Komparatif.ID, Sigli—Nurdin Hasan digusur paksa dari rumahnya 15 hari jelang Idulfitri. Peristiwa itu terjadi tahun 2000, kala eskalasi konflik senang naik di Aceh. Dalam kondisi sakit-sakitan, ia ditandu oleh petugas, dan menaruhnya pada sebuah kios rujak.
Nurdin Hasan diterima sebagai polisi pada tahun 1972. Dia bertugas di Pidie. Pada tahun 1997 sang polisi pensiun.
Pada tahun 1984, Nurdin Hasan mendapatkan hak kuasa atas tanah dan bangunan dari Letkol Nya’ Oemar. Hak kuasa atas tanah dan bangunan, diterima oleh Nurdin Hasan, setelah dia menempatinya selama tiga tahun.
Baca: Daftar Kapolda Aceh dari Masa ke Masa (1945-2024)
Rumah peninggalan Belanda tersebut dirawat dengan sepenuh hati oleh Nurdin Hasan. Beberapa bagian telah ia rehab. Anak-anaknya bertumbuh sehat di bawah naungan rumah yang beralamat di Gampong Cina, Sigli. Sekarang telah berubah status menjadi Gampong Kuala Pidie.

Tahun 2000, sebuah petaka datang. Pemerintah Pidie mengusir paksa Nurdin Hasan dan keluarganya. Tanpa kompensasi apa pun. Dengan dalih tanah dan bangunan tersebut milik daerah dan akan dipergunakan untuk pembangunan rumah dinas wakil bupati, Nurdin Hasan digusur paksa.
Kamal Mehra, salah satu putra Nurdin Hasan, yang kala penggusuran paksa itu terjadi sedang berada di Jakarta, mendapatkan kabar beberapa waktu setelah penggusuran. Adik perempuannya, menangis tersedu-sedu ketika bercerita, ayahnya harus ditandu kala diusir paksa. Mereka harus keluar pada hari itu juga.
“Tak ada belas kasihan. Padahal 15 hari lagi Idulfitri. Bapak, ibu, dan adik-adik, diusir di tengah siang Ramadan,” terang Kamal Mehra, Jumat malam (20/6/2025), saat bertemu dengan Komparatif.ID di salah satu warung kopi di Banda Aceh.
Kamal Mehra mengisahkan, Pemerintah Daerah Tingkat II Pidie kala itu memanfaatkan situasi konflik bersenjata antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Putra-putra Nurdin Hasan juga tidak berada di Aceh. Mereka berada di Jakarta, melanjutkan kehidupan, karena situasi keamanan Aceh yang tidak menentu.
“Mereka memanfaatkan keadaan. Baik karena kondisi ayah saat itu sudah sakit-sakitan dan telah pensiun dari polisi. Juga keadaan daerah. Berbekal surat yang telah dilayangkan, mereka tiba-tiba datang, memaksa rumah dikosongkan pada hari itu juga,” kisah Kamal Mehra.
Rumah peninggalan kolonial itu dirubuhkan. Tak satu tiang pun diperkenankan diambil oleh Nurdin Hasan. Kayu-kayu berkualitas bagus raib entah ke mana.
Pengusiran Nurdin Hasan tanpa persiapan kemanusiaan. Meski Nurdin dan keluarga dipaksa keluar, Pemkab Pidie tidak menyediakan hunian sementara. Dia diangkut paksa ke kios rujak oleh petugas. Kios rujak tersebut berjarak 50 meter dari rumah yang diambil paksa oleh Pemkab Pidie.
Ketika anak-anak Nurdin Hasan membangun hunian darurat di bekas toilet gedung ICMI, petugas merusaknya. “Kalau kami kenang masa itu, sangat perih,” katanya.
Di bekas rumah tersebut, didirikan rumah dinas Wakil Bupati Pidie.
Tahun 2006, Nurdin Hasan meninggal dunia. Ia mangkat setelah lama didera penyakit diabetes melitus.
Ahli waris tidak tinggal diam. Mereka bangkit menuntut keadilan. Cara mereka sangat santun. Sampai saat ini belum ada gugatan hukum ke pengadilan. Mereka ingat pesan allahyarham Nurdin Hasan, bahwa dalam kondisi terburuk sekalipun, anak-anaknya harus bertindak masuk akal, menjunjung tinggi kehormatan, dan menghargai perbedaan. Anak-anak Nurdin harus menjaga martabat korps kepolisian.
Persoalan kemudian ada pada Pemda Pidie. Mereka butuh dokumen aset untuk kediaman resmi wakil bupati. Sampai dengan saat ini, pajak atas tanah 39×28 meter tersebut masih atas nama Nurdin Hasan.
Menurut penuturan Kamal Mehra, beberapa kali ada upaya dari utusan Pemkab Pidie menjumpainya. Membujuk supaya ia mengakui bahwa tanah tersebut bukan milik ayahnya. Mereka yang adatang merupakan pegawai negeri bidang aset dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (BPKKD) Pidie.
“Mereka datang membawa secarik surat balik nama. Mereka meminta saya menandatanganinya. Saya dan keluarga menolak. Karena kami menolak tanda tangan, surat itu tidak diperlihatkan kepada kami,” kata Mehra.
Sebagai upaya diplomasi, Kamal Mehra beberapa waktu lalu, telah menemui Bupati Pidie Sarjani Abdullah, menyampaikan persoalan yang sedang mereka hadapi selama puluhan tahun. Saat itu Sarjani mengatakan akan mempelajarinya terlebih dahulu. Tapi setelah berbulan-bulan, tak kunjung ada jawaban dari orang nomor satu di Pidie tersebut.
Akankah Kamal Mehra berhasil memperjuangkan hak keluarganya yang kini telah dibangun rumah dinas wakil bupati Pidie? Sejauh mana kekuatan hukum yang mereka pegang?
Benarkah seperti klaim Pemkab Pidie bahwa tanah tersebut milik PJKA? “Kami punya bukti bila itu bukan aset PJKA,” kata Mehra.
Pihak ahli waris sampai saat ini masih menyimpan sejumlah dokumen terkait tanah tersebut. Seperti surat keterangan dari kantor Agraria Banda Aceh, surat yang ditandatangani Kapolres Pidie dan surat kuasa tanah. “Bahkan surat camat Kota Sigli yang meminta ayah kami kosongkan tanah itu masih kami simpan,” katanya.
Sampai kapan konflik tersebut akan berlangsung? Akankan Bupati Pidie Sarjani Abdullah menyelesaikan persoalan tersebut hingga tuntas? Hanya waktu yang akan menjawab.