Pers Indonesia Jangan Lagi Dibredel!

Pers Indonesia
Ahli Pers Wina Armada Sukardi. Foto: Komparatif.id/Muhajir Juli.

Komparatif.ID, Jakarta—Pers Indonesia merupakan komponen utama yang berperan penting dalam merawat narasi keindonesiaan sebelum Republik ini merdeka. Akan tetapi setelah Orde Baru berkuasa, pers mendapatkan intimidasi, pembatasan, hingga pembredelan. Setelah reformasi 1998, Pers Indonesia kembali mendapatkan angin segar. Meski masih banyak perusahaan pers belum menjalankan tugasnya dengan benar, tapi jangan sampai negara kembali hadir mengatur terlalu jauh.

Demikian disampaikan Wina Armada Sukardi, seorang tokoh pers nasional yang pernah berkhidmat di lembaga Dewan Pers periode 2004-2007 dan 2007-2010. Pernyataan itu disampaikannya pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dan HUT ke-6 Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) di Hall Dewan Pers, Senin (6/3/2023).

Wina Armada Sukardi menjelaskan, komunitas pers Indonesia harus bangga dengan dunia usaha dan profesi yang digeluti. Karena pers di Tanah Air merupakan komponen sangat penting dalam membuka ruang narasi kebangsaan, sekaligus pendengung paling utama dalam membakar semangat kemerdekaan di bumi pertiwi.

Baca juga: Dewan Pers Beri Perlindungan Pada Karya Jurnalistik Berkualitas

Para wartawan dan pemilik perusahaan pers di masa pra kemerdekaan telah menaruh perhatian penting dalam merawat dan menyebarluaskan semangat merdeka. Para wartawan dan pemilik media tidak tampil ke medan juang dengan senapan, maupun berdebat dalam ruang-ruang politik. Tapi perannya jauh lebih penting, yaitu membela kepentingan perjuangan, merawat narasi kemerdekaan, bahkan memberikan ruang besar dalam mengampanyekan semangat merdeka.

“Kata Indonesia telah terlebih dahulu digunakan oleh pers dalam menarasikan kebangsaan di Nusantara. Dulu, ketika menyebut Indonesia berarti membincangkan sesuatu yang abstrak. Demikian juga kata merdeka, abstrak sekali. Meski abstrak, para penjajah sangat alergi,” kata Wina Armada Sukardi.

Walau penjajah tidak suka, pers tetap teguh membela dan menarasikan keindonesiaan. Ketika Kongres Pemuda 1928, kalangan pers-lah yang mengusulkan ide bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Usulan itu diterima, dan ternyata membawa pengaruh besar dalam merawat kesatuan dan persatuan bangsa.

“Bahasa Indonesia menjadi jalan tengah atas keberagaman di negeri ini. Ide mengusulkan bahasa Indonesia telah menyelamatkan bangsa kita dari perseteruan tanpa akhir,” sebutnya.

Ia memberi contoh, meskipun maju, sampai saat ini Amerik serikat belum memiliki bahasa nasional. Mereka masih menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi utama. Tak ada bahasa nasional di negara itu. Demikian juga India, sampai sekarang belum ada bahasa nasional.

“India sampai sekarang berantem gara-gara bahasa. Amerika tidak ada bahasa nasional. Di India berdarah-darah berkelahi. Kita beruntung kalangan pers mengusulkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.”

Demikian juga ketika proklamasi kemerdekaan disampaikan pada 17 Agustus 1945.Penjajah Jepang kemudian mencoba memberangus seluruh domukentasinya. Untung Alex Mendur bersaudara punya banyak akal. Mereka menyimpan lebih dari satu file rol film kamera. Foto-foto merekalah yang kemudian menjaid dokumentasi penting proklamasi.

Proklamasi kemerdekaan kemudian diumumkan melalui radio-radio, yang secara estafet terus digaungkan hingga seluruh rakyat mengetahui bahwa Indonesia telah berdiri sebagai sebuah negara berdaulat.

