Pagi di Pelabuhan Samudera Lampulo

pelabuhan samudera lampulo
Warga keluar masuk Pelabuhan Pendaratan Perikanan Samudera (PPS) Kutaraja di Lampulo, Minggu (13/7/2025). Foto: Komparatif.ID/Muhajir Juli.

Kali ini tidak banyak pilihan di Pelabuhan Samudera Lampulo. Ikan-ikan yang dibongkar dari kapal, umumnya keluarga besar pelagis. Terbanyak yaitu tongkol. Hal yang paling menarik tentang pedagang liar yang menggelar dagangan di atas lantai.

Jarum jam telah menunjukkan angka 10.00 WIB, ketika Komparatif.Id beranjak dari Meunasah Manyang, Ingin Jaya Aceh Besar, menuju Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Kutaraja, Banda Aceh. Orang-orang lebih familiar menyebutnya Lampulo saja.

Mengendarai Toyota Kijang LGX MPV bersasis rangka tangga rakitan tahun 2002, Komparatif.ID melaju ke Pelabuhan Samudera Lampulo, yang merupakan PPS terbesar di Aceh. Semua orang sudah mahfum bila ikan-ikan dengan kualitas terbaik tersedia di sana.

Tiba di Pelabuhan Samudera Lampulo, Minggu (13/7/2025), suasana tidak lagi penuh sesak. Para penggalas ikan yang biasanya berkerumun, telah berpencar ke segala arah mata angin, menjajakan ikan ke kampung-kampung di Banda Aceh dan Aceh Besar.

Demikian juga para pedagang ikan di pasar-pasar rakyat di Banda Aceh dan Aceh Besar. Mereka telah berjualan di lapak masing-masing.

Meski tidak menyediakan banyak pilihan pada kesempatan kali ini, tapi dengan mudah pengunjung mendapatkan ikan dengan berbagai tingkatan kesegaran. Mulai yang masing mengkilap dan bengkok, hingga yang sudah remuk.

“12 ribu saja, Pak, Buk!” teriak pedagang ikan yang menjajakan ikan berukuran dua jemari. Ikan-ikan itu terlihat remuk redam, tapi belum busuk. Pembeli jongkok di depan tumpukan ikan di pintu masuk gedung Pelabuhan Samudera Lampulo.

Beberapa perempuan secara telaten memilih ikan yang masih layak dibawa pulang. Tapi memilih ikan utuh di dalam tumpukan ikan yang telah remuk, bukan pekerjaan mudah. Setelaten apa pun, tetap saja, yang didapatkan terbaik di antara yang hancur.

Di sudut lain, di teras belakang gedung yang dibatasi parit berair hitam berbau menyengat, seorang lelaki menyiangi potongan hiu berukuran sebesar tiang listrik. Dari tiga ekor hiu yang belum dipotong, terlihat sirip-siripnya sudah tidak ada lagi.

Meski dilarang oleh pemerintah, perburuan ikan hiu di Aceh cukup massif. Hiu-hiu yang biasa ditangkap oleh nelayan Aceh terdiri dari hiu koboi (Carcharhinus longomanus), hiu martil (Sphyrna leweni), dan hiu gergaji (Pristis microdon).

Pedagang menyebutkan bisnis sirip hiu sangat menggiurkan. Dijual ke luar negeri dengan harga yang sangat menarik. Daging-dagingnya, sebagian dijual mentah. Sebagian lagi diasinkan. Penggemar daging hiu di Aceh pun cukup banyak.

Harga hiu segar ukuran 30 kg dijual ke pedagang Rp300-400 ribu.

Murdhani M. Amin (70) warga Banda Aceh yang menyapa Komparatif.Id di Pelabuhan Samudera Lampulo, Banda Aceh, tersenyum lebar. Pria pensiunan PT Arun tersebut mengatakan harga udang ukuran besar Rp70 ribu per kilogram.

“Biasanya Rp100 ribu. Hari ini hanya Rp70 ribu,” kata Murdhani sembari tersenyum.

