Pilkada ala BAS: Saat Politik Machiavellian Mengancam Bank Kebanggaan Aceh

Plt Dirut Bank Aceh Masih Dijabat Hendrar Hingga Kajian PJOK Selesai amal hasan Bank Aceh Tutup Hingga 7 April? Ini Jadwal & Layanan yang Tetap Berjalan Pilkada ala BAS: Saat Politik Machiavellian Mengancam Bank Kebanggaan Aceh
Bank Aceh. Foto: HO for Komparatif.ID.

Beberapa hari yang lalu (11/06/2025), sejumlah media lokal terkemuka di Aceh seolah serentak menaikkan berita mengenai kandidat Direktur Utama Bank Aceh Syariah (BAS). Bagi saya, ada keganjilan pada narasi yang dihembuskan karena lebih mirip dinamika pemilihan gubernur ketimbang seleksi pucuk pimpinan lembaga keuangan. 

Salah satu kandidat yang disebut-sebut sebagai calon kuat, tampil dominan, sementara di saat yang sama, narasi yang beredar di media cenderung menyudutkan rekam jejak kandidat lainnya.

Nuansa kampanye negatif, yang berisiko menjadi kampanye hitam, terasa begitu kental. Alih-alih menjadi ajang adu gagasan dan visi untuk memajukan bank, yang tersaji kepada publik adalah upaya membangun citra satu pihak sambil mereduksi citra pihak lain. Ini adalah sebuah pertarungan persepsi, bukan kompetensi; sebuah cerminan klasik dari prinsip Machiavellian di mana penampilan lebih penting daripada realitas (appearance over reality). 

Manuver ini sangat berisiko menggiring opini publik, yang pada akhirnya bisa menjadi tekanan halus bagi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jika tidak hati-hati, OJK dapat terjebak dalam situasi di mana keputusan mereka, apa pun itu, akan dituding sebagai hasil dari tekanan opini, bukan murni penilaian objektif.

Pola semacam ini mungkin terlihat cerdas bagi penggagasnya, namun bagi publik yang kritis, manuver ini justru kontraproduktif. Ajang yang seharusnya menjadi panggung profesionalisme kini berisiko berubah menjadi arena politik. 

Wajar jika muncul kekhawatiran besar bahwa jajaran direksi Bank Aceh ke depan akan lebih mencerminkan kompromi politik daripada kompetensi murni. Tanpa transparansi, OJK pun sulit untuk lepas dari persepsi publik bahwa mereka terseret dalam skenario ini. Oleh karena itu, OJK perlu proaktif menegaskan bahwa proses fit and proper test yang mereka lakukan berjalan objektif dan terbebas dari intervensi mana pun.

Baca juga: Amal Hasan Ingatkan Gubernur, Bank Aceh Bukan SKPA

Kegaduhan ini, ditambah dengan isu dualisme internal yang pernah ada, semakin memperumit citra Bank Aceh yang sudah mirip partai politik. Publik pun menjadi wajar bertanya-tanya: apakah proses ini sesungguhnya merepresentasikan pertarungan antar-kepentingan politik tertentu, misalnya faksi yang kerap diasosiasikan dengan tokoh seperti Dek-Fadh maupun Mualem? 

Pola ini secara terang-terangan menerapkan filsafat politik Machiavellian di mana tujuan menghalalkan segala cara (the ends justify the means), termasuk membunuh karakter lawan demi merebut kekuasaan. 

Ironisnya, taktik ini berisiko menghasilkan pemimpin yang kepemimpinannya tersandera oleh kepentingan para penyokongnya—sebuah kelemahan yang bahkan oleh Machiavelli sendiri dianggap fatal—bukan seorang profesional yang berorientasi pada kinerja dan pertumbuhan bank.

Gaya ‘Pilkada ala BAS’ ini harus segera dihentikan. Para pemangku kepentingan utama, khususnya Dewan Komisaris dan Pemegang Saham Pengendali (PSP), memiliki tanggung jawab untuk menjaga marwah proses seleksi ini.

Diamnya Humas BAS dalam situasi ini juga dapat memunculkan persepsi negatif; sebuah klarifikasi yang menegaskan komitmen institusi pada proses yang profesional sangat diperlukan untuk meredam spekulasi. Lebih dari itu, publik dan nasabah berhak menuntut para calon Dirut untuk memaparkan visi dan strategi mereka secara terbuka, bukan sibuk bermanuver politik.

Drama di tubuh BAS ini sudah terlalu mirip dengan pilkada, padahal yang dipertaruhkan adalah masa depan lembaga keuangan kebanggaan masyarakat Aceh. Praktik politik Machiavellian yang mengutamakan kekuasaan di atas segalanya ini sangat berbahaya. Di tengah sedikitnya pilihan perbankan di Aceh, harusnya BAS dapat berkembang bahkan menjadi satu-satunya pilihan rakyat Aceh. 

Namun jika terlalu politis, dipastikan BAS hanya akan menjadi sapi perah para politisi. Bukannya berkembang konon lagi maju, Bank Aceh akan semakin tertinggal dibandingkan bank-bank daerah lainnya apalagi bank nasional.

Harapan terakhir hanya pada mahasiswa, apakah mahasiswa melihat situasi ini biasa saja, atau perlu gerakan sipil, dalam hal ini gerakan mahasiswa. Gerakan moral guna menyelamatkan lembaga keuangan daerah itu. Publik berharap mahasiswa berani menyuarakan idealisme guna menghadirkan profesionalitas BUMD tersebut.

Selama ini gerakan-gerakan mahasiswa sering sekali gagal karena integritas. Namun saya percaya itu hanya oknum, masih ada kelompok mahasiswa yang memiliki idealisme dan integritas. Mereka akan hadir mendesak pemegang saham dan OJK agar bersikap objektif dalam pemilihan jajaran direksi BAS periode ini.

Melalui desakan mahasiswa, publik berharap ada klarifikasi dari tiga pihak, pertama pihak BAS, kedua OJK, dan ketiga, pemegang saham, bahwa pemilihan Dirut bebas dari kepentingan politik. 

Jika tidak, jangan salahkan publik menduga-duga bahwa pemilihan Dirut BAS adalah pilkada, sebuah perebutan kekuasaan yang mengabaikan etika demi kemenangan. Sebuah ajang saling cakar yang menjadikan manusia saling memangsa sesama manusia, atau dalam istilah yang dipopulerkan Hobbes (Homo Homini Lupus), manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Apakah calon Dirut BAS serigala?Z

Artikel SebelumnyaMegawati Dikabarkan Pindah ke Fenerbahce, Manager: Hoaks!
Artikel Selanjutnya38 CPNS Pidie Terima SK, Dilarang Pindah Tugas 10 Tahun

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here