Profesi Guru Masih Anak Tiri di Indonesia

Menjadi Generasi Pencipta, Bukan Penunggu Profesi Guru Masih Anak Tiri di Indonesia
Feri Irawan, S.Si, M.Pd. Kepala SMKN 1 Jeunieb. Foto: HO for Komparatif.ID.

Profesi guru selalu dielu-elukan oleh pejabat tinggi negara. Tapi di sisi lain, profesi guru ditempatkan sebagai sebuah profesi yang “tak boleh” sejahtera, bahkan dianggap sebagai beban negara.

Di masa Orde Baru masih bertahta, guru belum dimasukkan dalam sebuah profesi. Meskipun julukan kepada guru saat itu sangat keren yaitu “pahlawan tanpa tanda jasa”, tapi guru belumlah dianggap sebagai sebuah profesi.

Sehingga keberadaan guru tidak benar-benar diperhatikan. Mereka hidup dengan gaji pas-pasan, “dipaksa” ikhlas atas nama pengabdian untuk bangsa.

Ketika Reformasi 1998 bergulir, angin segar mulai menyeruak ke dalam dunia guru. Melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru diakui sebagai profesi.

Dengan lahirnya UU tersebut, setiap guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.

Seiring dengan itu, penggajian untuk guru mulai membaik. Melalui sertifikasi, upah yang diterima guru dari negara meningkat, menyebabkan profesi guru mulai menarik minat angkatan muda di Indonesia. Tapi, secara umum gaji guru di Indonesia masih rendah.

Gelombang reformasi yang usianya saat ini telah melebihi 20 tahun, ternyata tidak ikut membawa angin segar bagi profesi guru. Para guru masih merasakan ketidakadilan dalam penggajian, meski tugas yang dibebankan oleh negara semakin besar.

Bahkan, dalam pidato-pidatonya, para pejabat negara kerap menjadikan profesi guru sebagai sesuatu yang seolah-olah tidak penting. para pejabat itu mengeluhkan besaran APBN yang terserap untuk gaji guru.

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam sebuah pidatonya menyebutkan rendahnya gaji guru sebagai tantangan bagi keuangan negara. Sri Mulyani, mengutarakan bahwa kecilnya gaji guru itu merupakan tantangan keuangan negara, dan (entah kenapa, anehnya) berkata apakah semuanya harus ditanggung negara atau masyarakat juga berpartisipasi, menampar kesadaran kita bahwa selama ini guru dianggap sebagai beban negara.

Baca juga: Membangun Karakter Guru Dalam Pembentukan Karakter Siswa

Luka dari pernyataan Sri Mulyani belum sembuh, muncul pula pernyataan dari Menteri Agama Nasaruddin Umar yang memuji profesi guru setinggi langit. Tapi dalam waktu yang sama ia juga sekaligus “melecehkan”.

Nasaruddin Umar memuji guru sebagai profesi mulia. Karena mulia, guru tidak boleh mengejar uang. Guru tidak boleh kaya. Bila ingin kaya maka jangan jadi guru, jadi pedagang saja.

Pernyataan kedua pejabat tinggi tersebut menurut saya merupakan pesan ideologi bahwa negara tidak akan pernah benar-benar berpihak pada profesi guru, dan bahwa siapapun yang memilih jalan pengabdian, harus siap menanggung konsekuensi ekonomi yang memiskinkan.

Bagi saya pernyataan Sri Mulyani dan Nasaruddin Umar telah mengerdilkan makna profesi menjadi sekadar alat untuk mengumpulkan kekayaan. Kalimat itu menjadi bentuk kekerasan simbolik yang mengoyak harga diri guru, membuat guru seolah bersalah karena tidak memilih menjadi pedagang. Seolah nilai tertinggi dalam hidup adalah kemampuan untuk memperbesar kapital.

Kenapa saya bisa bilang begitu? Karena yang bilang seperti itu, adalah orang yang seharusnya berwenang mensejahterakan para guru. Entah mengapa, kalau sudah menyebut kesejahteraan guru, selalu ada saja kontra argumen dan usaha-usaha untuk tidak meloloskannya.

Hal yang menyedihkan dari perkara kesejahteraan guru itu satu sebenarnya: secara terbuka, orang-orang yang ada di pemerintahan terkesan tidak menunjukkan dukungan mereka terhadap perbaikan kesejahteraan guru. Melihat fakta ini, saya heran, apa salah guru hingga orang-orang pemerintah seakan-akan anti betul dengan isu kesejahteraan mereka.