Pria ramah yang merupakan sesepuh Ikatan Keluarga Masyarakat Juli (IKMALI) Banda Aceh tersebut mengatakan dirinya datang seorang diri berbelanja ke Lampulo. Ia sengaja datang ke pelabuhan tersebut, karena mudah mendapatkan ikan segar.

Meski jelang siang, pekerja di Lampulo sangat sibuk. Sejumlah kapal nelayan masih membongkar muatan. Hari ini, keluarga besar pelagis yang paling banyak didaratkan. Tongkol merupakan pelagis yang paling banyak tersedia pagi ini.

Seorang tukang becak barang khusus Pelabuhan Samudera Lampulo, merepet ketika becaknya teradang di tengah jalan. Ia kesulitan melaju karena pedagang liar membuka kapak ikan di lantai, di tepi jalan di dalam pelabuhan.

Pria itu sengaja menyenggol dengan lembut lengang seorang perempuan yang sedang membeli ikan di lapak liar. Perempuan itu tidak marah, karena cara tukang becak menyenggol lenggannya sudah patut dianggap santun di tengah keramaian pelabuhan.

Di jalan menuju pintu masuk menuju gedung pelelangan ikan, di kiri-kanan, sejumlah pedagang liar juga menggelar lapak. Ada yang menjajakan barang menggunakan becak, gerobak, dan ada pula yang langsung menaruh dagangan di atas terpal yang digelar di atas tanah.

Seorang pria berkulit gelap. Ia menjual salak dan jeruk. Menyapa setiap yang lewat dengan kalimat khasnya.

“Salak manis, salak manis. Jeruk manis, jeruk manis. Silakan coba, murah, murah!”

Tak ada yang menghampiri salak dan jeruk yang ia jajakan. Pria itu mengipas wajahnya menggunakan karton bekas wadah air mineral.

Pedagang sayuran, rempah-rempah, buah-buahan seperti salak dan jeruk, menyatu dalam hiruk-pikuk pasar. Penjual obat-obatan tradisional, menyapa ramah pengunjung sembari menawarkan obat-obatan herbal untuk sakit gigi, sakit kepala, dan segala jenis penyakit lainnya.

Seorang pedagang lem periuk, bekerja lebih modern. Ia hanya duduk di belakang jejeran periuk rusak. Sebuah microphone ditaruh di dekat sebuah perekam suara. Microphone tersebut melantangkan suara promosi tentang kelebihan lem anti bocor yang dapat digunakan menempel panci dan periuk yang telah bocor.

Pedagang obat-obatan tradisional, pedagang lem periuk, merupakan bagian tak terpisahkan dari pasar rakyat, di manapun, dan kapanpun.

Pedagang teri –bilis yang dikeringkan—menumpuk dagangannya di dalam bak pick up kecil. Teri ditumpuk sesuai ukuran.

Seorang perempuan muda yang menjajakan minuman ringan segar yang botol-botol besarnya ditata sedemikian rupa pada sebuah gerobak, duduk sembari menunduk. Jemarinya atraktif meng-swipe—layar smart phone. Ia terlihat tak peduli siapa yang lewat di depannya. Mungkin dia berpegang teguh pada salah satu konsep dasar dagang tradisional; lo yang butuh, lo yang beli.

Sejumlah warung kopi dan pedagang nasi, berjualan di ruko-ruko kecil yang telah dibangun oleh pemerintah di dalam lokasi Pelabuhan Samudera Lampulo. Jarak antara warkop dan pusat pelelangan ikan, sangatlah dekat.

Para penggalas –mugee eungkot—yang sekitar pukul 10.15 WIB, masih menata ikan di dalam raga eungkot, satu persatu berangkat. Mereka meninggalkan Pelabuhan Samudera Lampulo, menuju langganan masing-masing. Besok, mereka kembali lagi, dengan rutinitas yang sama.

Artikel SebelumnyaBireuen Dapat Bantuan Optimasi Sawah 500 Hektare dari Kementan
Artikel SelanjutnyaFinal Piala Dunia Antarklub  FIFA 2025, PSG Diprediksi Juara
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here