
Komparatif.ID, Banda Aceh— Musisi kawakan sekaligus anggota DPR RI dari Daerah Pemilihan Aceh I periode 2019–2024, Rafly Kande, resmi mengundurkan diri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Langkah tersebut diambil usai ia gagal mempertahankan kursinya di Senayan dan kecewa terhadap proses internal partai pascapemilu.
Rafly menegaskan keputusan untuk keluar dari PKS adalah bentuk tanggung jawab moral sebagai representasi masyarakat Aceh yang telah mempercayainya sebagai wakil rakyat.
Ia mengaku tidak lagi menemukan nilai-nilai perjuangan yang dulu menjadi semangatnya bergabung ke dalam dunia politik melalui PKS.
“Saya masuk ke dunia politik bukan untuk sekadar duduk di kursi kekuasaan, tapi untuk memperjuangkan suara rakyat, keadilan, dan kebenaran,” ujarnya pada konferensi pers di Banda Aceh, Rabu (23/4/2025).
Menurutnya, ia telah mengikuti seluruh prosedur penyelesaian perselisihan suara pemilu yang diminta oleh DPP PKS, yakni melalui Mahkamah Partai dan bukan Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca juga: Rafly Kande Desak Pusat Bentuk Badan Tambang Aceh
Namun, dalam proses tersebut, ia merasa tidak ada upaya serius dari internal partai untuk menyelidiki dan menyelesaikan permasalahan yang dia ajukan. Rafly juga menyesalkan tidak adanya musyawarah atau dialog terbuka untuk mendudukkan persoalan secara adil dan transparan.
Upayanya untuk mencari kejelasan, katanya, berulang kali disampaikan kepada pimpinan PKS, namun tak mendapat respons yang memadai.
“Berulang kali saya sampaikan kepada para pemangku pimpinan di Partai Keadilan Sejahtera namun sepertinya tidak menemukan jawaban,” lanjutnya.
Kekecewaan Rafly memuncak saat merasa diperlakukan secara diskriminatif oleh partai yang sebelumnya telah mengantarkannya ke parlemen.
Ia menyebut dirinya merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri. Hal ini terjadi meskipun selama menjabat sebagai anggota DPR RI, ia telah berkontribusi dan totalitas memperjuangkan aspirasi rakyat Aceh.
Ia menegaskan bahwa pengunduran dirinya bukan bentuk pemberontakan, melainkan sikap jujur dan panggilan nurani ketika idealisme tak lagi mendapatkan tempat.
Rafly juga menyayangkan suara rakyat yang telah memilihnya—yang mencapai sekitar 45 ribu suara—tidak dihormati dalam proses yang ia nilai cacat secara etika. Ia merasa bahwa pemilu yang seharusnya menjadi momentum demokrasi justru mencederai kepercayaan publik karena hak-hak suara yang diperolehnya tidak diadvokasi sebagaimana mestinya.
“Namun seiring waktu tersebut saya menyadari proses perjuangan politik tidak harus berhenti sampai disini, saya merasa bahwa nilai demokrasi haruslah dijunjung tinggi dengan hati nurani dan kejujuran,” ucapnya.
Ia menegaskan tidak ingin menjadi bagian dari kebungkaman terhadap praktik-praktik yang menurutnya menyimpang dari kepentingan rakyat.