“Sebelum ABRI terbentuk, pers Indonesia telah lebih dulu ada. Tidak gampang membela Indonesia saat itu, tapi pers tidak takut. Mereka tak peduli ditangkap, medianya dibredel, pemiliknya dibuang, bahkan dibunuh. Pers memiliki saham besar di Republik Indonesia,” sebut Wina.

UU tentang Pers Indonesia Produk Hukum Paling Ideal

Wina Armada yang juga pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PWI Pusat periode 2003-2008, mengatakan memilih menjadi wartawan berarti menempuh jalan kepahlawanan demi membela kepentingan bangsa. Akan tetapi bila profesi wartawan dipergunakan untuk kepentingan yang tidak benar, maka si wartawan patut disebut sebagai pengkhianat bangsa.

“Kalau Anda memakai profesi wartawan, maka Anda adalah pahlawan. Demikian juga bila jahat dalam berwartawan, Anda melakukan pengkhianatan kepada negara,” sebut mantan Pemimpin Umum/Redaksi harian umum Merdeka.

Ia menjelaskan, bial bekerja secara profesional, wartawan dan media pers tidak perlu takut. Apalagi secara khusus telah diberikan ruang oleh UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Wartawan dilindungi oleh UU dalam menjalankan profesinya.

UU Nomor 40 Tahun 1999 merupakan rumah pers Indonesia yang paling ideal dalam membangun usaha pers dan menjalankan fungsi sebagai pilar keempat demokrasi. UU tersebut sangat murni karena dibuat oleh orang-orang berintegritas. Bahkan perwakilan pemerintah kala itu sebagai tim ahli perumus draft UU berasal dari kalangan ahli-ahli pers.

Proses menyusunan draft UU tersebut sangat cepat. Hanya dua minggu, dan sampai saat ini masih ideal dalam memberikan perlindungan hukum dalam bisnis dan kegiatan pemberitaan.

Apalagi kemudian wartawan diikat juga dengan Kode Etik Jurnalistik, dan pedoman pemberitaan media siber untuk media online. Tiga hal tersebut sudah lebih dari cukup dalam menjaga dunia pers.

Bila bicara perlindungan hukum, maka pers yang dilindungi adalah yang menjalankan tugasnya dengan benar. Di situlah peran Dewan Pers. Memberikan penilaian terhadap produk jurnalistik bila ada yang mengajukan sengketa.

Jangan Buka Ruang Negara Ikut Campur

Wina Armada mengingatkan kepada siapa saja supaya tidak kembali memberikan ruang kepada negara untuk ikut campur terlalu jauh mengatur pers Indonesia. Oleh karena itu setiap produk hukum/aturan baru yang berkaitan dengan pers, jangan diberikan ruang.

Termasuk di dalamnya draft peraturan presiden tentang regulasi publisher right yang pertama kali disampaikan oleh Presiden Jokowi pada peringatan Hari Pers Nasional di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 9 Februari 2020. Dalam kesempatan itu Presiden menunjukkan kepedulian terhadap perkembangan pers dan kekalahan mereka menghadapi agregator luar yang memegang kendali informasi, tapi bukan perusahaan pers.

Bila itu diberikan ruang diberlakukan, Wina yakin banyak media-media yang masih merintis usahanya, akan bertumbangan. Padahal di luar UU Pers, UU Hak Cipta juga telah memberikan perlindungan kepada usaha pers Indonesia, dan sampai sekarang masih sangat ideal dilaksanakan.

Bila pun ingin menjaga keidealan pers Indonesia, maka yang perlu dilakukan selanjutnya yaitu mengikat sumpah wartawan Indonesia. Karena saat ini satu-satunya profesi yang belum disumpah adalah wartawan.

UU Pers Melahirkan Kemerdekaan Sejati

Lahirnya UU Pers Nomor 40 tahun 1999, berangkat dari semangat demokrasi. Bahwa pers harus hidup dan tumbuh secara merdeka. Ada beberapa karakteristik UU Pers yang berlaku di Indonesia, dan itu tidak boleh berikan ruang dapat dimatikan oleh negara.

