Penanganan Pengungsi Rohingya di Aceh Dinilai Tidak Konsisten

Pengancaman Relawan RKB Tamiang Perburuk Iklim Demokrasi Penanganan Pengungsi Rohingya di Aceh Dinilai Tidak Konsisten
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna. Foto: HO for Komparatif.ID.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna, menilai penanganan pengungsi Rohingya di Aceh masih bersifat fluktuatif dan tidak konsisten.

Menurutnya, persoalan utama yang menjadi akar masalah adalah ketiadaan regulasi baku yang secara jelas mendefinisikan batasan masa darurat. Hal ini membuat para pengungsi harus bertahan hidup dalam kondisi rentan di tenda-tenda darurat tanpa kepastian waktu yang jelas.

Hal itu ia sampaikan pada diskusi “Workshop Seri III: Kebijakan, Respon, dan Pembelajaran pada Kondisi Kedaruratan Pengungsi Luar Negeri di Indonesia” yang digelar secara virtual pada Selasa (16/9/2025) oleh Pusat Riset Politik BRIN bersama UNHCR, IOM, dan JRS.

Husna menekankan meskipun Aceh telah menerima pendaratan pengungsi Rohingya sebanyak 51 kali sejak 2009, respons yang diberikan pemerintah maupun lembaga terkait tidak menunjukkan konsistensi. Ia menyebut penanganan pengungsi cenderung naik-turun, tergantung pada situasi dan kapasitas saat itu.

“Situasi yang baik ini fluktuatif. Ada penanganan yang berbeda-beda. Saya kira ini juga disebabkan karena tidak ada satu aturan baku yang menjadi rujukan dalam hal penanganan pengungsi, terutama dalam masa darurat,” ungkapnya.

Ia mencontohkan kondisi pengungsi di kamp Kulee dan Aceh Timur, di mana para pengungsi yang mendarat pada 2023 hingga kini masih tinggal di tenda-tenda darurat di pinggir pantai. Kondisi ini, menurutnya, menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya pemerintah mendefinisikan masa darurat dalam konteks pengungsi luar negeri.

Baca juga: Kapolda Aceh: Gelombang Antipati Terhadap Pengungsi Rohingya Bisa Picu Konflik Sosial

Husna menegaskan penanganan pengungsi asing tidak dapat disamakan dengan penanganan korban bencana alam. Korban bencana alam pada umumnya memiliki tempat untuk kembali, sementara pengungsi tidak, sehingga memerlukan pendekatan yang lebih terstruktur dan berkelanjutan.

Dalam diskusi tersebut, ia juga menarik paralel sejarah antara penderitaan yang dialami etnis Rohingya dengan pengalaman masyarakat Aceh pada masa lalu. Ia mengingatkan Aceh pernah mengalami kekerasan struktural, masif, dan sistematis selama periode operasi militer antara 1989 hingga 2004.

Pada masa itu, terjadi berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, mulai dari pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran rumah, penghilangan orang secara paksa, hingga perampasan harta benda. Kondisi tersebut menyebabkan puluhan ribu warga Aceh terpaksa mengungsi hingga ke Malaysia dengan perahu untuk mencari keselamatan.

Menurutnya, kesamaan pengalaman inilah yang membuat masyarakat Aceh secara historis selalu bersedia menolong para pengungsi Rohingya yang dikenal sebagai “manusia perahu”.

Lebih lanjut, KontraS Aceh mencatat tren yang mengkhawatirkan terkait gelombang kedatangan pengungsi dalam beberapa tahun terakhir. Persentase kelompok rentan, yaitu perempuan, anak-anak, dan penyandang disabilitas, semakin meningkat.

Husna menyebut, peningkatan jumlah kelompok rentan yang meninggalkan tempat asalnya harus dipahami sebagai tanda bahwa situasi di Myanmar semakin berat dan penuh tekanan.

Ia menilai ada faktor pendorong yang besar, salah satunya adalah eskalasi kekerasan, diskriminasi sistematis, serta pemberlakuan kembali Undang-Undang Wajib Militer pada 2024 yang semakin memperburuk kondisi.

Selain itu, persoalan pendanaan menjadi tantangan besar dalam penanganan pengungsi. Meskipun Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri membuka peluang penggunaan dana APBN, mekanisme tersebut hampir tidak pernah digunakan secara langsung.

Akibatnya, pendanaan lebih banyak bergantung pada lembaga internasional. Namun, setelah adanya kebijakan pemotongan anggaran besar-besaran untuk PBB oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump, sumber pendanaan dari lembaga internasional juga ikut terdampak.

Di akhir paparannya, Husna menekankan urgensi pembentukan regulasi yang jelas dan solusi pendanaan yang lebih mandiri agar penanganan pengungsi di Aceh dapat dilakukan secara lebih manusiawi, konsisten, dan terprediksi.

Tanpa adanya kepastian hukum dan dukungan pendanaan yang memadai, ia menilai kondisi pengungsi Rohingya akan terus berada dalam situasi rentan yang berkepanjangan.

Artikel SebelumnyaKisah Istri Salehah yang Digoda Tukang Air Gara-Gara Kelakuan Suaminya
Artikel SelanjutnyaCamat Teguh dan Keuchik Subarni Dituntut 3 Tahun Penjara

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here