
Komparatif.ID, Banda Aceh—PT PEMA akan menggarap bisnis karbon yang berpotensi menghasilan Rp3 triliun per tahun. Untuk mewujudkan proyek tersebut, PT PEMA mennyebutkan lebih 100 ribu hektare hutan di empat kabupaten akan menjadi pusat pengembangan bisnis karbon. Tapi, mantan timses Mualem-Dek Fadh meragukan bisnis tersebut. Mantan aktivis lingkungan hidup itu menilai bisnis karbon hanya rencana menggantang asap.
Direktur Komersial PT Pembangunan Aceh Faisal Ilyas, Senin, (11/5/2025) menyampaikan wacana bisnis karbon akan menjadi proyek besar. Saat ini pihak PT PEMA telah menyiapkan lahan lebih dari 100 ribu hektare di Kabupaten Bireuen, Bener Meriah, Aceh Tengah, dan Aceh Timur.
Baca: PT ANIP Siap Investasi Karbon dan Pertanian di Aceh
100 ribu hektare lebih hutan tersebut akan dijadikan kawasan prioritas pengembangan karbon berbasis Nature-Based Solutions (NBS). Lahan tersebut—termasuk lahan kritis –akan dikomersilkan untuk bisnis karbon.
Bisnis karbon berbasis NSB menurut Faisal Ilyas, bukanlah proyek yang akan menggerus hutan Aceh. Tapi justru tindakan melindungi, mengelola secara berkelanjutan, dan merehabilitasi ekosistem alam atau yang dimodifikasi, sekaligus memberikan manfaat terhadap keanekaragaman hayati dan kesejahteraan manusia. Hal itu sesuai dengan Global Standard for Nature-based Solutions (2020).
Bisnis karbon yang digerakkan PT PEMA, merupakan upaya mewujudkan ekonomi hijau di Aceh, dengan mengedepankan restorasi—pemulihan—lingkungan , memberdayakan masyarakat adat dan desa, serta monetitasi jasa ekosistem, dengan menempuh beberapa skema yang saling memberikan keuntungan.
Untuk mewujudkan rencana tersebut, PT PEMA akan menggandeng PT Sagint, sebuah perusahaan teknologi dan infrastruktur aset digital lingkungan, yang berdasarkan hukum Kerajaan Arab Saudi dan Amerika Serikat.
“Teknologi Sagint bakal digunakan untuk validasi, registrasi dan monitoring stok karbon secara real-time. Teknologi ini menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam penghitungan emisi,” terangnya.
Faisal pada kesempatan itu mengatakan, dengan kolaborasi tersebut, Provinsi Aceh menjadi daerah pertama di Indonesia yang menggabungkan penggunaan AI, data geospasial, dan uji biomassa di lapangan. Kolaborasi itu akan menjawab kebutuhan measurement, reporting, and verification berbasis bukti nyata.
Bisnis karbon Aceh saat ini sudah pada tahapan penyelesaian legal mapping and social atas lahan potensial, yang di dalamnya termasuk hutan adat, hutan desa, hutan lindung, dan lahan gambut.
Dengan menggunakan skenario konservatif asumsi rata-rata potensi serapan karbon sebesar 10 ton CO₂ per hektar per tahun, proyek ini diproyeksikan menghasilkan lebih dari 1 juta ton CO₂e per tahun, jika dikonversi pada nilai karbon saat ini mencapai 10–20 dolar AS per ton.
Langkah ini berpotensi menciptakan nilai ekonomi antara 100 juta hingga 200 juta dolar AS per tahun. Proyek karbon Aceh oleh PEMA ini menandai babak baru arah pembangunan ekonomi daerah berbasis sumber daya alam berkelanjutan, terukur secara ilmiah, dan inklusif terhadap masyarakat adat dan lokal.
Forbina: Bisnis Karbon PT PEMA Hanya Hikayat Menggantang Asa
Direktur Bangun Investasi Aceh (Forbina) Muhammad Nur,S.H, menanggapi wacana bisnis karbon yang didengungkan PT PEMA Perseroda sebagai wacana delusi. Sebagai mantan Direktur Walhi Aceh, M. Nur menyebutkan apa yang disampaikan Faisal Ilyas, merupakan wujud dari ketidakpahaman manajemen holding tersebut dalam mengelola isu karbon.
Muhammad Nur mempertanyakan di mana letak 100 ribu hektare lahan hutan yang tersebar di empat kabupaten. 100 ribu hektare hutan bukan sekadar angka. Tapi sesuatu yang sulit. Karena di Aceh saat ini mendapatkan 50 ribu hektare saja hutan yang bebas dari kepentingan bukan perkara mudah. Hutan di Aceh telah dibagi habis untuk berbagai kepentingan.
Muhammad Nur mengajukan data, saat ini Aceh memiliki 3,5 juta hektare hutan. Akan tetapi hutan seluas itu telah dibelah-belah untuk berbagai kepentingan. Kawasan Ekosistem Leuser 2,2 juta ha, hutan desa 47.594 ha, hutan adat 105.147 ha. Sisanya terbagi ke dalam hutan lindung 1,7 juta ha, hutan produksi 711 ribu ha, hutan produksi terbatas 141 ribu ha, dan konversi 1,05 juta ha, termasuk cagar alam, TNGL, tahura, taman buru, dan APL. Belum lagi ribuan hektare yang telah diubah untuk perkebunan sawit, tambang, hingga proyek energi yang sah secara hukum.
“Dari mana PT PEMA mengambil 100 ribu hektare untuk proyek bisnis karbon? Saya ragu bila bisnis tersebut serius. Jangan-jangan hanya mantra pengantar tidur, supaya rakyat Aceh sibuk mengonsumsi isu-isu yang seakan-akan bagus untuk rakyat, tapi justru tak berujung dan tak berpangkal,” kata M. Nur yang pernah menjadi komisaris salah satu perusahaan migas yang bekerja di Aceh.
Nur mengatakan, isu bisnis karbon bukan hal baru di Aceh. Sejak Irwandi Yusuf memimpin Aceh pada periode pertama, isu karbon telah menjadi wacana pembangunan. Program REDD+, sampai sekarang tidak maujud.
“Lha, sekarang PEMA muncul lagi mengusung isu yang sama, melalui BPDLH dan kerja sama dengan pihak swasta. Apa ini? Sekarang seperti apa struktur kelembagaan, aktor bisnis, hingga tenaga ahli kehutanan dan lingkungan hidup di PEMA?,” katanya.
Dia juga menjelaskan, Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Aceh, justru sudah menjalankan Program Kampung Iklim dan berhasil mencairkan dana sebesar USD 1,7 juta atau sekitar Rp27 miliar tahun ini. “Program kampung iklim konkret, menyentuh masyarakat langsung. Bandingkan dengan PEMA yang hanya menyebar narasi uang triliunan tanpa peta wilayah, data hukum, atau kejelasan teknis,” katanya.
Forbina memilih tidak percaya bila bisnis karbon tersebut benar-benar dapat direalisasikan oleh PT PEMA. Terlalu banyak hal yang belum jelas. “Ujung-ujungnya hikayat menggantang asap,” imbuhnya.