Komparatif.ID, Banda Aceh– Pakar teo-antropologi, Prof. Dr. Syamsul Rijal, menilai rendahnya realisasi zakat di Aceh yang hanya mencapai sekitar Rp390 miliar dari potensi Rp3,1 triliun bukan semata akibat kendala teknis, tetapi juga disebabkan oleh cara pandang keagamaan yang kaku, pola budaya paradoksal, dan resistensi kelembagaan di akar rumput.
Menurutnya, kegagalan ini mencerminkan adanya persoalan mendasar dalam memahami hubungan antara dimensi ketuhanan dan kemanusiaan dalam praktik zakat.
Hal itu ia ungkapkan pada sosialisasi potensi dan kewajiban zakat untuk kalangan media yang digelar Baitul Mal Aceh bekerjasama dengan SMSI Aceh di Kopi Nanggroe, Selasa (4/11/2025).
Prof. Syamsul mengungkapkan ]potensi terbesar zakat di Aceh bukan berasal dari individu, melainkan dari sektor perusahaan dan investor yang kini semakin banyak menanamkan modal.
Namun potensi besar itu belum tergarap maksimal karena pendekatan yang digunakan masih sempit dan terjebak pada kerangka fikih formal. Ia menilai, pengelolaan zakat di Aceh masih terpaku pada mekanisme birokratis dan belum menyentuh aspek kemanusiaan yang menjadi ruh dari zakat itu sendiri.
Sebagai solusi, Prof. Syamsul memperkenalkan gagasan “teo-antropologi zakat”, pendekatan yang memadukan nilai teologi dan antropologi agar zakat tidak sekadar dipahami sebagai kewajiban ritual, tetapi juga sebagai instrumen sosial untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan.
Baca juga: Zakat ASN di Aceh Capai Rp3 M/Bulan, Namun Penyaluran Tersendat Administrasi
Ia mencontohkan, banyak umat memahami nilai spiritual salat berjemaah, namun gagal menjalankannya karena tidak mengaitkan ibadah itu dengan konteks kemanusiaan. Hal yang sama, menurutnya, terjadi dalam praktik zakat.
Ia menegaskan, perdebatan tentang siapa yang berhak menerima zakat, termasuk apakah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) layak menjadi mustahik, seharusnya tidak perlu diperpanjang.
“Itu persoalan manusia. Harta itu titipan Allah, dan harus kita keluarkan untuk kemanusiaan,” katanya.
Zakat, menurutnya, bukan hanya pembersih harta, tetapi juga pembersih jiwa, sebagaimana ditegaskan Al-Qur’an melalui perintah “khudz min” yang bermakna aktif: zakat harus dijemput oleh lembaga, bukan menunggu diberikan.
Prof. Syamsul juga menyoroti perilaku masyarakat yang berusaha menghindari kewajiban dengan cara “mengakali” fikih. Ia mencontohkan peternak yang menjual satu ekor sapi menjelang genap satu tahun kepemilikan agar tidak memenuhi syarat haul dan nisab zakat.
“Ini bukan masalah hukum, tapi mindset. Kalau kita sadar sebagai manusia yang dititipi harta, mestinya tetap ada dorongan memberi,” ujarnya.
Ia menilai kecenderungan masyarakat membayar zakat hanya pada bulan Ramadan juga menunjukkan lemahnya kesadaran spiritual. Begitu pula kebiasaan pekerja di kota yang mengirim zakat ke kampung halaman, padahal mereka hidup dan mencari nafkah di kota lain.
Menurutnya, kesadaran lokal semacam itu perlu diubah agar manfaat zakat dapat dirasakan di tempat muzakki tinggal dan bekerja.
Masalah lain, katanya, muncul di tingkat desa. Baitul Mal Gampong sering mendapat penolakan dari Teungku Imum yang merasa berhak menerima zakat fitrah sebagaimana tradisi lama.
Padahal, secara syariat, tidak semua imam layak menjadi mustahik. Di sisi lain, budaya memberi masyarakat Aceh dinilai masih bersifat seremonial dan tidak berorientasi pada pemberdayaan.
“Kita ini seperti Robin Hood, suka berbagi tapi tidak menumbuhkan orang sejahtera baru,” ujar moderator diskusi menimpali.
Prof. Syamsul juga mengkritik gaya hidup modern yang individualistis sehingga mengikis nilai sosial Islam, termasuk kepedulian terhadap tetangga. Ia menutup dengan ajakan agar masyarakat menambah kesadaran kemanusiaan dalam berzakat.
“Zakat 2,5 persen itu ilahiyah. Kalau berani 3 persen, itu artinya setengah persen adalah nilai insaniyah kita,” ujarnya.
Sebagai rekomendasi, ia mendorong agar Rencana Bisnis dan Anggaran Baitul Mal difungsikan sebagai investasi sosial yang bersinergi dengan berbagai lembaga, termasuk media. Ia menilai jurnalis perlu mengambil peran tabligh untuk meliterasi masyarakat tentang zakat sebagai alat keadilan sosial.
“Tujuannya agar mustahik bisa menjadi muzakki. Itulah makna pemberdayaan yang sebenarnya,” pungkasnya.











