Politik Gagasan Demi Keberlanjutan Demokrasi

Demokrasi hraus diselamatkan dengan politik gagasan. Aceh
Muhammad Zaldi

“Demokrasi harus diselamatkan dengan politik gagasan.”

Belakangan ini banyak hal mengalami metamorfosa. Mulai aspek ekonomi, budaya, sosial dan politik. Beberapa tahun terakhir, iklim politik kita mengalami perubahan yang sangat cepat. Kecepatan menjadi kunci penting dalam kehidupan modern.

Power of speed telah menjadi bagian dari peradaban. Tetapi tak selamanya cepat itu baik, karena yang cepat akan kalah dengan yang tepat.

Ketika membicarakan kondisi demokrasi kontemporer, demokrasi yang sangat di agung-agungkan. Tetapi karena latar belakang masyarakat Indonesia yang multicultural, terjadi banyak pembengkokan dalam pelaksanaannya.

Baca juga: Kesetiaan Iyak Demi yang Tercinta

Paul Virilio seperti yang dikutip Yasraf (2011:83) menyebutkan demokrasi tak ubahnya dromokrasi. Dromos atau dalam hal ini dromologi seperti yang diungkapkan Virilio adalah ilmu bertumbuh cepat. Kemudian disandingkan dengan kratia yang memunculkan pemaknaan baru yakni demokrasi yang di dalamnya kekuasaan tertinggi terletak pada kecepatan.

Dalam konteks politik demokrasi kontemporer, kecepatan yang dimaksud adalah kecepatan menguasai safari perebutan massa, kecepatan menguasai media, kecepatan mengejar trend politik dan branding partai yang sepintas lalu mencuri dan menarik simpati masyarakat. Power of speed sudah menjadi syarat mutlak bagaimana menguasai media massa, menguasai lumbung-lumbung jabatan serta menata segmentasi ruang politik.

Hal ini semakin penting jelang pengelaran pesta demokrasi lima tahunan di 2024. Pesta ini akan menyungguhkan berbagai macam hal kepada masyarakat sebagai daya tarik dalam mengaet suara dalam pileg dan pilpres mendatang. Para kontestan akan semakin sering bertemu atau turun menjumpai masyarakat di daerah pemilihan.

Pertemuan-pertemuan dengan agenda memperkenalkan diri dalam bungkusan ”menyerap aspirasi” menjadi satu upaya penting. Dalam pertemuan-pertemuan semacam inilah masyarakat sebagai pemilik suara yang sah dan memiliki hak untuk menentukan wakil-wakilnya di pemerintahan, dapat melihat dan menilai kompetensi dan kapasitas para kontestan politik tersebut.

Tetapi apakah proses penyerapan aspirasi tersebut sudah mampu menjadi nilai tawar? Atau hanya sekedar seremonial layaknya entertaiment di layar kaca. Selama ini masyarakat sudah dibiasakan pada politik transaksional dalam bentuk; sembako, uang, dan lain sebagainya. Ini jelas sebagai upaya merusak demokrasi.

Jika benar yang dikatakan oleh John Dewey bahwa politik sebagai way of life dalam bernegara maka asumsi ini merupakan hal yang paling fundamental yang harus terus diperjuangkan. Politik menjadi hal yang paling mendasar berkaitan dengan segala aspek kehidupan masyarakat. Tetapi yang terjadi justru perebutan kekuasaan malah merugikan masyarakat itu sendiri dikarenakan pola politik transaksional yang sudah dibangun.

Kita sudah mempercayakan bahwa sistem demokrasi menjadi yang paling layak bagi negara besar seperti Indonesia. Semangat demokrasi yang sejatinya adalah menyerahkan kekuasaan ke tangan banyak orang, proses one man one vote masih butuh banyak perbaikan.

Apa yang  kini merusak demokrasi?

Dalam film, demokrasi kadang digambarkan dengan kudeta yang menjatuhkan pemerintah, demo di ibu kota, darurat militer diberlakukan dan media diambil alih.

Dalam buku How Democracies Die  yang ditulis oleh profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, dijelaskan bagaimana demokrasi mati secara perlahan di tangan pejabat terpilih atau presiden.

Bagi Levitsky dan Ziblatt, kemunduran demokrasi hari ini dimulai dari kotak suara. Empat indikator utama yang harus diperhatikan adalah: Pertama, penolakan (atau komitmen yang lemah terhadap) aturan main yang demokratis. Kedua, penolakan legitimasi lawan politik. Ketiga, toleransi atau dorongan kekerasan. Keempat, kesiapan untuk membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media.

Selain melalui kotak suara, dalam buku How Democracies Die terdapat satu bab yang membahas tentang “Fateful Alliances.” Levitsky dan Ziblatt menulis dalam bukunya bahwa terdapat cara lain yang digunakan untuk berkuasa, selain melalui pemilu yakni bersekutu dengan politikus mapan. Keduanya memperingatkan bahwa demokrasi di Amerika Serikat dalam “masalah”.

Tak ubahnya demokrasi di Amerika Serikat, demokrasi di Indonesia juga dalam masalah. Hal ini terpampang nyata dengan masifnya peredaran money politic dan politik SARA yang penuh fitnah. Para politisi yang dekat dengan kekuasaan, seakan menganggap enteng urusan pemilu dengan cara-cara kotor seperti; membeli suara, menyuap penyelenggara, dsb.

Mengedepankan Politik Gagasan

Fakta semacam ini yang menjadikan penulis, berusaha mengajak banyak kalangan terutama pimpinan-pimpinan partai politik, politisi, civil society, dan masyarakat untuk lebih mengedepankan politik gagasan. Bayangkan jika kontestasi politik hanya dijadikan sebagai tujuan oportunis semata, masyarakat akan semakin tak memiliki kesempatan untuk dapat memperbaiki hidupnya. Karena proses yang tak baik, juga akan melahirkan hasil yang tak baik pula.

Amerika Serikat dikenal memiliki konstitusi yang dihormati secara luas. Ada seperangkat aturan yang harus dipatuhi, tetapi Levitsky dan Ziblatt menegaskan bahwa seperangkat aturan saja tidak cukup untuk memastikan bahwa institusi demokrasi menjadi kuat. Aturan itu sendiri, terutama dalam Konstitusi yang sangat sederhana dan pendek seperti yang berlaku di Amerika Serikat, tidak akan pernah bisa–tidak pernah bisa sepenuhnya memandu perilaku. Jadi perilaku kita perlu dipandu oleh aturan informal, oleh norma.

Politik gagasan merupakan salah satu ikhtiar untuk menyelamatkan generasi dari cara berdemokrasi yang semakin hari makin brutal dan jauh dari nilai-nilai yang arif dan bijaksana. Menurut Plato, dalam perspektif naturalnya, politik sebagai tata hidup bersama memiliki tujuan untuk kebaikan umum, kebaikan bersama, atau istilah lain bonum commune. Bagi Plato, kebaikan umum atau kebaikan bersamaakan tercipta jika dalam tata hidup bersama muncul keadilan.

Sedangkan, keadilan hanya akan tercipta oleh proses yang langsung, umum, bebas, rahasia (luber), serta jujur dan adil (jurdil).

Artikel SebelumnyaInfografis: Capaian Pembangunan Aceh Utara
Artikel SelanjutnyaMenelusuri Kaldera Toba di Serambi Vatikan
Muhammad Zaldi
Peminat kajian politik dan sosial. Alumnus Ilmu Politik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here