Pernyataan Menteri Keuangan dan Menteri Agama adalah bukti gamblang bahwa kesejahteraan pendidik belum menjadi prioritas pemerintah.

Profesi Guru Paling Krusial

Guru adalah profesi paling krusial untuk sebuah negara. Tak berlebihan jika ada yang bilang kalau yang menentukan nasib bangsa itu adalah guru. Tapi untuk profesi sekrusial itu, kesejahteraan guru malah tak ada bedanya dengan lelucon.

Cara pikir saya amat sederhana: beban kerja harus sesuai gaji. Gaji harus menyesuaikan beban kerja. Jika bebannya berat, gajinya harus besar. Begitu juga sebaliknya. Ya, tidak harus sebesar usulan Anggota Komisi X DPR DPR RI Juliyatmono, menyebutkan bahwa
“Gaji guru standarnya harus Rp25 juta per bulan. Ini baru akan ideal di Indonesia, dan minat menjadi guru akan meningkat”. Meski sebenarnya, angka itu amat pantas.

Justru guru-lah yang sering berjuang melampaui batas tanggung jawabnya demi anak-anak bangsa. Oleh karena itu, yang seharusnya dilakukan pemerintah bukanlah melabeli guru sebagai beban, melainkan memperkuat dukungan, meningkatkan kesejahteraan, serta memberikan penghormatan yang layak.

Di berbagai wilayah di Indonesia, masih banyak dijumpai guru-guru yang memiliki keterbatasan ekonomi. Realitas tersebut menunjukkan adanya ketidak seimbangan dari sistem pendidikan secara nasional untuk memberdayakan guru-guru di berbagai wilayah.

Hal ini berbanding terbalik dengan tuntutan seorang guru yang begitu tinggi, harus mencetak generasi yang unggul secara intelektual, ekonomi, moral, dan sosial dalam kata lain menjadi peserta didik yang sempurna dalam hidupnya

Hal inilah yang membuat munculnya pertanyaan, apakah pemerintah benar-benar menganggap guru sebagai aset bangsa, atau hanya sekedar angka di neraca keuangan negara?

Guru Tak Butuh Pujian Palsu

Untuk apa dipuji setinggi langit, tapi dalam masa yang sama dibiarkan tak mampu membeli apa yang dibutuhkan? Untuk apa guru dipuja-puji sebagai profesi mulia, bila pada waktu yang sama, banyak guru terjerat pinjol, demi memenuhi kebutuhan hidup keluarga? Untuk apa julukan suci nan mulia bila guru tak boleh mendamba hidup sejahtera melalui profesinya?

Guru tak butuh julukan setinggi langit, bila itu menghalanginya mendapatkan kesempatan hidup sejahtera. Karena guru juga manusia, sama seperti pelaksana profesi lainnya.

Predikat profesi mulia ini, sematkan saja ke menteri dan pejabat-pejabat tinggi yang lain. Segala julukan indah untuk guru sematkan saja ke kerah baju menteri, dan pejabat tinggi lainnya. Karena telah mendapatkan profesi mulai, gaji mereka diturunkan saja setara dengan apa yang diterima oleh guru selama ini. bila perlu, digaji saja Rp300 ribu per bulan, dan dirapel tiga bulan sekali, seperti honor honorer guru di sekolah.

Para menteri tidak usah diberi tunjangan, tak perlu disediakan fasilitas apa pun, standar hidupnya disamakan saja dengan guru. Apakah mereka mau? Tentu tidak, bukan?

Demikianlah guru. Sejatinya kami tak membutuhkan pujian palsu. Karena kami tak hidup dengan pujian. Sembako tidak bisa dibayar dengan pujian. Kebutuhan sekunder keluarga tidak bisa ditukar dengan pujian. Kebutuhan primer apalagi.

Artikel SebelumnyaNaik Rakit, Mualem Tinjau Akses Kuala Baru Aceh Singkil
Artikel SelanjutnyaPengusaha Medan Lawan Wali Kota Banda Aceh
Feri Irawan
Feri Irawan merupakan seorang guru. Kepala SMK Negeri 1 Jeunib, juga Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kabupaten Bireuen. Dapat dihubungi melalui email: ferifodic78@gmail.com.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here