Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto merupakan salah satu program unggulan dengan semangat mulia. Tujuan program MBG sederhana namun sangat penting: memastikan generasi muda Indonesia memperoleh asupan gizi yang cukup, sehat, dan seimbang.
Dengan fokus pada anak-anak dari PAUD hingga tingkat menengah. program ini seharusnya menjadi pondasi melawan stunting sekaligus menyiapkan generasi emas 2045.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan sesuatu yang berbeda. Alih-alih menimbulkan optimisme, banyak masyarakat mulai mengeluhkan pelaksanaan program MBG yang jauh dari ekspektasi. Fakta bahwa anggaran besar telah digelontorkan, tetapi hasilnya justru memunculkan masalah serius, menjadikan program ini rawan kehilangan legitimasi.
Kasus yang mencuat di Aceh, misalnya, patut menjadi alarm keras. Di Bireuen, siswa menerima buah salak yang bukan hanya tidak segar, tetapi ditemukan juga belatung di dalamnya. Alih-alih menyajikan makanan sehat, kasus ini menunjukkan betapa buruknya proses pengadaan dan pengawasan kualitas. Makanan yang seharusnya menyehatkan justru berisiko membawa penyakit.
Aceh bukan satu-satunya daerah dengan persoalan serius. Di Kabupaten Empat Lawang, Sumatera Selatan, sejumlah siswa harus dilarikan ke fasilitas kesehatan akibat mual dan muntah setelah mengonsumsi menu program MBG yang basi.
Di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, menu ayam masih berdarah, sayuran setengah matang, bahkan helai rambut ditemukan dalam makanan siswa. Fakta-fakta ini bukan hanya soal teknis, melainkan mencerminkan lemahnya kontrol mutu dan minimnya tanggung jawab penyelenggara.
Baca juga: Aceh Bakal Dirikan Fasilitas Pendukung MBG di Seluruh Kab/Kota
Masalah gizi pun tidak kalah serius. Banyak menu MBG di berbagai daerah sama sekali tidak mencerminkan standar “Isi Piringku” yang dicanangkan pemerintah sendiri.
Variasi makanan terbatas, porsi tidak memadai, dan kualitas bahan makanan diragukan. Dalam beberapa kasus, siswa hanya mendapat lauk sederhana dengan sedikit buah, tanpa sayuran yang cukup. Jika seperti ini, bagaimana mungkin program bisa disebut “bergizi”?
Yang lebih ironis, dana yang dikucurkan untuk MBG sangatlah besar, mencapai triliunan rupiah dari APBN. Angka fantastis ini seharusnya menjadi jaminan hadirnya makanan sehat, segar, dan layak.
Tetapi kenyataan di lapangan justru sebaliknya: distribusi bermasalah, penyimpanan tidak sesuai standar, bahkan kasus keracunan massal di sejumlah daerah telah terjadi. Dengan kondisi demikian, publik berhak mempertanyakan: ke mana sebenarnya larinya anggaran jumbo tersebut?
Selain itu, kelemahan mendasar program ini adalah lemahnya pengawasan. Banyak Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang ditunjuk belum berpengalaman mengelola makanan dalam skala besar. Standar operasional prosedur (SOP) belum mapan, inspeksi kualitas tidak ketat, sementara distribusi berlangsung terburu-buru. Hasilnya mudah ditebak: makanan tidak segar, kualitas merosot, dan risiko kesehatan meningkat.
Ketiadaan transparansi juga memperparah keadaan. Informasi mengenai vendor, mekanisme distribusi, hingga laporan kasus bermasalah jarang dipublikasikan secara terbuka.
Masyarakat hanya mendengar kabar melalui media setelah ada kasus keracunan atau makanan basi. Padahal, program sebesar ini semestinya dilaksanakan dengan keterbukaan penuh, agar publik dapat ikut mengawasi penggunaan anggaran negara.
Karena itu, evaluasi total adalah satu-satunya jalan keluar. Audit independen terhadap seluruh penyelenggara MBG perlu segera dilakukan. Standar gizi harus dipastikan sesuai pedoman kesehatan, sementara aspek keamanan pangan harus menjadi prioritas mutlak. Presiden tidak boleh menutup mata terhadap fakta di lapangan yang semakin hari semakin meresahkan.
Alternatif kebijakan juga patut dipertimbangkan. Salah satunya adalah menyalurkan dana langsung kepada orang tua melalui mekanisme yang transparan dan akuntabel. Dengan demikian, keluarga bisa menentukan makanan segar sesuai kebutuhan anak. Tentu, skema ini tetap membutuhkan pengawasan, tetapi bisa meminimalkan risiko makanan basi atau distribusi yang gagal.
Jika tidak ada perbaikan serius, MBG berpotensi menjadi proyek mercusuar yang menghabiskan dana besar tanpa memberi dampak nyata. Lebih buruk lagi, anak-anak — generasi penerus bangsa — justru menjadi korban. Mereka yang seharusnya menerima manfaat malah terancam kesehatan akibat makanan yang tidak layak.
Program MBG harus kembali pada esensi awalnya: memberi makanan sehat, bergizi, dan aman. Niat mulia Presiden hanya akan tercapai jika eksekusi di lapangan sejalan dengan semangat tersebut.
Bila tidak, program ini hanya akan tercatat sebagai kebijakan besar yang gagal, meninggalkan luka di hati rakyat, dan menodai cita-cita menyiapkan generasi emas Indonesia.