Komparatif.ID, Sigli—Sudah beberapa tahun ke belakang para pedagang menjual gorengan pisang kering –mereka menyebutnya pisang sale– yang berasal dari pisang barangan yang tidak laku dijual. Pisang barangan yang sudah mencapai fase lembek –melewati batas normal matang—diolah kembali oleh para pedagang.
Di sepanjang tepi jalan lintas nasional Banda Aceh-Medan, tepatnya di Gampong Simpang Beutong, Kecamatan Muara Tiga, Pidie, berjejer kios-kios yang menjajakan pisang barangan siap santap. Pasar tradisional tersebut sudah tumbuh sejak 15 tahun lalu.
barangan yang dijual merupakan hasil kebun warga yang ditanam di ladang pribadi, maupun di atas tanah yang masuk kawasan Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan.
Baca: METI; Aceh Belum Siap Kelola Migas Secara Maksimal
Perkebunan pisang tersebut secara ekonomi sangat menjanjikan. Truk-truk berbadan besar, silih berganti datang ke Simpang Beutong, untuk mengangkut pisang -pisang di sana ke luar Aceh.
Di Aceh barangan dikenal dengan sebutan pisang ayam. Jenis pisang yang paling digemari. Rasanya yang manis—terkadang ada yang rada asam—menjadikan pisang meja tersebut paling diminati di Aceh.
Meski laju dijual ke luar daera, puluhan warga tempatan, maupun warga Laweung, membuka lapak di pisang ayam di sepanjang tepi jalan. Bertandan-tandan pisang mengkal dengan warna menarik, digantung di dahan-dahan kios.
Ada tantangan bagi bagi pedagang. Banana yang sudah matang, tidak bertahan lama. Bila tidak laku dalam lima hari, buah musa paradisiaca akan rontok satu persatu dari dari sisirnya.
Dulu musa paradisiaca yang sudah lembek dibuang oleh pedagang.Seringkali diberikan untuk pakan sapi dan kambing. Mereka tak tahu harus mengolahnya lagi.
Hingga suatu hari, seorang pedagang terilhami, mengupas pisang-pisang lembek yang kulitnya sudah hitam itu. membelahnya menjadi dua bagian, dan kemudian dijemur di bawah terik matahari.
Beberapa hari dijemur, pisang mengalami degradasi ukuran dan warna. Kandungan air yang menyusut drastis, dengan warna cokelat dominan, tidak mengubah rasa pisang yang tetap manis. Dengan bentuk baru, pisang tersebut dapat disimpan lebih lama.
“Orang-orang di sini menyebutnya pisang sale,” sebut Mak Li, pedagang pisang barangan yang ditemui Komparatif.ID, Senin (1/7/2024).
Pernyataan Mak Li tentu tidak sepenuhnya benar. Proses pengolahan pisang dengan cara dijemur hingga kering, juga pernah dilakukan di Pasar Matangglumpangdua pada era 90-an. Disebut pisang tho. Sedangkan pisang sale merupakan produk unggulan Panton Labu, Aceh Utara. Pisang sale adalah pisang matang sempurna yang diasapi hingga mengecil. Ukuran pisang mengalami degradasi, basah, lengket, manis, dan smoki.
Tapi umumnya di Simpang Beutong, orang-orang menyebutkan pisang tho tersebut sebagai pisang sale.
Mak Li berkisah, sebelum memproduksi dalam jumlah banyak seperti sekarang, para pedagang di sana pernah mengolah pisang lembek menjadi bada raket, alias pisang goreng rakit. Pisang-pisang yang telah dibelah, ditusuk ke lidi secara berjejer, kemudian dibalur tepung, dan kemudian digoreng.
Tapi pembuatan bada raket ribet. Pedagang pun mencari cara baru. Akhirnya mereka menggoreng pisang-pisang itu seperti keripik. Wujudnya tetap pisang goreng, tapi tidak lagi ditusuk lidi.
Awalnya pisang sale yang digoreng sesuai dengan permintaan konsumen. Lambat laut, pisang tersebut semakin terkenal. Pedagang menggoreng dalam jumlah lebih banyak pisang sale. Ditempatkan dalam wadah transparan, dan ditaruh di meja lapak. Pengguna jalan yang melintas membelinya.
“Ada yang untuk dikudap di dalam mobil, ada pula yang menjadikan pisang sale sebagai oleh-oleh,” kata Mak Li.
Perempuan tersebut mengisahkan, pengolahan pisang tho tersebut awalnya dilakukan di rumah masing-masing. Setelah setahun berjalan, pembeli memberikan masukan, supaya dapurnya dibuka saja di tempat jualan.
Masukan itu diterima, dan para pedagang mulai mengolah pisang di lapak masing-masing. Dari menguliti, membelah, hingga menjemurnya di terik matahari.Ternyata aktivitas tersebut menarik minat lebih banyak orang untuk singgah, mencoba, dan kemudian membelinya.
“Alhamdulillah berkat ide tersebut, kini pisang yang tidak layak jual dapat menghasilkan cuan baru. Harga per kilogram Rp70 ribu. Harga satu tandan pisang barangan Rp80.000,” katanya.
Mak Li mengatakan, keberhasilan mengubah pisang tak layak jual menjadi sumber pendapatan baru, menyelamatkan pedagang dari kerugian besar.
Karena masih diolah secara tradisional, produksi pisang sale versi Simpang Beutong, tentu mengalami kendala alam. Muliani (50) menjelaskan, bila musim hujan tiba, mereka tidak bisa memproduksi pisang sale secara maksimal.
Pisang tersebut baru bisa digoreng setelah tiga hari, dengan catatan hasil jemuran benar-benar kering.
Mariah Syukri yang ikut berjualan pisang, menyebutkan setiap hari pisang sale yang laku dari lapaknya sebanyak 10 kilogram. Dia menggorengnya bila ada permintaan konsumen.
“Proses menggorengnya tidak lama,” katanya.
kini, kekhawatiran harus dibawa kemana pisang yang tidak laku dijual, tidak lagi ada dalam pikiran mereka. pisang sale telah menjadi komoditi unggulan yang menarik minat banyak pengguna jalan.