Pendamping Desa & Balada Mesin Partai Politik

Pendamping Desa
Imam Mufakkir

Pendamping desa menghadapi dilema serius menghadapi Pemilu 2023. Mereka tidak dilarang menjadi anggota partai politik. Di sisi lain kepala desa dan aparaturnya dilarang menjadi bagian partai politik. Conflict of interest akan merusak kerja-kerja pembangunan desa yang menjadi tugas utama pendamping desa.

Salah satu tahapan pemilu yang krusial adalah pencalonan anggota dewan yang diusulkan oleh partai politik kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk dipilih oleh rakyat di bilik suara pada Rabu 14 Februari 2024.

Seperti yang kita ketahui, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes) memiliki pendamping desa yang membantu menyukseskan implementasi dan arah pembangunan desa.

Tugas pokok pendamping desa adalah meningkatkan keberdayaan masyarakat di sebuah desa melalui pendampingan pembangunan desa, pengelolaan usaha ekonomi desa, pengorganisasian kelompok masyarakat hingga peningkatan kapasitas bagi kader pemberdayaan masyarakat desa.

Baca: Menyoal Kualitas Bimtek Desa yang Menyasar Bireuen

Selain Kemendes, Kementerian Sosial (Kemensos) juga memiliki pendamping PKH yang bertugas membantu Kemensos guna menyukseskan Program Keluarga Harapan (PKH).Pokok dan fungsi dari Pendamping PKH ini adalah memastikan PKH terlaksana dengan tepat sasaran dan tepat guna.

Selain itu pendamping PKH juga bertugas untuk mengadvokasi dan memfasilitasi agar penerima manfaat program PKH sukses melakukan perubahan perilaku, pola fikir yang mandiri dan produktif.

Dalam menjalankan tugasnya, pendamping desa dan pendamping PKH harus dapat menjadi teladan dan tempat untuk menampung aspirasi bagi masyarakat, yang bersifat netral, dan tidak memiliki tendensi keberpihakan kepada salah satu golongan maupun kelompok masyarakat.

Lalu bagaimanakah sikap kedua kementerian tersebut dalam membantu jajarannya menjaga netralitas diri khususnya dari politik praktis agar sukses menjadi pengayom masyarakat?

Perbedaan Sikap Dua Kementerian

Sikap dari Kemendes dengan Kemensos mengenai keterlibatan jajarannya dalam politik praktis sangat berbanding terbalik, bak langit dan bumi. Hal ini jelas tergambarkan dalam surat dari kedua kementerian dalam rangka menyikapi persyaratan bagi bakal calon anggota dewan yang diharuskan untuk mengundurkan diri dari badan yang anggarannya bersumber dari keuangan negara.

Kemensos melalui suratnya kepada seluruh pendamping PKH Nomor : 1504/3.4/KP.06.07/8/2023 tertanggal 29 Agustus 2023 menegaskan bahwa SDM PKH yang masuk dalam Daftar Calon Sementara (DCS) Legislatif wajib mengundurkan diri sebagai SDM PKH per 31 Agustus 2023.

Salah satu yang menjadi dasar sikap Kemensos itu adalah Kode Etik Pendamping PKH yang diatur dalam Peraturan Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial nomor: 58/3/OT.01/8/2022 tentang Kode Etik Sumber Daya Manusia Program Keluarga Harapan. Menurut Kemensos, Pendamping PKH diikat oleh kode etik sehingga dilarang untuk berpolitik praktis.

Berbeda dengan Kemensos, Kemendes melalui suratnya kepada KPU Nomor: 1261/HKM.10 /VI/2023 tertanggal 27 Juni 2023, menyampaikan bahwa tidak ada pengaturan yang menyatakan bahwa Tenaga Pendamping Profesional (TPP) dalam hal ini pendamping desa dilarang menjadi anggota partai politik.

Kemendes hanya melarang pendamping desa menjadi pengurus partai politik; bukan anggota partai politik. Kemendes juga berdalih bahwa pendamping desa adalah tenaga profesional yang dikontrak untuk menyukseskan pembagunan desa sehingga bukan bagian dari struktural kementerian.

