
Mou Helsinki –Memorandum of Understanding—antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandatangani di Helsinki, Filandia, pada 15 Agustus 2005, kembali mengemuka, tatkala empat pulau di Singkil dirampas paksa oleh Pemerintah Pusat –Kemendagri—dan diserahkan kepada Sumatera Utara. Semua orang angkat bicara. termasuk juru runding GAM dan juru runding RI.
Karni Ilyas mengetengahkan persoalan tersebut ke dalam dialog Indonesia Lawyer Club (ILC) pada Rabu malam (18/6/2025). Dua orang yang terlibat langsung, diundang. Mereka adalah Hamid Awaluddin, yang saat perundingan Helsinki, ditunjuk Pemerintah Pusat sebagai Ketua Delegasi Pemerintah RI. Karni Ilyas juga mengundang Munawar Liza Zainal, anggota juru runding dari pihak GAM. Munawar hadir melalui tele conference, karena tidak sempat datang ke Jakarta.
Dum! Ketika Munawar Liza diberikan waktu bicara, Prof. Hamid Awaluddin, S.H., LL.M., M.A., Ph.D, tiba-tiba mempertanyakan siapa Munawar Liza? Dia tidak mengenal Munawar. Sang diplomat mengaku di dalam forum bahwa dirinya tidak kenal narasumber yang disebut sebagai juru runding GAM.
Baca: Di ILC Hamid Awaluddin Coba “Lecehkan” Munawar Liza Zainal
Teng! Benarkah Hamid Awaluddin tidak mengenal Munawar Liza Zainal? Publik Aceh kaget. Tidak biasanya orang Sulawesi Selatan bersikap demikian. Apalagi seorang guru besar dan diplomat. Bukankah Munawar wara-wiri di Gedung tempat perundingan itu berlangsung? Dan yang pasti jumlah manusia yang terlibat dalam proses perundingan tidaklah banyak. Tidak ada jubelan manusia di sana. Tempat itu dijaga sangat ketat. Hamid Awaluddin tahu itu.
Saya berprasangka buruk saja. Bahwa Hamid Awaluddin pura-pura lupa. Apalagi setelah di Helsinki, mereka juga bertemu pada forum lain di Jakarta. Sama -sama sebagai pemateri yang mendiskusikan persoalan Aceh sebagai lesson learned.
Hamid sedang melakukan taktik pengingkaran sejarah. Mungkin dia hendak melakukan negasi, demi sesuatu yang saya tidak pahami. Karena Munawar Liza, Shadia Marhaban, Teuku Hadi Jerman, Irwandi Jusuf, bukan pelengkap. Demikian juga nama-nama lain seperti Damien Kingsbury, dll. Mereka bagian utuh dari juru runding GAM yang terdiri dari Teungku Malik Mahmud, Nur Djuli, Nurdin Abdurrahman, Bakhtiar Abdullah, dan Zaini Abdullah.
Tapi Hamid Awaluddin berani menyangkal. Seolah-olah tidak pernah mengenal. Suatu penyangkalan seperti kata pepatah, menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri. Semua orang pasti akan tertawa di dalam hati. Ah, seorang diplomat, guru besar, mengalami degradasi ingatan pada orang-orang yang terlibat dalam peristiwa sangat besar. Peristiwa yang kemudian mengangkat Hamid Awaluddin ke awan sebagai diplomat.
Ya, saya kira Hamid Awaluddin telah diserang amnesia akut.
Mou Helsinki sebagai sebuah nota kesepahaman pertama paling monumental di abad ini, menjadi rujukan banyak negara dalam upaya meredakan konflik, diperlakukan tidak adil oleh Pemerintah Republik Indonesia. Kehormatan MoU Helsinki diterabas sekuat tenaga. Banyak point yang belum dimasukkan ke dalam undang-undang.
Hal paling perih adalah upaya perampasan wilayah Aceh, dengan dimasukkan Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Panjang, dan Lipan, ke dalam wilayah Sumatera Utara. Kementerian Dalam Negeri menjadi aktor utama yang menyebabkan MoU Helsinki tidak dihormati. Pemutakhiran data wilayah yang menyebabkan Aceh kehilangan empat pulau, karena Kemendagri tidak menghormati MoU Helsinki dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Padahal, dalam Nota Kesepahaman Helsinki, secara eksplisit pada Poin 1.1.4 disebutkan: “Perbatasan Aceh merujuk pada perbatasan 1 Juli tahun 1956.”
Point ini bukan basa-basi administratif. Ia adalah hasil kompromi panjang, dan kabarnya justru diusulkan oleh pihak pemerintah RI dalam perundingan, kemudian diterima oleh GAM sebagai bentuk niat baik. Namun ketika terjadi pelanggaran atas isi perjanjian ini, para perunding dari GAM tidak pernah diajak bicara. Tidak satu pun.
