Beberapa negara lebih dulu merespons fenomena post-holiday blues dalam sistem pendidikan mereka. Di Finlandia, misalnya, masa awal pasca-libur kerap diisi dengan aktivitas ringan, classroom bonding, dan evaluasi perasaan siswa. Hal ini selaras dengan prinsip pendidikan berbasis kesejahteraan (well-being education) yang menempatkan kesehatan mental sebagai komponen utama proses belajar.
***
Tak dipungkiri memang, libur Lebaran merupakan salah satu momen paling dinantikan dalam kalender pendidikan Indonesia. Apalagi di tengah padatnya aktivitas pembelajaran, masa libur lebaran menjadi semacam breathing space —jeda yang memberi ruang untuk beristirahat, pulang kampung, menjalin kembali silaturahmi, dan mengisi ulang energi emosional bersama keluarga.
Namun demikian, sebuah realitas yang tidak bisa ditampilkan, ketika liburan usai dan aktivitas sekolah dimulai kembali, tidak sedikit siswa, guru, bahkan orang tua yang merasa lesu, kehilangan semangat, dan sulit menyesuaikan diri dengan rutinitas. Fenomena ini kemudian dikenal dengan istilah post-holiday blues.
Post-holiday blues merujuk pada kondisi emosional yang muncul setelah melewati masa liburan yang menyenangkan. Perasaan ini bisa berupa murung, kurang berenergi, tidak fokus, bahkan stres.
Jika dikaitkan dalam konteks pendidikan, dampak post holiday bisa meluas dalam bentuk yang beraneka ragam, mulai dari menurunnya semangat belajar siswa, menurunnya produktivitas guru, hingga terganggunya ritme kerja satuan pendidikan secara keseluruhan.
Jika ditelisik, ada sejumlah faktor yang mendorong hadirkan fenomena tersebut. Pertama, perubahan ritme harian selama libur membuat tubuh dan pikiran butuh waktu untuk beradaptasi kembali.
Kedua, kelelahan akibat perjalanan mudik yang melelahkan kerap belum sepenuhnya pulih saat hari pertama sekolah tiba. Ketiga, adanya ekspektasi untuk langsung “tancap gas” setelah libur justru bisa memicu tekanan psikologis, terutama ketika dihadapkan pada tumpukan tugas dan target akademik.
Baca juga: Masa Depan Pendidikan Dayah di Tengah Dominasi AI
Sayangnya, sistem pendidikan kita belum banyak memberikan ruang bagi pemulihan emosional pasca-libur. Bahkan, hari pertama masuk sekolah sering kali dipenuhi dengan rutinitas formal: upacara, pembagian tugas, atau langsung kembali ke materi pelajaran.
Tentunya cara yang semacam ini, disadari atau tidak, telah mengabaikan kondisi psikologis peserta didik maupun tenaga pendidik yang baru saja melewati fase emosional intens selama libur panjang.
Padahal, dalam berbagai kesempatan, merdeka belajar bukan hanya soal fleksibilitas kurikulum, tetapi juga soal keberpihakan pada kebutuhan peserta didik secara utuh —termasuk kebutuhan emosional.
Pendidikan yang manusiawi semestinya memberi ruang bagi jeda dan transisi, bukan sekadar mengejar capaian akademik.
Sejatinya pendidikan tidak boleh semata-mata bermuara pada peningkatan kognitif saja, tetapi juga menyentuh dimensi afektif dan sosial. Ini karena anak-anak kita tidak hanya butuh pintar secara akademik, tetapi juga butuh sehat secara emosional dan mampu membangun hubungan sosial yang sehat.
Oleh karena itu, pendekatan pasca-libur sebaiknya dirancang dengan lebih empatik. Hari-hari pertama sekolah bisa diisi dengan aktivitas reflektif dan relasional, seperti sesi berbagi cerita pengalaman Lebaran, membuat jurnal harian, permainan kelompok, atau kegiatan berbasis nilai seperti toleransi dan empati.
Aktivitas semacam ini bukan sekadar “pemanis” belaka, tetapi menjadi strategi pedagogis yang penting untuk membantu siswa beradaptasi secara emosional dan sosial.
Bagi guru, masa transisi juga penting untuk mengatur ulang ritme kerja dan semangat mengajar. Alih-alih langsung mengejar ketertinggalan materi, guru perlu diberi ruang untuk mengkaji ulang rencana pembelajaran, mengevaluasi pendekatan sebelumnya, dan menyiapkan pembelajaran yang lebih kontekstual dan relevan dengan kondisi siswa pasca-liburan.
Sekolah dan dinas pendidikan dapat berperan penting dengan mengadopsi kebijakan yang lebih adaptif. Misalnya, menjadikan pekan pertama sebagai “Pekan Adaptasi dan Reorientasi” –ini sebagai contoh dan istilah aja, di mana fokus bukan pada penguasaan materi, tetapi pada pemulihan ritme belajar.
Ini bukan bentuk pemalasan, melainkan bentuk kesadaran bahwa pendidikan tidak dapat berjalan optimal jika fondasi psikologisnya rapuh.
Beberapa negara bahkan telah lebih dulu merespons fenomena post-holiday blues dalam sistem pendidikan mereka. Di Finlandia, misalnya, masa awal pasca-libur kerap diisi dengan aktivitas ringan, classroom bonding, dan evaluasi perasaan siswa.
Hal ini selaras dengan prinsip pendidikan berbasis kesejahteraan (well-being education) yang menempatkan kesehatan mental sebagai komponen utama proses belajar.
Jika Indonesia ingin membangun pendidikan yang benar-benar memerdekakan, maka dimensi emosional ini tak boleh dikesampingkan.
Post-holiday blues bisa menjadi pintu masuk untuk melihat pendidikan dari perspektif yang lebih utuh —bukan sekadar penguasaan materi, tetapi juga pembentukan manusia yang sehat secara jiwa dan raga.
Libur Lebaran boleh usai, tetapi semangat belajar tak harus hilang. Dengan pendekatan yang lebih empatik dan manusiawi, dunia pendidikan kita justru bisa menjadikan momen pasca-libur sebagai titik tolak pembelajaran yang lebih bermakna dan berkelanjutan.
Nyanban!