Neraca Perdagangan Aceh Defisit Parah

perdagangan Aceh
Murthalamuddin. Foto: Dok. Pribadi.

Komparatif.ID, Banda Aceh—Murthalamuddin, praktisi perdagangan mengatakan potensi pendapatan Aceh Rp82 triliun per tahun, merupakan uang yang beredar di pasar. Dengan demikian tidak dapat disamakan dengan dana otonomi khusus yang memang menjadi pendapatan daerah.

Kepada Komparatif.ID, Kamis (27/3/2025) Murthalamuddin menjelaskan uang sebesar Rp82 triliun yang dibahas oleh Praktisi Pasar Zubir Marzuki, merupakan uang Aceh yang selama ini mengalir keluar karena berbelanja. Baik itu belanja pangan maupun non pangan.

Baca: Aceh Berpeluang dapat 82 Triliun Pertahun, Tak Perlu Dana Otsus

Uang orang Aceh yang dimaksud yaitu berasal dari gaji yang kemudian dibelanjakan ke kios, kios belanja ke grosir, grosir mbelanja ke Sumatera Utara sebagai daerah tempat tinggal distributor besar pangan dan non pangan.

“Dengan kondisi perdagangan kita yang mengalami defisit parah, uang yang ada di tangan kita paling banyak berputar hanya empat kali di Aceh. Kemudian berduyun-duyun ke luar daerah,” kata Murthalamuddin.

Ia membandingkan dengan Sumatra Utara. Uang di daerah tersebut berputar lebih dari 10 kali, sehingga valuasinya membesar jauh melampaui Aceh yang hanya cuma tiga kali. Mengapa bisa terjadi demikian? Karena Aceh tidak memiliki produk. Semua kebutuhan Aceh baik perdagangan pangan maupun non pangan, didatangkan dari luar.

Dengan kondisi perdagangan Aceh yang defisit luar biasa parah, Sumatra Utara yang menjadi penyedia logistik, meraup untung besar.

Lalu, apa yang mesti dilakukan Aceh? Aceh wajib memproduksi produk perdagangan yang dibutuhkan keluar Aceh. Bila membutuhkan pembanding, Murhalamuddin mengajak Aceh melihat ke Lampung.

Apa yang dilakukan Lampung? Mereka mendatangkan seluruh kebutuhan ritel dari Jakarta dan Banten. Hanya beras yang tidak dipasok dari sana. Tapi kemudian, Lampung menarik kembali uanganya melalui perdagangan holtikultura.

“Lampung mengirim banyak sekali produk pertaniannya ke Jakarta dan Banten. Apa produk mereka? contohnya nanas, pisang, ubi, gula, jagung, ternak, dan lainnya,” sebut Murthalamuddin.

Ketika Lampung mampu mengirimkan banyak produk holtikulturanya ke Jakarta dan Banten, maka neraca perdagangan mereka tidak terlalu timpang. Ada keseimbangan pendapatan yang membuat provinsi tersebut dengan mitra bisnisnya seimbang.

“Uang mereka yangg lari untuk kebutuhan primer, mereka tarik lagi ke Lampung melalui produk holtikultura yang mereka jual,” sebutnya.

Lalu bagaimana dengan Aceh? Bila ingin Aceh sejahtera, maka Pemerintah Aceh harus memperkecil defisit perdagangan dengan Sumut.

Caranya, Aceh harus memproduksi kebutuhan apa pun yang dibutuhkan pasar luar Aceh. mungkinkah? Mungkin. Sejak ada dana otsus, setiap tahun Aceh menerima DIPA lebih besar dari Sumut. Di sisi lain, wilayah mereka lebih luas, kabupaten/kota lebih banyak. Penduduk juga lebih banyak.

“Mereka unggul pada sektor dagang. Mereka surplus, sehingga uang yang berputar di sana lebih besar. Dengan demikian lapangan kerja lebih banyak di sana. Dengan sumber daya demikian, maka wajar bila mereka bertumbuh sebagai kekuatan ekonomi yang sangat kuat,” imbuhnya.

Artikel SebelumnyaSerahkan LKPD ke BPK, Bupati Bireuen Target Raih WTP Lagi
Artikel SelanjutnyaGöt That Meup’up Chok, Pilot United Airlines Tuwö Ba Paspor
Muhajir Juli
Jurnalis bersertifikat Wartawan Utama Dewan Pers. Penulis buku biografi, serta tutor jurnalistik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here