Setelah sekian waktu harus bertarung dengan penyakitnya, pada Jumat (27/5/2022) pagi, Buya Ahmad Syafii Maarif pamit dari hiruk pikuk dunia. Sang ulama cum negarawan yang selalu membela keindonesiaan, Kembali ke hadirat Ilahi Rabbi pada usia 86 tahun. Indonesia berduka.
Sang profesor, merupakan cendekiawan Indonesia yang selalu hadir di tengah umat dengan gagasan tentang Indonesia yang berdaulat dengan kebangsaaanya. Mantan Ketua Umum DPP Muhammadiyah itu kerap tidak disukai karena pikiran-pikirannya yang universal. Bahkan pada Pilpres 2014 dia menjadi sasaran empuk hinaan karena memberikan dukungan kepada Ir. Joko Widodo. Tudingan terhadap dirinya bermacam-macam, bahkan cacian juga datang dari kalangan organisasinya sendiri.
Dukugannya kepada Jokowi tidak terbatas pada Pilpres 2014, sang agamawan tetap konsisten memberikan dukungan kepada Jokowi pada Pilpres 2019. Bagi Buya, Jokowi adalah Presiden Indonesia yang paling gencar membangun infrastuktur, melebihi para pendahulunya. Jokowi juga seorang Presiden Indonesia yang berani berbeda pendapat dengan orang yang mendukungnya.
Dukungan terbuka lelaki kelahiran Sumpurkudus, Sijunjung, Sumatera Barat, Hindia Belanda, pada 31 Mei 1935, menghadirkan kecaman terhadapnya. Banyak yang menudingnya sebagai ulama yang mengutamakan dunia. Tapi Buya Syafii maarif tidak goyah. Baginya sikap yang ia pilih, merupakan jalan terbaik untuk menjaga keindonesiaan.
Pada 27 Mei 2022, pada pagi hari, di Kampung Gamping, Sleman, Yogyakarta,Buya Syafii Maarif pamit pulang ke haribaan Ilahi. Dia dipanggil pada hari yang teramat mulia: Jumat.
Ucapan dukacita mengalir dari berbagai penjuru. Dari Aceh sampai Papua mengaku kehilangan salah satu putra terbaik bangsa. Mereka mengagumi pikiran-pikiran Buya dalam menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara. Bahkan orang-orang yang sebelumnya menghina dirinya karena berbeda pilihan politik, mereka juga mengaku kehilangan seorang ayah untuk negara Indonesia.
“Kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga.” demikian sebuah lirik lagu, betapa “permata” kerap tidak terasa berharga bila ia sedang di depan mata.Kala ia tidak ada lagi, maka semua kebaikannya akan terpampang, betapa Buya bekerja keras menjaga Indonesia dari berbagai anasir yang ingin merongrong eksistensinya.
Selamat jalan, Profesor, selamat jalan Sang Pencerah.