Mungkin Pusat mengira rakyat Aceh akan secara utuh diam, seperti para pemimpin mereka. Ternyata tidak. Kasus empat pulau menjadi perhatian luas masyarakat. Gerakan politik kolosal pun terjadi. Wartawan, eks kombatan, akademisi, mahasiswa, dan seluruh komponen turun. Mereka serentak bersuara. Mahasiswa turut mengibarkan bendera bintang bulan, dan membuka spanduk referendum.
Setelah kasus ini membesar, dan Presiden Prabowo Subianto turun tangan langsung. Kemendagri kebakaran jenggot. Mau tak mau mereka harus membuka kembali perjanjian 1992 antara Gubernur Daerah Istimewa Aceh Prof. Ibrahim Hasan dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Sumatera Utara Raja Inal Siregar.
Kasus hilangnya empat pulau membuktikan bahwa masih banyak yang tidak menghormati MoU Helsinki. Sejarah Aceh coba dikelabui dengan logika-logika masa kini. Mereka memelintir sejarah. Mereka mengabaikan Inpres Nomor 15 Tahun 2005 sebagai hukum resmi pelaksanaan MoU Helsinki.
Pengingkaran ini juga bertentangan dengan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM.
Instruksi ini memerintahkan seluruh jajaran pemerintah, termasuk: Menteri Kabinet, Panglima TNI, Kapolri, Jaksa Agung, BIN,Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam,serta lembaga daerah lainnya, untuk melaksanakan seluruh isi MoU Helsinki, termasuk poin-poin fundamental seperti batas wilayah, pemerintahan sendiri, pembentukan partai lokal, dan simbol daerah.
Berdasarkan Inpres ini, kemudian disusun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang menjadi hukum nasional. Maka jelas: pencaplokan empat pulau melanggar isi MoU Helsinki, berarti juga mengabaikan Instruksi Presiden dan UU yang sah secara konstitusional.
***
Sebagai seorang diplomat, seyogyanya Hamid Awaluddin tidak boleh tidak tahu bahwa pengingkaran sejarah merupakan sebuah kejahatan. Dalam UN Basic Principles on the Right to a Remedy and Reparation (2005), dijelaskan bahwa korban konflik memiliki hak atas: kebenaran, keadilan, pemulihan, dan jaminan ketidakberulangan.
Upaya Hamid Awaluddin “mempersekusi” Munawar Liza di dalam acara ILC, merupakan upaya penghapusan tokoh-tokoh penting dalam narasi besar konflik dan perundingan damai di Helsinki. Perilaku sang guru besar bertentangan dengan hak atas kebenaran dan memori kolektif tersebut.
Sementara itu, secara hukum perdata, MoU adalah bentuk perjanjian yang bersifat mengikat secara moral dan hukum, dan dalam konteks nasional telah diangkat menjadi bagian dari hukum positif melalui UUPA.
Secara hukum tata negara, pengabaian terhadap isi MoU Helsinki dan Inpres Nomor 15/2005 dapat dikualifikasikan sebagai pengabaian terhadap keputusan politik tertinggi negara dalam merawat integrasi nasional.
Islam Membenci Kemunafikan
Mengapa Islam sangat membenci orang-orang munafik? Karena kemunafikan mendatangkan kehancuran. Orang-orang yang katanya menjunjung tinggi perdamaian Aceh, tapi bertindak merusak perdamaian. Mereka yang mengampanyekan keadilan sosial, tapi bertindak curang mencederai keadilan.
Dalam Islam, menyembunyikan kebenaran dan mengingkari amanah perdamaian adalah tindakan yang tercela secara moral dan dosa besar.
Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, dan barang siapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.”
(QS. Al-Baqarah: 283)
MoU Helsinki adalah amanah besar yang menyelamatkan ribuan nyawa. Maka siapa pun yang berperan di dalamnya memiliki kewajiban moral untuk menjaga kejujuran sejarah. Pengingkaran terhadap sesama perunding bukan hanya melukai perasaan, tetapi juga merusak nilai kejujuran yang diajarkan agama.
***
Pengingkaran terhadap rekan sejarah bukan sekadar kekhilafan pribadi. Ia adalah pembelokan sejarah kolektif yang meruntuhkan kepercayaan, mempermainkan hukum, dan mencederai damai yang dibangun dengan susah payah.
Hamid boleh berkata “tidak kenal”. Tapi rakyat Aceh tahu siapa yang hadir. Kami tidak lupa. Dan kami akan terus menagih kejujuran dari siapa pun yang hari ini ingin memutar balik sejarah, demi kepentingan yang fana.
Damai ini bukan warisan segelintir nama, tapi milik seluruh rakyat Aceh.
Penulis Joni Suryawan, merupakan Perwira Strategi Gerilya dan Logistik Komando TNA Daerah 3 Wilayah Linge. Alumni Sekolah Perdamaian dan Demokrasi (SPD).