Pembangunan Jalan Geurutee di Masa Kolonial Belanda

Jalan Kolonial Gunung Geurutee Pemandangan puncak Geurutee dengan latar lautan dan Pulau Kluang, 1923-1938. Foto: Dok. Samsuir Husaini.
Pemandangan puncak Geurutee dengan latar lautan dan Pulau Kluang, 1923-1938. Foto: Dok. Samsuir Husaini.

Belanda membangun jalan Geurutee dengan dua tujuan utama. Secara militer, jalan ini menjadi saluran logistik dan pasifikasi. Infrastruktur jalan dan rel kereta dibangun untuk mempermudah serangan ke daerah pedalaman. Misalnya, jalur kereta api sepanjang 39 km di Aceh Besar dilanjutkan ke Pidie agar pendudukan militer lebih mudah.

***

Setelah menaklukkan Aceh dalam Perang Aceh (1873–1904) atau bagi mereka masa itu dianggap sudah sedikit lega, karena perang yang dilancarkan orang Aceh tidak lagi bersifat sebagai sebuah nanggroe, karena sultan Aceh sudah “didamaikan”, Belanda berusaha mengendalikan sisa daerah aceh yang sulit dijangkau, terutama di wilayah Barat-selatan yang menjadi penghalang ada Gunung Geurutee.

Hingga paruh kedua abad ke-19, akses menuju wilayah Barat Selatan Aceh —mulai dari Lamno, Calang, Teunom, hingga Meulaboh— masih mengandalkan jalur laut. Jalan darat menembus Gunung Geurutee belum tersedia, sehingga mobilitas penduduk, perdagangan, maupun operasi militer dilakukan dengan kapal.

Situasi ini turut mewarnai Perang Meulaboh 1877–1878. Perlawanan dipimpin oleh Teuku Keujreun Muda, yang pada awalnya dipersiapkan sebagai putra mahkota (Teuku Abdurahman), putra dari Teuku Tjik Ali sebagai Kepala Daerah dengan nama jabatan Teuku Lela Perkasa.

Pada 24 Februari 1877, Teuku Tjik Ali sebenarnya sudah terikat pada korte verklaring (kontrak politik) dengan Belanda, yaitu dokumen pengakuan kedaulatan kolonial di wilayahnya, namun putranya tidak setuju dan melakukan perang terbuka dengan Belanda.

Namun, meskipun kontrak telah ditandatangani, perlawanan rakyat Meulaboh tetap berlangsung. Teuku Abdurahman bersama pasukannya terus melakukan perlawanan sepanjang tahun 1877–1878. Perang ini memperlihatkan betapa kuatnya tekad lokal mempertahankan kedaulatan meski tekanan militer dan politik Belanda semakin berat.

Akibat situasi perang berkepanjangan, Teuku Abdurahman kemudian digantikan oleh adiknya, Teuku Tjik Itam Teuboh, sebagai pemimpin. Pergantian ini menandai keberlanjutan garis kepemimpinan lokal di tengah tekanan kolonial dan menjadi bagian dari dinamika elite Aceh Barat dalam menghadapi ekspansi Belanda.

Belanda harus mengerahkan pasukan dan lainnya melalui jalan laut, karenanya jalan darat harus dipikirkan dan direalisasi agar penguasaan akan lebih mudah dan murah.

Baca juga: Asal Usul Nama Meulaboh

Pada awal 1920-an, terutama setelah Aceh secara resmi “diperangus” dan pacifikasi relatif tuntas, pemerintah Hindia Belanda mulai membangun infrastruktur di pantai barat selatan Aceh. Salah satunya adalah pembuatan jalan di Gunung Geurutee sebagai akses darat ke daerah Barsela (Barat dan Selatan).

Menurut catatan lokal, tahun 1922 Belanda memotong jalur setapak pada sisi Geurutee, kemudian pada bulan Ramadan 1923 membuka jalan darat permanen yang kini dilalui. Jalan ini menghubungkan Lamno (Aceh Jaya) ke wilayah pegunungan dan pantai barat selatan.

Tujuan Strategis (Militer dan Ekonomi)

Belanda membangun jalan Geurutee dengan dua tujuan utama. Secara militer, jalan ini menjadi saluran logistik dan pasifikasi. Infrastruktur jalan dan rel kereta dibangun untuk mempermudah serangan ke daerah pedalaman. Misalnya, jalur kereta api sepanjang 39 km di Aceh Besar dilanjutkan ke Pidie agar pendudukan militer lebih mudah.

Dengan jalan Geurutee, pasukan kolonial dapat bergerak cepat antara pusat pemerintahan di Banda Aceh dan wilayah strategis Barat-Selatan.

Secara ekonomi, jalan ini membuka lahan bagi perkebunan dan perdagangan. Belanda pada 1930-an aktif membuka perkebunan karet dan kelapa sawit di kawasan pantai barat Aceh. Misalnya, tahun 1934 pemerintah Hindia menanam 400.000 pohon karet di sekitar Meulaboh.

Jalan darat memudahkan pengangkutan hasil perkebunan dan kebutuhan logistik. Hingga 1932 Aceh bahkan mengalami surplus beras yang harus diekspor ke daerah lain. Dengan kata lain, jalan Geurutee tidak hanya alat penegakan kontrol militer, tetapi juga sarana mengintegrasikan perekonomian kawasan ke dalam sistem kolonial.

