Pembelajar yang “Belepotan” di Era Industri 4.0

Pembelajar yang “Belepotan” di Era Industri 4.0
Muhammad Afnizal, S.Sos., M.Sos. Alumnus Sosiologi USK dan Magister Sosiologi USU, bertugas sebagai Pengajar di MAN 1 Aceh Timur. Foto: HO for Komparatif.ID.

Era revolusi industri 4.0 merupakan istilah yang tidak asing lagi di telinga. Semua negara di dunia berusaha semaksimal mungkin mengadopsi era industri 4.0. Namun, di tengah maraknya era ini “sepertinya” banyak pihak bukan tidak tahu terkait kemunculan era industri 4.0 ini, melainkan lebih mengarah untuk “tidak mau tahu” akan keberadaannya.

Sikap yang akan menyebabkan kondisi belepotan dalam menghadapi “new era” ini.

Padahal, ikut berperan aktif berbagai pihak terkhusus para praktisi keilmuan merupakan langkah baik dalam membawa negeri ini kearah kemajuan dan kesejahteraan.

Sikap acuh tak acuh harusnya diganti dengan keinginan untuk “mau tahu” terhadap kondisi sekarang, karena mau tidak mau kita hidup dan berjalan dalam eranya.

Maka dari itu untuk menjaga proses keterlibatan bangsa diperlukan kesadaran secara kolektif, kemauan yang kuat dalam berpartisipasi dengan jiwa dan raga. Menilik pembelajar sebagai anutan yang harus memberikan teladan kepada masyarakat yang lebih luas.

Hal ini dimaksudkan sebagai pembentukan karakter pada pribadi setiap pembelajar supaya lebih konkrit dalam bertindak dan berpikir, supaya fenomena belepotan dalam menghadapi era industri 4.0 tidak terjadi.

Tidak perlu menunggu nanti, sekarang adalah momentum yang cocok untuk semua terkhusus insan pendidikan supaya kembali berbenah diri, mewawancarai diri secara “deep interview” apakah memilih tetap berusaha bertahan dalam zona nyaman-ketinggalan zaman, ataukah meralat diri bahwa sebagai pembelajar masih sangat “belepotan” dalam berpartisipasi di era industri 4.0.

Konkretnya, fenomena “belepotan” yang disebutkan disini acapkali muncul di sekitar kita. Sudah lebih dari satu dekade sejak pertama kali istilah industri 4.0 muncul, kesannya proses penerapan yang terjadi di sekeliling cenderung masih kian pasif, tidak serius dan “melompat-lompat”.

Belepotan diartikan sebagai kondisi yang berantakan, acak-acakan, carut-marut, tidak teratur. Ungkapan yang penulis anggap pas menggambarkan kondisi yang semrawut dalam menghadapi era industri 4.0 dewasa kini.

Bagi yang mengakui diri sebagai pembelajar dan diakui juga oleh sistem pendidikan secara formal maupun non formal. Terdiri dari siswa dan guru serta berbagai subjek relasi belajar lainnya yang dianggap sebagai pembelajar. Termasuk pembelajar yang paling tinggi kastanya yaitu mahasiswa dan dosen, diharapkan menjadi “kiblat” dalam menghadapi era industri 4.0 ini.

Baca jugaMasa Depan Pendidikan Dayah di Tengah Dominasi AI

Harapan tersebut tidak menjadi kewajiban mutlak tentunya karena tidak ada “dalil Tuhan” yang mengatur secara eksplisit tentang hal ini, tidak ada ancaman neraka yang pasti jika kita masih belepotan dalam menyikapi industri 4.0 ini.

Tidak bermaksud normatif, namun ada perasaan malu dan bersalah setidaknya yang menjadi tolok ukur untuk serius mengadopsi industri 4.0 dalam ruh pembelajaran dan sendi kehidupan.

Semenjak sebelum coronavirus disease 2019 (Covid-19) muncul untuk pertama kali di Wuhan, berbagai negara di belahan bumi telah hiruk-pikuk dengan industri 4.0 ini, bahkan ada yang negara yang sudah mendeklarasikan  telah memasuki era society 5.0 sejak 2017 yang lalu.

