Pengusaha Unjuk Rasa

Unjuk rasa
Ilustrasi unjuk rasa

Ia menjadi pengusaha unjuk rasa setelah membaca peluang pasar. Ketika kuliah tingkat akhir ia sudah menerima order “perjuangan aspirasi rakyat” dari agen isu lapangan. 

Sebagai seorang sarjana, ia bingung harus melakukan apa sesudah lulus. Ia juga membaca gelagat sosial. Di Aceh orang ongkang-ongkang kaki di rumah, bisa hidup mapan. Orang yang ia amati hanya aktif di ormas, sesekali turun ke jalan dengan jumlah massa paling banyak ratusan orang. Berteriak memaki penguasa, berteriak memaki Jakarta. Sesekali berteriak memaki Yahudi dan Amerika Serikat. 

Ia mengamati seksama. Orang itu bukan pebisnis sabu-sabu. Bukan juga pebisnis tramadol yang sedang in di kalangan orang Aceh di Pulau Jawa. 

Baca: Herawati, Istri Wartawan Asal Aceh di Panggung Republik

Hmm, untuk tetap hidup dan terlihat sukses, ia harus dapat menjadi seperti orang itu. Untuk mendapatkan perhatian, ia harus menjadi tokoh muda. Karena tak bergabung dengan ormas religius, ia harus mencitrakan diri sebagai tokoh muda kritis.

Mulailah ia mengkritisi apa pun. Ideal tidak ideal, dia tak peduli. Hal terpenting bersuara. Seakan-akan mewakili keresahan publik. 

Ruang maya mempermudah geraknya. Media online yang bejibun membuka kesempatan besar. Ia ditolak berkali-kali oleh media online yang selektif terhadap isu dan narasumber. Tapi aspirasinya ditampung oleh media yang kelimpungan mencari sumber berita.

Seiring waktu ia tumbuh. Mulai diperhatikan oleh agen isu. Dia dibedaki oleh para agen isu. Didandani seolah-olah sangat berani, sangat intelektual, sangat tak kenal kompromi, dan sangat peduli.

Tak butuh waktu lama, ia pun bertumbuh. Secara informal dikenal sebagai pengusaha unjuk rasa. Orang-orang berduit memanfaatkan jasanya. Semakin besar isu, semakin banyak massa, maka semakin besar bayaran dan semakin trengginas saat unjuk rasa.

“Saya butuh hidup. Orang berkepentingan butuh saya. Bisnis ini halal, hanya saja kurang etis bila diakui ke publik. Ruang demokrasi kita butuh teriakan, itu yang saya manfaatkan,” katanya suatu ketika.

Secara halus ia menyindir. “Berapa banyak waktu dihabiskan oleh media massa untuk ikut membersamai pembangunan. Menjadi corong seruan semangat pembangunan. Tapi ketika tidak mau mendongkel perselingkuhan pejabat, tak selembar iklanpun diberikan,” katanya sembari menyeruput kopi. “Makanya, ayolah bantu saya. Nanti saya kasih sikit,” katanya sembari terkekeh. 

Saya tersenyum. Apa yang dia sampaikan benar. Berita positif banyak sekali berakhir dengan ucapan terima kasih saja. Oknum-oknum di pemerintah baru bersedia menjadi mitra bila kesalahannya didongkel. Perselingkuhannya diberitakan, kasus korupsinya ditulis, penyimpangan orientasi seksualnya di-publish

Si teman tak mengakui bila ia pengusaha unjuk rasa. Tapi ia tak membantah bila bertahan hidup dengan menyediakan jasa unjuk rasa. Mereka siap mewakili siapa saja asal dibayar dengan pantas. 

Sebagai usahawan isu, ia harus pintar-pintar bermain. Menghindar berkomunikasi via perangkat seluler. Bisnis hanya dibicarakan bila sudah bertemu langsung. Bayar cash!

“Terlalu banyak pengkhianat dalam bisnis ini. Bahkan teman satu gelas kopi. Sehingga harus sangat hati-hati. Jangan sampai traksaksi terekam, karena kesetiakawanan dalam bisnis ini lebih tipis dari kulit bawang,” katanya. 

Ia menyebutkan di negeri ini terlalu banyak orang yang tidak ingin muncul ke permukaan. Apakah karena menjaga image, ataupun karena bekerja sebagai pengusaha isu lapis pertama. Sedangkan si teman baru berada lapis ketiga. Pelaksana sub kegiatan demokrasi dalam sistem pemerintahan kleptokrasi. 

“Hal yang pasti bisnis unjuk rasa tidak melihat siapa yang mengorder. Asal cocok harga dan bayar cash, langsung turun ke jalan. Kepentingan saya untuk terus bertumbuh. Karena bisnis saya ini masih kelas UMKM. Belum berkelas perseroan terbatas,” tutupnya secara jenaka. 

Artikel SebelumnyaHerawati, Istri Wartawan Asal Aceh di Panggung Republik
Artikel SelanjutnyaMengapa Teuku Murdani Ikut Mendukung Achmad Marzuki?
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here