Ketentuan Kemendes Labrak Kode Etik Pendamping Desa

Jika ditelusuri lebih jauh, surat dan dalih hukum yang diungkap oleh Kemendes tersebut sangat bertentangan dengan aturan kode etik pendamping desa yang tercantum dalam Keputusan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 40 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pendampingan Masyarakat Desa.

Pada halaman 72, tepatnya BAB III huruf G angka 1 huruf a angka 9) mengatur bahwa pendamping desa berkewajiban mematuhi aturan yang berlaku dan menghindarkan diri dari berbagai kepentingan pribadi/kelompok/golongan yang dapat mempengaruhi kualitas pendampingan.

Selain itu, pada halaman berikutnya, pendamping desa dilarang menyalahgunakan posisi untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat bagi diri sendiri dan/atau orang lain. Ditambah lagi juga dilarang menyalahgunakan atribut Kementerian untuk kepentingan lain di luar kepentingan Kementerian dan pendampingan masyarakat desa.

Apakah Kemendes lupa terhadap apa yang sudah diatur dalam ketentuan yang dikeluarkan oleh lembaganya? Atau memiliki tafsir lain sebagai dalih hukum? Hal besar yang sangat dapat dipertanyakan adalah bagaimana mungkin pendamping desa dapat melaksanakan kewajiban menghindarkan diri dari berbagai kepentingan pribadi/kelompok/golongan, jika dirinya dibolehkan terlibat dalam partai politik, tidak hanya menjadi anggota partai bahkan maju sebagai caleg.

Baca: Bireuen, Munawal Hadi, dan Komitmen Adhyaksa

Seharusnya Kemendes menjaga pendamping desa yang memiliki jejaring di tingkat desa agar dapat melaksanakan dengan baik kode etik yang telah digariskan. Sehingga tidak dimanfaatkan oleh partai politik untuk kepentingan pemilihan umum.

Pertanyaan selanjutnya, apakah pendamping desa yang terlibat dalam keanggotaan partai politik akan mendapatkan kepercayaan dari kepala desa beserta aparaturnya? Apalagi kepala desa dan aparaturnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Desa, dilarang terlibat partai politik.

Apakah ini tidak akan menimbulkan polemik? Jika kepala desa dan aparaturnya menaruh kecurigaan akan ditunggangi kepentingan oleh pendamping,tentu akan mengganggu kepentingan pelaksanaan program Kemendes.

Kembali kepada asas pemilu, pertanyaannya adalah, bagaimana memastikan pemilu berjalan dengan adil jika pendamping desa yang memiliki jejaring di tingkat desa dan masih diberi honor melalui APBN, bekerja dalam proses pemenangan pemilu karena dirinya tidak dilarang menjadi anggota partai politik.

KPU dan Bawaslu seharusnya tidak hanya membaca persoalan ini menggunakan kacamata “sarjana undang-undang” yang seringkali dikecoh oleh permainan kata karena terjebak pada penafsiran harfiah yang tercantum dalam pasal dan ayat. KPU dan Bawaslu harus melihat persoalan ini melalui keilmuan sarjana hukum yang senantiasa menggali “moral core” yang ingin dicapai dari dibentuknya ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengkaderan partai politik yang tidak menyalahgunakan atribut negara adalah wujud dari dua asas utama yang melandasi pelaksanaan pemilu, yaitu kejujuran dan keadilan, kesetaraan kesempatan dan keberlakuan hukum menjadi ciri penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil.

Salah satu implementasi dari kesetaraan kesempatan ini adalah bakal calon anggota dewan yang diusulkan oleh partai politik harus mengundurkan diri dari keterlibatannya di lembaga pemerintahan. Hal itu diatur dalam Pasal 11 ayat (1) huruf k Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan yang mensyaratkan bagi calon anggota dewan untuk mengundurkan diri dari badan yang anggarannya bersumber dari keuangan negara.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here