Seolah menjadi jawaban atas harapan sebagian untuk terus maju dan berani, punya nyali untuk bangkit dari malas, karena penyakit sosial rata-rata bukan terletak pada kebodohan, tapi variabel terbesarnya adalah rasa “malas” untuk mengganti ceruk dalam otak yang berisi bagian bodoh dengan bagian pintarnya.

Bagai pungguk merindukan bulan, covid-19 melanda negeri dan semua “mau tidak mau”, siap tidak siap dihadapkan pada pilihan harus mau dan siap, nyatanya harus menghadapi pemandangan belajar daring.

Proses pembelajaran jarak jauh menjadi jawaban ketika semua pembelajar harus berdiam diri dirumah  masing-masing. Belajar itu penting namun menyelamatkan nyawa harus lebih penting. Karena belajar perlu fungsi fisik yang sehat dan bergizi, namun siapa yang bisa belajar tanpa memiliki nyawa.

Diakui, sulit untuk menghadapi perubahan sosial yang “mendadak-dangdut” tersebut. Keguncangan terasa amat kuat dalam pranata sosial masyarakat. Protes masyarakat mengalir deras dalam penerapan belajar dari rumah.

Namun Kemendikbud keukeuh dengan penerapan “belajar dari rumah”, bantuan kuota diberikan, radio, televisi, menjadi media belajar atas jawaban ketimpangan ekonomi yang berlaku.

Namun mengapa terasa begitu cengengesan, seolah tidak serius dalam praktiknya. Pemanfaatan teknologi internet ketika belajar dari rumah hanya sebatas  menjadi pilihan sulit, untuk segera ditinggalkan karena sarat akan masalah yang muncul. Alih-alih mencari solusi dan terus berbenah diri, tampaknya cara belajar tradisional lebih diterima.

Disinilah fokus masalahnya, sampai kapan akan menahan diri untuk tidak bergelut dengan era industri 4.0. “Orang” sudah ke bulan kita masih berdebat bumi bulat apa datar, “orang” sudah menciptakan nuklir kita masih berbangga hati membahas mengusir penjajah dengan bambu runcing. Bukankah “kita” juga “orang seperti orang-orang?”.

Bukankah tingkat intelektual juga dilihat dari mana seseorang mampu menempatkan diri? Miris rasanya melihat “pembelajar” terkhusus di “bumi Serambi Mekah” masih “ramai” yang belum ikut ambil bagian dengan serius dalam menghadapi kenyataan, berpartisipasi dengan kecanggihan teknologi, industrialisasi.

Mereka masih canggung dalam presentasi menggunakan power point, masih bingung dan gugup ketika dimintai untuk “share screen” dalam pengalaman belajar daring.

Bukankah banyak video literasi, cara belajar otodidak, hampir tutorial belajar apapun ada videonya di internet. Semua konsep yang bernilai positif dan negatif ada link nya.

Namun kecenderungan yang ditonton bukanlah video yang mendukung studi, melainkan video asusila yang mempertontonkan aksi “belepotan-sensual” yang konon nya juga ada yang diperankan oleh “siswa” bahkan “guru”. Tidak bermaksud menjadi penilai etis, namun malu rasanya menyaksikan fenomena ini terjadi.

Pembelajar adalah kunci dalam menghadapi era industri 4.0 berikut problematika dan tantangannya. Kesiapan para pembelajar secara fisik, keilmuan dan mental merupakan jalan yang harus ditempuh meski terjal dalam konteks menghadapi segenap problematika dan tantangan di era industri 4.0 ini. 

Kasus belepotan hanyalah menjadi fenomena “habitus” yang dapat dicegah dan tidak terjadi jika terdapat kepedulian secara kolektif, bahu membahu dalam menyongsong arah pembelajaran yang lebih baik, lebih bermartabat.

Dengan tetap menjunjung pada dua nilai kebudayaan yang membaur pada praktik industrialisasi dan esensi kearifan lokal, sehingga karakter pribadi bangsa terkhusus pembelajar tetap terakomodasi pada tatanan dan tuntunan dari hakikatnya Bangsa Indonesia.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here