Tahapan Pembangunan Jalan Geurutee

Pembangunan jalan Gunung Geurutee terjadi dalam beberapa tahap:

1922: Jalan Setapak dan Awal Pembangunan

Pertama dibuka jalur setapak darurat di lereng Geurutee untuk kepentingan patroli militer. Namun jalur ini sulit dilalui, terutama saat hujan. Pada bulan Ramadan 1923 Belanda kemudian membuka jalan darat permanen yang lebih baik hingga titik tertentu.

Sekitar 1925: Pelebaran dan Perluasan Jalur

Beberapa tahun kemudian Belanda melanjutkan pembangunan menuju ke kawasan pedalaman. Sekitar tahun 1925 dibangun jalan panjang sekitar 32 km yang menghubungkan Kecamatan Geumpang (Pidie) hingga Kecamatan Sungai Mas (Aceh Barat/Singkil). Ini menembus pegunungan barat selatan Aceh, memudahkan pergerakan militer dan perdagangan antara daerah pesisir dan lembah pedalaman.

Tahapan tersebut menunjukkan perlahan Belanda merampungkan terowongan jalur darat di kawasan pegunungan yang sebelumnya hampir tak tersentuh.

Wisatawan saat menyantap mie di warung Puncak Geurutee berlatang Pulau Kluang. Foto: Komparatif.ID/Fuad Saputra.
Wisatawan saat menyantap mie di warung Puncak Geurutee berlatang Pulau Kluang. Foto: Komparatif.ID/Fuad Saputra.

Tenaga Kerja dan Keterlibatan Tionghoa

Tidak banyak catatan resmi mengenai siapa pembangun jalan ini, tetapi pola umum proyek kolonial Aceh dapat menjadi petunjuk. Pada masa itu, penduduk Aceh umumnya enggan bekerja untuk Belanda karena ketegangan pascaperang. Sebagai contoh, pembangunan kembali Masjid Raya Baiturrahman (1880-an) terhambat karena “tidak ada rakyat Aceh yang mau diajak bekerja”.

Akibatnya, Belanda mengimpor tenaga kerja dari Tiongkok—kontraktor dan pekerja Tionghoa yang bersedia bekerja di kondisi perang Aceh. Kemungkinan besar situasi serupa terjadi di Geurutee: proyek ini menggunakan tenaga luar (termasuk Tionghoa) untuk pekerjaan-pekerjaan berat seperti peledakan dan konstruksi teknik. Meskipun tidak ada bukti arsip langsung di akses publik, catatan sekunder menyebutkan bahwa Belanda sering kali membawa pekerja Tionghoa ke Aceh ketika tenaga lokal menolak

Tantangan Geografis dan Teknis

Topografi Gunung Geurutee sungguh menantang. Puncaknya mencapai sekitar 750 m di atas laut, dengan lereng curam dan hutan lebat. Membangun jalan berarti memotong batuan keras dan menanjak melalui jurang. Menurut catatan lokal, melewati Geurutee tetap sulit sampai Belanda membuat jalan di sisinya.

Kekuatan batu Gunung Geurutee disebut-sebut luar biasa keras, sehingga “mahalnya biaya menghancurkan batu-batu gunung ini, Belanda sempat kehabisan uang untuk membangun jalan”.

Pekerjaan memecah batu menggunakan peledak dan tenaga masif itu menjadi salah satu tantangan terberat, apalagi dengan risiko longsor dan tabrakan tebing. Jalan ini kemudian dibangun berkelok mengikuti kontur gunung, namun kondisi sempit dan rawan bencana sepanjang lereng Geurutee tetap menjadi warisan teknik kolonial yang sulit.

Sumber Arsip dan Dokumentasi Belanda

Sampai saat ini belum banyak ditemukan dokumen Belanda yang secara spesifik membahas proyek jalan Geurutee. Literatur kolonial yang ada lebih sering menyinggung pembangunan umum di Aceh (misalnya jalan kereta api dan perkebunan). Tidak ada sumber online dari arsip Hindia Belanda (misalnya Koloniaal Verslag atau laporan De B.O.W.) yang menyebut nama Geurutee secara eksplisit.

Sebagian informasi yang ada berasal dari catatan sekunder atau cerita lokal. Dengan demikian, detail teknis tentang kontraktor, anggaran, atau tahun-tahun persis pengerjaan proyek masih mengandalkan sumber-sumber lokal dan penelitian modern.

Referensi Belanda yang relevan lebih banyak terkait proyek lain (misalnya laporan pembangunan Masjid Baiturrahman dan infrastruktur kota Banda Aceh), sehingga penggalian arsip lebih lanjut diperlukan untuk menemukan data arsip spesifik tentang jalan Geurutee.

Tulisan Teuku Ahmad Dadek. Disitat dari timeliine Facebook.

Artikel SebelumnyaCabor Pordi Aceh Resmi Terbentuk, Ini Susunan Pengurusnya
Artikel SelanjutnyaKajati: Adhyaksa Aceh Auto Fest 2025, Wahana Kreatifitas dan Ekonomi
T. Ahmad Dadek
Warga Meulaboh, Aceh Barat. Perencana Ahli Utama Pemerintah Aceh.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here