Pondok Baru, Pucuk Labu dan Arabika Gayo

Salah seorang penjual di pasar Pondok Baru, Gayo Bener Meriah sedang mengemas sayuran kepada pelanggan. Foto: Komparatif.ID/Muhajir
Salah seorang penjual di pasar Pondok Baru, Bener Meriah sedang mengemas sayuran kepada pelanggan. Foto: Komparatif.ID/Muhajir

Pondok Baru yang berada di Kecamatan Bandar, Bener Meriah, Aceh, merupakan kota kecil yang dikelilingi bukit dan lembah bertanah subur. Kopi arabika Gayo merupakan komoditas utama yang dihasilkan petani di sana. Selain itu, sayur mayur berbagai jenis juga ditanam; sebagai selingan sembari menanti panen bulir-bulir kopi di tengah dinginnya udara Tanoh Gayo.

Pondok Baru merupakan satu di antara beberapa kampung yang membentuk “persekutuan” Pasar Pondok Baru. Gerbang perbatasan dibangun di antara ruas jalan di tengah pasar yang umumnya masih didominasi oleh ruko dan bangunan yang lebih kecil.

Sebagai pasar besar di tengah hamparan tanah rata di pinggang pegunungan yang hijau, sepertinya polusi yang sering memeluk erat pusat keramaian, enggan berada di sana.

Selama 24 jam, kawasan itu dibekap dingin. Meski bagi penduduk tempatan hal tersebut bukanlah persoalan, tapi bagi yang jarang berkunjung, sangat terasa. Konon lagi di malam hari, tentu harus mengenakan jaket.

Demikianlah ketika saya berkunjung ke sana pada Senin (26/12/2022). Sepanjang perjalanan dari Simpang Tiga Pante Raya ke Pondok Baru yang berjarak 18 kilometer lebih, AC mobil tidak saya nyalakan. Kami menikmati pendingin udara yang disediakan alam.

Karena perjalanan kesana sekitar pukul 15.00 WIB, maka kabut mulai menyapa puncak pegunungan. Burni Telong si gunung api aktif itu tak dapat lagi dilihat. Kabut tebal membalutnya dengan erat.

Tiba di Pondok Baru, saya menemui Ihsan Fauzi, seorang teman yang asyik, sekaligus pekerja keras. Ia dan istrinya menjamu saya dan istri dengan kopi arabika tubruk yang sangat nikmat.

Ihsan masih seperti dulu ketika kami sering menyeruput kopi robusta di Banda Aceh; asyik dan hangat.

Sajian Ihsan tentu saja kopi. Karena selama bertahun-tahun, Kecamatan Bandar merupakan salah satu penghasil kopi terbesar di Bener Meriah.

Pada 2020, dari 29 ribu ton produksi kopi Bener Meriah, 310 tonnya berasal dari Bandar. Meski produksi turun menjadi 270 ton di 2021, Bandar tetap menjadi penyumbang terbesar keempat setelah Kecamatan Permata, Pintu Rime Gayo, dan Bukit.

Infografis jumlah produksi kopi di Kabupaten Bener Meriah dari 2018.2021. Ilustrasi: Komparatif.ID/Fuad Saputra
Infografis jumlah produksi kopi di Kabupaten Bener Meriah dari 2018-2021. Ilustrasi: Komparatif.ID/Fuad Saputra

Usai bercengkrama dengan topik utama bisnis media massa, saya meminjam motor matic miliknya. Saya dan istri bermaksud masuk ke pasar berbelanja sayur mayur. Saya ingin membeli pucuk labu dan daun bawang genus allium. Dua sayuran khas dataran tinggi, selain kol, tomat, cabai, wortel dan lain-lain.

Meskipun sudah sore, tapi berhubung setiap Senin merupakan hari pekan di sana, pedagang sayuran masih banyak. Meski demikian, kalau ingin membeli sayuran dalam jumlah banyak lebih baik datang pada pagi hingga siang.

Karena kami hanya ingin beli ala kadarnya –sekadar memenuhi hobi belanja sayur tiap kali berkunjung ke Tanoh Gayo– maka yang penting ada sayur segar. Hanya itu.

Sembari berbelanja, saya menyapu pandangan ke sekeliling pasar. Aneka barang diperdagangkan. Mulai komoditas asli di sana, hingga yang dihasilkan dari luar.

Ketika asyik melihat-lihat, mata saya menangkap sesuatu. Sejumlah mak-mak yang menggelar dagangan di atas badan jalan, menjual depik kering. Ikan khas Danau Lut Tawar yang telah dijemur seperti karéng–ikan bilis yang telah dikeringkan.

Selain itu ada juga bungkusan kecil berbalut daun pisang yang ternyata isinya belacan depik yang rasanya aduhai.

Penjual ikan depik sedang menimbang jualan di pasar Pondok Baru, Bandar, Bener Meriah. Foto: Komparatif.ID/Muhajir

Saya membeli dua muk depik dan lima bungkus belacan. Mak pedagang memberitahu kami cara mengolah depik dan belacan. Kami juga membeli kentang.

15 menit kemudian, tangan saya penuh dengan sayuran berupa pucuk labu siam, daun bawang prei, kentang, depik dan belacan.

Pulang dari pasar, ketika hendak pamit kembali ke Bireuen, Ihsan memberikan oleh-oleh berupa bubuk kopi arabika. Ia juga memberitahu cara menyeduh, dan jenis cangkir yang tepat agar aroma khas arabika Gayo dapat tersaji maksimal.

Selama dua hari pulang kampung ke Bireuen, saya mendapatkan oleh-oleh kopi dari dua orang. Ihsan dan dr. Razak. Sang dokter membekali saya bubuk kopi arabika yang sudah diberi merek Katoomba. Kerennya lagi, keduanya memahami kopi dengan baik. Sehingga oleh-oleh tersebut akan sangat berguna ketika tiba di Banda Aceh.

Dalam perjalanan pulang dari Pondok Baru, kabut semakin banyak, menutup membatasi jarak pandang; menyamarkan keberadaan perkebunan kopi yang pagarnya ditumbuhi labu siam. Sayuran merambat itu meliuk-liuk menindih pagar hidup.

Pucuk-pucuknya yang segar seakan-akan memanggil “Hei, jangan lupa kembali lagi ya. Kami menantimu dengan penuh cinta.”

Artikel SebelumnyaImigran Rohingya Kembali Terdampar, Polda Aceh Lakukan Pendataan
Artikel SelanjutnyaSabang Marine Festival Diusulkan Jadi Event Nasional
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here