Pertama, ditiadakannya Surat Izin Usaha Penerbitan Pers(SIUPP. Dengan demikian upaya Dewan Pers meminta media massa mengikuti standarisasi tidak perlu dilakukan lagi. Karena UU Nomor 40 telah meniadakan pendaftaran pers. Yang diberikan ruang hanyalah pendataan. Perihal pendataan tugasnya Dewan Pers, bukan tugas media pers.

Kedua, dengan tidak berlaku lagi SIUPP, maka penyensoran negara terhadap pers telah ditiadakan. Ini merupakan bentuk kemerdekaan sejati. “Dulu untuk mendapatkan izin mendirikan perusahaan pers susahnya minta ampun. Sifatnya top down. Sangat berbeda dengan usaha lain. Izin pers diteken terlebih dahulu oleh Menteri [Penerangan] baru diparaf oleh dirjen. SIUPP mengggunakan standar yang sangat kacau. Dapat dicabut kapan saja tanpa parameter yang jelas. Sejak lahirnya UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, SIUPP ditiadakan. Jangan buka ruang baru atas alasan apa pun,” sebut pakar hukum pers tersebut.

Ketiga, sifat dari UU Pers adalah swa regulasi–self regulation–negara tidak boleh ikut campur. Dewan Pers memfasilitasi organisasi pers dalam membuat peraturan-peraturan di bidangnya. Artinya peraturan harus sesuai persetujuan konstituen Dewan Pers. “Hampir 90 persen Peraturan DP saya konseptornya. Termasuk MoU dengan MA, Polri, dsb. Dewan Pers memfasilitasi.

Sebagai profesi tertutup, profesi pers membutuhkan standar kompetensi. Sampai saat ini yang dijalankan oleh Dewan Pers Indonesia merupakan yang terbaik di dunia. Sehingga tidak membutuhkan aturan baru.

“Anda harus tunduk pada KEJ yang ketika disusun dibuat dengan dua lapis; etik dan hukum. Wartawan harus melakukan self sensorship, bila bersengketa yang pertama memeriksa adalah DP. DP tidak membela wartawan, tapi membela kemerdekaan pers.Bila nantinya ditemukan bahwa itu bukan kewenangan Dewan Pers karena produk yang dibuat tidak memenuhi syarat produk jurnalistik, baru DP menyampaikan pendapatnya,” sebut Wina.

Keempat, UU Pers juga telah mengatur standar perusahaan pers Indonesia. Ada dua syarat, pertama syarat absolut yaitu: perusahaan pers wajib berbadan hukum –persereon terbatas—memiliki penanggung jawab bersertifikasi Wartawan Utama (WU). Media boleh belum memiliki pemimpin redaksi bersertifikat WU, tapi tidak boleh tanpa penanggung jawab yang tidak memiliki sertifikat WU. Kemudian alamat perusahaan pers juga harus jelas. Terakhir produk pers harus memenuhi standar jurnalistik.

“Itu syarat absolut. Tidak ada ruang diskusi lagi. Mau tak mau wajib diikuti dan dipenuhi.”

Perihal syarat relatif yaitu persyaratan yang disepakati sesuai dengan kondisi. Seperti kesejahteraan wartawan. Saat ini Dewan Pers mengatur bahwa gaji wartawan 13 kali dan sesuai dengan UMR. Minimal 10 karyawan/wartawan, dll. Semua wartawan wajib memenuhi standar perusahaan pers, dan wartawan harus mengikuti UKW.

“Yang harus dipahami, memenuhi standar perusahaan pers tidak sama dengan pendataan. Jadi siapa saja yang ingin mendirikan perusahaan pers, maka wajib memenuhi standarnya supaya dapat berusaha, termasuk kerja sama. Jadi ada atau tidak pendataan, maka syarat itu wajib dipenuhi,” imbuh Wina, sembari mengingatkan meskipun kecil, jangan buka ruang negara kembali masuk mengatur pers. Karena ketika mereka masuk maka penyensoran akan dilakukan cepat atau lambat. Karena bila diberikan ruang, semua pemerintah ingin mengatur-atur pers sesuai kepentingan masing-masing.

Artikel SebelumnyaAlarm untuk Literasi Aceh Carong
Artikel SelanjutnyaMuhammad Syah Dilantik Sebagai Dirut Bank Aceh Syariah
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here