Perdamaian Harus Jadi Ideologi Generasi Muda Aceh

Rektor UIN Ar-Raniry: Perdamaian Harus Jadi Ideologi Generasi Muda Aceh
Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Dr Mujiburrahman, saat membuka FGD “Pasca 20 Tahun Perdamaian: Antara Janji, Fakta & Masa Depan Ekonomi Aceh” yang berlangsung di Museum Theater UIN Ar-Raniry, Senin (8/9/2025). Foto: HO for Komparatif.ID.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Banda Aceh, Prof Dr Mujiburrahman, menegaskan perdamaian yang sudah terjalin di Aceh selama dua dekade terakhir harus dijadikan ideologi oleh generasi muda, bukan sekadar peringatan seremonial.

Hal itu disampaikan Mujiburrahman dalam sambutan pada Focused Group Discussion (FGD) bertajuk “Pasca 20 Tahun Perdamaian: Antara Janji, Fakta & Masa Depan Ekonomi Aceh” yang berlangsung di Museum Theater UIN Ar-Raniry, Senin (8/9/2025).

Dalam paparannya, Mujiburrahman menekankan perdamaian di Aceh merupakan hasil dari perjuangan panjang yang tidak datang dengan mudah. Ia menyinggung proses perundingan damai di Helsinki yang sering dianggap singkat karena hanya berlangsung selama dua jam, namun sejatinya membutuhkan lobi dan persiapan lebih dari dua tahun sebelum tercapai kesepakatan.

Menurutnya, fakta tersebut menunjukkan perdamaian Aceh tidak terjadi secara instan, melainkan melalui pengorbanan besar yang wajib terus dijaga bersama.

“Perdamaian itu sulit kita dapatkan. Karena itu harus kita jadikan ideologi, bukan sekadar seremonial. Dari ideologi lahirlah logos, dan dari logos menjadi ethos bagi generasi Aceh hari ini,” ujar Mujiburrahman dalam forum tersebut.

Baca juga: Solusi Masalah Pembangunan Damai Aceh Harus Lahir dari Aceh

Ia menambahkan perdamaian harus dipandang sebagai paradigma yang membentuk pola pikir dan etika masyarakat, terutama generasi muda. Dengan menjadikannya ideologi, nilai-nilai perdamaian tidak hanya dikenang pada momentum tertentu, tetapi melekat dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini, menurutnya, akan memastikan kesinambungan dan stabilitas sosial di Aceh dalam jangka panjang.

Dalam kesempatan itu, Mujiburrahman juga mengutip hasil riset Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang menempatkan Aceh sebagai provinsi paling aman di Sumatera dengan skor indeks keamanan mencapai 4,7.

Ia menilai temuan tersebut menjadi modal berharga untuk memperkuat citra positif Aceh dan membuka peluang investasi dari berbagai pihak.

“Banyak tamu dari luar negeri awalnya ragu datang ke Aceh karena stigma negatif. Tapi begitu mereka datang, semua terkesan dengan keamanan, keramahan, dan kekayaan budaya kita,” ungkapnya.

Lebih jauh, ia mengingatkan pembangunan Aceh tidak bisa hanya bergantung pada pemerintah pusat di Jakarta. Ia menilai keterbukaan dan interaksi dengan masyarakat internasional sangat penting agar Aceh dapat tumbuh dan berkembang lebih pesat.

Menurutnya, keterhubungan global bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga peluang pertukaran gagasan, budaya, dan kerja sama lintas sektor yang mampu memperkuat posisi Aceh di tingkat nasional maupun internasional.

Mujiburrahman menekankan, dua puluh tahun pasca-perdamaian menjadi momen refleksi bagi seluruh elemen masyarakat Aceh untuk memastikan bahwa capaian yang telah diperoleh tidak sia-sia.

Ia berharap generasi muda terus memelihara nilai perdamaian sebagai landasan membangun masa depan yang lebih baik, bukan hanya untuk Aceh, tetapi juga bagi Indonesia secara keseluruhan.
Artikel SebelumnyaResmi, Mualem Lantik Fadhil Ilyas Jadi Dirut Bank Aceh
Artikel SelanjutnyaBeranikah Mualem Copot Dirut PT PEMA?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here