Nurchalis Sebut Stigma Negatif Bikin Sektor Tambang di Aceh Sulit Dapat Investor

Nurchalis Sebut Stigma Buruk Bikin Sektor Tambang di Aceh Sulit Dapat Investor
Anggota DPRA Nurchalis menyebut stigma negatif yang membayangi sektor tambang membuat Aceh kesulitan mendapatkan investor. Foto: Komparatif.ID/Rizki Aulia Ramadan.

Komparatif.ID, Banda Aceh— Anggota DPRA Fraksi NasDem, Nurchalis, mengakui sektor tambang di Aceh masih menghadapi persoalan serius, baik dari sisi regulasi maupun persepsi publik.

Nurchalis menilai stigma negatif terhadap dunia pertambangan telah memengaruhi minat investor dan berdampak pada lemahnya kondisi fiskal daerah. Menurutnya, banyak pihak sudah terlanjur menganggap pertambangan sebagai sektor yang “buruk” dan “merusak”, sehingga ruang dialog publik menjadi sempit dan penuh prasangka.

“Stigma publik yang menganggap tambang itu terlalu buruk membuat kita sulit maju. Situasi ini juga membuat investor ragu untuk masuk. Padahal Aceh butuh sumber pendapatan baru, terutama ketika kemiskinan dan pengangguran terus meningkat,” ujar Nurchalis pada saat diskusi publik di Banda Aceh, Selasa (28/10/2025).

Ia menegaskan regulasi yang berlaku saat ini belum mampu mengakomodasi kebutuhan rakyat Aceh dalam pengelolaan sumber daya alamnya sendiri. “Dalam Qanun Nomor 15 Tahun 2013, kami melihat belum ada aturan yang secara jelas membuka ruang bagi rakyat untuk ikut terlibat dalam pengelolaan tambang,” katanya.

Baca juga: DJP Aceh: Dari 700 Perusahaan Tambang di Aceh, Hanya 45 yang Bayar Pajak

Karena itu, Nurchalis menjelaskan DPR Aceh sedang menyiapkan revisi terhadap qanun tambang. Revisi itu akan menambahkan ketentuan mengenai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) agar masyarakat memiliki akses legal untuk mengelola sumber daya di sekitar mereka.

“Insyaallah kita akan merevisi pasal tersebut dan memasukkan pasal Wilayah Pertambangan Rakyat. Ini untuk mengakomodir kepentingan rakyat agar terintegrasi antara pengusaha besar dengan masyarakat lokal,” jelas Nurchalis.

Selain menyoroti aspek partisipasi rakyat, Nurchalis juga mengungkapkan pentingnya memperjelas hubungan antara kewenangan khusus Aceh berdasarkan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba.

Ia menilai, tumpang tindih regulasi ini menimbulkan ketidakpastian hukum yang merugikan Aceh. Dalam beberapa kasus, izin tambang yang diterbitkan oleh pemerintah Aceh justru bisa dibekukan oleh pemerintah pusat, sementara perusahaan yang menggugat malah menang di pengadilan.

“Yang menjadi persoalan adalah ketika Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang dikeluarkan Aceh tidak diakui, sementara izin dari pusat yang dipercaya. Ini membuat sistem kita tidak jelas dan investor semakin ragu,” keluhnya.

Nurchalis menegaskan revisi qanun nantinya juga akan menegaskan kewajiban perusahaan tambang untuk berkontribusi langsung kepada daerah tempat mereka beroperasi.

“Kami juga akan meninjau kembali aturan yang menyangkut wilayah. Minimal satu persen dari total produksi harus dihitung untuk kepentingan masyarakat di sekitar wilayah tambang,” ujarnya.

Ia menekankan sektor pertambangan dapat menjadi salah satu tumpuan bagi kemandirian ekonomi Aceh jika dikelola dengan baik dan transparan. “Kita harus berani memperbaiki regulasi agar sektor tambang tidak lagi menjadi momok, tapi sumber kesejahteraan bagi rakyat Aceh,” tutupnya.

Artikel SebelumnyaKemenag Dorong Transformasi SDM di UIN Ar-Raniry Banda Aceh
Artikel SelanjutnyaTemui Menteri PU, Mualem Bahas Kelanjutan Proyek Terowongan Geurutee

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here