Perihnya Menjadi Anak yang Tak Diinginkan

Perihnya Menjadi Anak yang Tak Diinginkan
Ilustrasi. Foto: Komparatif.ID.

Setiap jelang Lebaran, hatiku galau tak terkira. Kala mendengar kumandang takbir, hatiku trenyuh. Aku anak yang dibuang, hidup dalam kasih sayang para pengasuh di panti asuhan. 

Setiap kali mendengar kabar perceraian dan anaknya diterlantarkan, anak yang dibuang, atau mayat bayi yang tidak diinginkan, aku marah. Aku benci, aku memberontak. Jiwaku benar-benar mengutuk siapapun yang menyia-siakan anak-anak. Hingga akhirnya aku kehabisan energi untuk marah. Aku kehabisan tenaga untuk memaki. 

Namaku Human, tentu bukan nama sebenarnya. Tiga puluh lima tahun lalu, aku ditemukan di dalam kardus, di tepi jalan lintas nasional di sebuah kabupaten di Aceh. Seseorang yang merasa iba mengantarku ke sebuah puskesmas. Seorang bidan menerimaku dengan derai air mata. Orok yang masih diliput kotoran bekas melahirkan, terkulai lemas dalam kardus, di tepi jalan, malam, dan hujan. 

Itu secuil kisah yang kudapatkan dari ibunda pengasuh, ketika suatu hari aku menanyakan asal-usulku. Ia tidak tahu siapa ayah dan ibuku. Dia juga tidak tahu utuh seperti apa bidan merawatku. Ia menerimaku di panti asuhan, jauh dari kota tempat pertama kali aku ditemukan.

Sampai saat ini aku tidak bisa mendefinisikan diri sebagai orang apa. Aceh? Jawa, Batak? Gayo? Atau lainnya. Satu-satunya yang dapat kukenali dengan baik, aku seseorang yang tidak diinginkan. 

Aku bukan satu-satunya anak yang dibuang. Orang-orang yang kisahnya sama denganku jumlahnya cukup banyak. Kami benar-benar dibuang; mungkin hendak dimatikan. Kami tidak diantar ke panti asuhan. Tapi dibuang di tepi jalan. 

Sejak mengerti arti kasih sayang, setiap Lebaran tiba, aku berharap keajaiban. Aku selalu duduk di teras, berharap seseorang datang menjengukku. Setidaknya mengantarkan sebungkus coklat spiderman, dan mengajakku membeli baju baru di toko. Meski harga baju itu murah meriah, aku tak peduli. Bagiku, hal paling penting, anak-anak lain tahu bahwa aku tidak benar-benar dibuang. Aku masih diinginkan. Aku masih memiliki keluarga. 

Baca jugaTinju Kiri Jusuf Manggabarani Mendarat di Dada Aktivis HANTAM

Tapi semua harap itu sia-sia. Sampai aku bertumbuh menjadi pemuda dan keluar dari panti, tak ada seorang pun datang menjenguk, mengakui akui sebagai keluarga mereka. Impian paling mewah; aku berharap ada yang datang mengakui bila aku anaknya. Semua harapan itu tak berwujud. 

Akhirnya aku bulatkan tekad bahwa ibuku adalah para pengasuhku. Merekalah orang tua sesungguhnya, yang merawat kami dengan penuh cinta, meski gaji mereka tidak besar. Mereka datang silih berganti. Ada yang masih hidup, ada yang telah meninggal dunia. Ada pula yang tidak lagi kukenali, karena kebersamaan yang singkat. 

Aku sempat sangat lama membenci kebahagiaan orangtua dan anak. Melihat anak-anak yang masih memiliki orangtua, hatiku selalu nelangsa. Selalu ada duka bila melihat mereka bahagia. Tapi rasa benci itu pulih secara perlahan-lahan, seiring pendidikan yang kudapatkan. 

Banyak sekali anak-anak yang bernasib buruk sepertiku yang berhasil ditempatkan di panti asuhan. Jumlahnya saat ini 106.406 jiwa di seluruh Indonesia. Statusnya ada yang yatim, piatu, yatim-piatu, titipan keluarga miskin, titipan hasil perzinahan, dan yang dibuang di tepi jalan, dengan dugaan besar sebagai hasil zina. 

Aku tak tahu apakah statusku yatim? Piatu? Kombinasi keduanya? Dari keluarga miskin? Hasil perzinahan? Entahlah. Apa pun latar belakang itu, kini aku terima. Faktanya aku pernah ditempatkan di panti, dengan status anak yang tidak diinginkan. 

Dengan hati penuh sembilu, aku selalu berdoa supaya kedua orang tuaku selalu dalam lindungan Tuhan. Semoga ibu dan ayah hidup bahagia. Semoga mereka baik-baik saja. 

Ayah, ibu, anakmu telah menikah. Aku telah memiliki istri, anak, dan hunian mungil di tepian sebuah kota jauh dari tempat kardus berisi orok hidup ditemukan. Aku menikah baik-baik, meminang baik-baik, dan diterima baik-baik oleh keluarga istriku. Asal-usulku tidak pernah dipersoalkan. Mereka tak mau tahu aku anak siapa, cucu siapa, saudara siapa.

Ayah, ibu, kabar kalian pernah ditanyakan oleh cucu kalian. Kukatakan bahwa kalian dulu tinggal di negeri yang jauh; jauh sekali. Kalian telah mati kala aku baru dilahirkan. Kalian telah pergi ketika aku baru melihat dunia. 

Ayah, ibu, bila kalian masih hidup, tersenyumlah. Bayi yang kalian buang telah hidup sejahtera. Aku tidak jadi mati di dalam kardus yang kalian taruh di tepi hutan pada malam buta itu. Seseorang yang baik hati telah menyelamatku dan mengantarku ke puskesmas. Bidan baik hati mengirimkanku ke panti asuhan. 

Tuhan menghendaki aku panjang umur, Tuhan membuat skenario yang aku sendiri hanya dapat mengambil hikmahnya. Aku yang kalian buang, kini telah hidup sejahtera. Alhamdulillah. 

Jangan risau. Aku tidak akan mendoakan yang buruk-buruk untuk kalian. Pengasuhku berhasil mendidikku menjadi manusia yang mengenal Tuhan. Pengasuh berhasil mendidikku menjadi manusia seutuhnya. 

Ayah, ibu! Mungkin aku punya saudara ya? Sampaikan salamku kepada mereka. Kasih tahu mereka, bila aku sangat menyayangi mereka semua. Aku memang tidak mengenal kalian. Tapi Tuhan takkan salah mengirimkan doaku. 

Tahun ini aku sudah mendaftarkan seekor lembu untuk kurban. Maaf ya, aku tidak bisa melampirkan nama kalian. Bukan karena benci. Sungguh aku tidak membenci kalian. Aku tidak tahu  menulis nama kalian. Makanya kutulis saja nama-nama lain yang selama ini berada di lingkar ku. 

Aku masih nelangsa kala Lebaran tiba. Meski tak lagi berharap ada yang datang menjengukku, membawa sebatang coklat, memelukku, mencium keningku. 

Human, mewakili jiwa yang terbuang yang selamat dari petaka kemanusiaan.
Artikel SebelumnyaProf Syamsul Rijal: Pancasila Jalan Memartabatkan Bangsa
Artikel SelanjutnyaKPM Tematik UNADA Gelar Pelatihan Penulisan Skripsi & Publikasi Ilmiah
Redaksi
Komparatif.ID adalah situs berita yang menyajikan konten berkualitas sebagai inspirasi bagi kaum milenial Indonesia

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here