelabuhan di Pulo Breueh masih belum representatif untuk menjamu wisatawan karena kapal yang bersandar masih bergantung pasang surut air laut. Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.

Transportasi Masih Menjadi Kendala ke Pulo Breuh

Ongkos menuju Pulo Breuh tidak mahal. Bila menggunakan KMP Papuyu setiap orang hanya dikenakan Rp 25 ribu. Motor Rp 30 ribu. Hanya saja Papuyu jarang sekali berlabuh ke sana. KMP itu hanya sering ke Pulo Nasi yang telah memiliki Pelabuhan representatif.

“Pulo Breuh belum memiliki Pelabuhan yang cocok disandari oleh kapal nelayan sekalipun. Pelabuhan kami sangat bergantung pada pasang surut air laut,” sebut seorang warga.

Bagaimana dengan Pelabuhan Lampuyang yang dibangun di Seurapong, Ule Paya. Pelabuhan itu meski didampingi oleh pusat pendaratan ikan—yang kini telah rusak parah—tak layak bersandar kapal. Pelabuhan bernilai total 404 miliar rupiah yang pembangunannya mulai dilakukan tahun 2012, benar-benar menjadi proyek mubazir.

“Seperti membakar uang, daerah tak untung, rakyat kian buntung,” celetuk seorang warga yang masih kesal bila mengingat fasilitas tersebut; ada tapi tak berguna. Hadir tapi tak memberi andil apa-apa.

“Bila mengingat Pelabuhan itu, hati saya sangat sakit. Kami di Pulo Breuh dipuja-puji, tapi begitu pembangunan dilaksanakan, tak sedikitpun memberikan rahmat untuk masyarakat,” sebutnya lagi dengan nada meninggi.

Selama ini warga mengandalkan beberapa unit boat kayu yang ada di beberapa pelabuhan tradisional. Kapal-kapal itu berangkat pagi dari Pulo, dan balik dari Banda Aceh pada pukul 14.00 WIB.

Setiap penumpang dikenakan biaya Rp 30 ribu. Bila bawa motor tambah 30 rupiah lagi. Ada biaya bongkar muat Rp 40 ribu.

“Mimpi kami pemerintah menyediakan Pelabuhan yang benar-benar Pelabuhan. Bukan Pelabuhan tipu-tipu. Kapalnya bisa berlabuh kapan saja. Bila itu sudah ada, Pulo Breuh akan didatangi sendiri oleh pelancong, tanpa perlu banyak gembar gembor. Kami iri kepada Sabang, padahal potensi kami juga sama dengan mereka.”

Goh Cumok, puncak tertinggi Pulo Breuh menawarkan pemandangan tiada tara yang terhampar begitu alami. Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.
Hutan lebat Pulo Breueh menawarkan pemandangan tiada tara yang terhampar begitu alami. Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.

Warga tersebut yang menyeruput kopi bersama Komparatif.ID tak bicara muluk-muluk. Apa yang dia sampaikan merupakan fakta. Pulo Breuh memiliki keindahan alam yang luar biasa. pantai-pantainya seperti Taman Ekowisata Pasie Weung, Pasie Balu, Pasie Lambaro, Ujong Peuneung, Pasie Demit, dan masih banyak lagi, merupakan perawan-perawan surga yang menanti sentuhan sang raja.

Goh Cumok yang merupakan puncak tertinggi di sana juga sangat potensial. Di puncaknya terdapat sebuah cangkang kerang berukuran besar. Keberadaan cangkang tersebut menegaskan bila di masa Nabi Nuh Pulo Breuh telah ada. Kemungkinan besar cangkang kerang itu dibawa air dalam banjir besar yang menenggelamkan dunia di zaman Nuh membuat perahu mega raksasa yang belum ada tandingannya hingga kini.

Dapatkah Pulo Breuh maju? Warga sudah memulainya. Kini tinggal komitmen pemerintah, benarkah Pulau Aceh menjadi perhatian penting?

“Bantu saya. Anda telah memulai, dan saya wajib mendukung secara maksimal. Janji saya tak muluk-muluk, kita benahi satu persatu. Tentu apa yang kita-citakan ini akan berhasil, bila dukungan dari warga tak kunjung berhenti,” imbuh Almuniza menutup rapat informal di tepi Pantai Lambaro.

Artikel Sebelumnya14 Daerah Sepakati Batas Kewenangan Pengelolaan SDA di Laut Provinsi
Artikel Selanjutnya5 Ribu Lebih Warga Aceh Dipenjara Karena Narkoba
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here