Pada awal tahun 2006 yang saya tak ingat lagi bulan dan tanggalnya, saya mendapat undangan dari Institute of Defense and Strategic Studies (IDSS) Singapore untuk menghadiri dan sekaligus memberikan presentasi dalam forum Terrorism in Southeast Asia After Bom Bali I and II. Acara berlangsung di sebuah “function room” Nanyang Technological University, Singapore.
Ketika saya membaca di berbagai media bahwa Prof. Azyumardi Azra meninggal dunia di Malaysia pada Minggu 18 September 2022, saya kemudian mengenang pertemuan beliau dalam forum tersebut di atas.
Baca Juga: Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra Tutup Usia di Malaysia
Pembicara lainnya dari Indonesia adalah Dr. Bahtiar Effendi dari (IAIN) UIN Hidayatullah Jakarta dan Abdul Mu’ti dari PB Nahdlatul Ulama. Dr. Bahtiar berpulang ke rahmatullah terlebih dahulu pada tahun 2019.
Pertemuan dengan Prof. Azyumardi di NTU itu adalah pengalaman pertama saya sekaligus pertemuan terakhir. Sebelumnya, saya hanya “mengenal” beliau melalui tulisan-tulisannya di media massa, khususnya KOMPAS dan melalui beberapa bukunya. Sebagai intelektual-akademisi, tradisi menulis itu beliau teruskan.
Khusus di Harian KOMPAS, sudah tak terhitung artikel-artikelnya yang sangat kritis, tegas, dan lugas di halaman 1 dan 6. Beliau juga sering jadi narasumber dalam dialog-dialog seperti di TVOne (termasuk dalam acara Karni Ilyas), KOMPAS TV, dan MetroTV. Gayanya sangat santun, tetapi beliau juga tidak ragu menyampaikan statemen yang keras dan “nyelekit”.
Sapaan saya pertama di NTU itu adalah saat menikmati teh/kopi pagi di ruang acara. Saat melihat beliau, dalam hati saya berkata, “ini dia Prof. Azyumardi Azra itu.” Tampilan sangat bersahaja, Saya dekati dan salami beliau dengan takzim sambil memperkenalkan diri.
Kami berbicara hal-hal ringan sekitar dua menit. Beliau antara lain tanya berapa usia Fakultas Hukum USK, saat saya sebut saya dosen di FH, dan kondisi kekinian di Aceh. “Bagaimana GAM setelah damai?” tanya beliau, antara lain. Setelah itu kami mengambil posisi duduk yang berbeda.
Seingat saya, Profesor Azyumardi saat itu adalah Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Namun, kehadiran beliau dalam acara IDSS Singapore itu tentu saja bukan karena jabatan tersebut, melainkan karena kepakaran beliau dalam studi keislaman di Asia Tenggara. Karena itu pula, fokus presentasi beliau dalam acara itu adalah mengenai kaitan antara Islam dan terorisme di Asia Tenggara.
Sedangkan saya, berbicara mengenai sejauh mana kemungkinan gerakan rebellion menjadi berubah menjadi gerakan teroris. Seorang pakar dari Srilanka, berbicara mengenai Tamil Elam di negera itu. Peserta dri Filipina presentasi mengenai MNLF di Mindanau, Filipina. Para presenter lainnya berasal dari Singapura, Malaysia, Thailand, Australia, Inggris, dan Amerika Serikat,
Saya masih ingat beberapa hal yang disampaikan beliau dalam forum tersebut. Menurutnya, terorisme itu suatu konsep yang sangat problematik dan sukar sekali mendapatkan suatu pengertian yang sama secara internasional. “Padahal ini sangat diperlukan agar yang disebut teroris menjadi musuh bersama masyarakat internasional” katanya.
Hal yang sama juga berlaku terhadap motif seseorang atau sekelompok orang saat melakukan aksi-aksi teror, termasuk di Asia Tenggara. Gerakan teror di kawasan Asia Tenggara tampaknya ada yang saling terkoordinasi, tetapi ada juga yang bergerak sendiri-sendiri (bukan gerakan regional atau global).
Sayangnya, umat muslim sering menjadi tertuduh atau dituduh, yang pada gilirannya agama Islam menjadi dibawa-bawa. Stigmatisasi yang berkembang adalah bahwa Islam itu agama kekerasan. “Ini tuduhan sangat absurd. Sangat merugikan Islam,” kata Prof. Azyumardi.
Menurutnya, ketika ada muslim yang melakukan teror tidak berarti teror itu dibenarkan dalam ajaran agama. Agama dijadikan alat justifikasi oleh mereka. Di Asia Tenggara, benih-benih radikalisme berdasarkan pemahaman agama yang salah harus dihentikan. Pengajaran-pengajaran agama yang bersifat moderat harus digalakkan. “Terorisme itu tidak diterima oleh Islam,” kata beliau.
Saat makan siang, saya mencari-cari cara untuk bisa berbicara lagi dengan beliau, tetapi usaha saya itu tidak berhasil. Saya lihat beliau sangat serius berbincang dengan beberapa peserta lain, yang kelihatannya peserta dari Singapura.
Kepada beliau berlaku apa yang harus berlaku. Pada akhirnya, semua kita akan mengakhiri perjalanan singkat ini di dunia menuju ke alam akhirat. Dengan kaliber keilmuan dan luasnya pengakuan terhadap kontribusi beliau, maka Indonesia, Asia Tenggara bahkan dunia, tentu saja akan akan merasa kehilangan.
Harian KOMPAS edisi Senin (19/9) memasang foto hitam-putih beliau di halaman 1 dengan judul “Selamat Jalan, Sang Inteligensia Bangsa.” Masih di halaman 1, Fahcry Ali, orang Aceh di Jakarta, pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha, menulis obituari dengan judul “Azyumardi Azra: Intelektual Merdeka,” suatu judul yang pendek tetapi menyajikan potret panjang-berkualitas perjalanan Azyumardi. Di halaman 6, pemikir keindonesia Sukidi menulis artikel berjudul Azyumardi Azra, Duta Islam Indonesia di Barat.
Lalu, di halaman 7, bahkan KOMPAS memublikasi makalah beliau berjudul “Kebangkitan Peradaban, Memperkuat Optimisme Muslim Asia Tenggara.” Dalam makalah yang seharusnya beliau sampaikan dalam seminar internasional di Kajang, Malaysia, itu beliau menyatakan optimismenya bahwa Asia, termasuk Asia Tenggara dengan jumlah penduduk muslim yang besar di Indonesia dan Malaysia, hari ini dan ke depan memiliki potensi besar menjadi pusat peradaban dunia.
Berita KOMPAS dan obituari Fachry Ali, artikel Sukidi, dan makalah Prof. Azyumardi sendiri, sedikit menjadi bahan kepada kita mengapa kehilangan itu begitu terasa. Selamat jalan Profesor! Kontribusi besarmu akan terus diingat dan dikenang oleh bangsa ini dan oleh dunia.