Muslim Singapura Rayakan Idulfitri Pertama Tanpa Pembatasan Covid

Dekorasi menggantung di jalan di Singapura untuk merayakan Idulfitri yang menandai berakhirnya bulan puasa Ramadhan untuk umat muslim. Foto: AFP

Komparatif.ID, Singapura– Roslaini Husain, 61 tahun, bersemangat. Setelah dua tahun lebih tenang, dengan perayaan yang lebih kecil di tengah pandemi, dia akhirnya dapat menjadi tuan rumah perayaan Idul Fitri untuk umat muslim seperti dulu, menjamu hingga 30 tamu, berpesta dengan masakan rumahnya.

Ibu dari empat anak ini menantikan waktu menyambut kerabat dan teman-temannya pada hari Selasa. “Saya telah membeli banyak bunga segar, mendekorasi rumah saya, memasang lampu peri, mengeluarkan kue dan kue,” katanya. “Tahun ini kita bisa menerima tamu sebanyak yang kita mau”.

Hampir 16 persen dari 4 juta warga dan penduduk tetap Singapura adalah Muslim. Mereka merayakan Idulfitri untuk menandai akhir bulan puasa Ramadhan, dengan berkumpul dengan sanak famili. Tetapi selama dua tahun terakhir, pembatasan jarak sosial telah membungkam perayaan. Pembatasan sosial berskala besar pada 2020 melarang pertemuan secara langsung, sementara rumah tangga dibatasi hanya boleh menerima lima pengunjung sehari selama libur hari raya tahun lalu.

Bulan lalu, Singapura menghapus batasan ukuran berkerumun. Pemerintah juga memulai program pelonggaran pembatasan Covid-19, sebuah langkah yang disambut dengan sorak-sorai oleh komunitas muslim Singapura.

“Dengan pelonggaran pembatasan Covid-19, Lebaran tahun ini memang terasa hidup dan istimewa,” tulis Perdana Menteri Lee Hsien Loong dalam unggahan Facebook. “Untuk pertama kalinya sejak pandemi dimulai, teman-teman muslim kami dapat kembali normal, dan berkumpul dengan keluarga dan teman-teman untuk merayakan akhir bulan puasa bersama”.

Bagi Yusyafiqah Yusoff, ini berarti keluarganya yang terdiri dari 11 orang dapat merayakan Idulfitri bersama lagi secara langsung, tanpa perlu menyusun jadwal dan mengalokasikan slot waktu untuk kunjungan rumah.

“Saya benar-benar menantikan semua orang akhirnya bisa bertemu di satu tempat pada waktu yang sama. Kami akhirnya bisa merayakan Hari Raya seperti dulu,” kata pria 27 tahun itu.

Dua tahun perayaan skala kecil hampir membuatnya lupa betapa melelahkannya menjelang Lebaran. Kata Yusyafiqah “Jumlah pembersihan, persiapan, dan memasak yang perlu dilakukan sangatlah banyak.”

Dia biasanya membantu ibunya menyiapkan beberapa masakan tradisional, termasuk ayam masak merah (ayam dengan saus tomat pedas), sambal udang (udang cabai goreng), dan sambal goreng (tahu cabai goreng, tempe dan kacang).

“Meskipun melelahkan, saya menikmati seluruh proses karena memungkinkan saya untuk menghabiskan waktu bersama orang tua saya saat melakukan hal-hal ini, dan kami merasakan pencapaian setelah semuanya selesai,” kata Yusyafiqah.

Pelonggaran pembatasan bulan lalu juga memungkinkan umat muslim untuk sholat di masjid bersama, yang menurut Syafiq Shahiddin “agak sulit” selama pandemi karena jumlah orang yang bisa masuk terbatas kuota. Keluarganya memiliki tradisi panjang buka puasa bersama sebelum berangkat ke masjid untuk sholat, katanya, jadi menyegarkan bisa melakukannya lagi.

Artikel SebelumnyaAudi dan Porsche Akan Bergabung Dengan Formula Satu
Artikel SelanjutnyaSemifinal UCL: Villarreal Tak Kuasa Hentikan Liverpool

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here