
Razia oleh Walikota Banda Aceh Illiza Saaduddin Djamal, membuka tabir tentang moral generasi muda Aceh. Meski tidak bisa dijamak, tapi menjadi potret masalah serius—degradasi moral—yang sangat parah.
Masyarakat Banda Aceh terkejut—sebagian pura-pra terjkejut, sebagian tidak terkejut sama sekali—mendengar pernyataan Wali Kota Banda Aceh Illiza Saaduddin Djamal tentang banyaknyag generasi muda—bahkan remaja- terlibat dalam praktik prostitusi.
Baca: Gerebek Hotel, Illiza Temukan Wanita Open BO dan Kondom Berserakan
Nyaris tidak ada ruang yang benar-benar aman. Kala dilepasliarkan tanpa pendidikan yang memadai, mereka terjerumus narkoba, perlontean dan pergaulan bebas. Diikat dalam institusi pendidikan, ada predator seksual yang menerkam dari depan dan belakang. Di tempatkan di dalam ruang sosial dan keluarga, monster bisa saja datang dari tetangga, abang, adik, ayah, paman, dll.
Kondisi sosial kita saat ini sangat mengerikan. Seperti lingkaran setan. Maju kena, mundur pun kena.
Penyalahgunaan narkoba, bukan hal yang aneh lagi di kalangan generasi muda. Hidup bebas seperti binatang—berjimak sesuka hati atas dasar suka sama suka, banyak kita temukan. Menjual diri dalam dunia perlontean, hal yang dengan mudah dapat kita temukan. Rata-rata beralasan karena kemiskinan, putus asa, dan lainnya.
Balapan liar, begal, tawuran, laki-laki bercelana pendek di ruang publik, menambah kisah miris tentang moral generasi muda kita yang kian larut dalam gelimang maksiat.
Aceh bukan negeri tak berpenghuni. Aceh bukan negeri tak berpemimpin. Aceh bukan negeri yang tidak memiliki cendekia. Aceh bukan daerah yang tanahnya tandus. Aceh bukan negeri yang lautnya tercemar. Aceh bukan negeri yang di bawah tanah hanya ada sarang ular. Aceh negeri kaya, Aceh negeri makmur, Aceh negeri yang pun nyang tapula jimeuboh.
Saya tidak punya data lengkap, tapi setiap desa kita telah memiliki sarjana, minimal lima orang. Kampus di Aceh juga memproduksi kaum cendekia. Magister, doktor, professor. Kita juga tidak kekurangan agamawan bergelar abati, abiya, abuya, abah, abu, dan gelar-gelar nan karismatik lainnya.
Kita punya keuchik, mukim—meski tak punya uang, camat, bupati. Kita punya DPR, kita punya perangkat kerja yudikatif, tapi mengapa ekonomi kita rusak, moral generasi muda kita hancur?
Dengan segenap keunggulan yang kita miliki, mengurus rakyat saja tidak mampu. Dengan sumber daya keuangan, alam, dan lain-lain, pemerintah kita mengurus rakyat saja tidak mampu.
Malah, orang-orang berpangkat, berpendidikan, berkedudukan, orang tua di rumah hanya pintar mengajukan kambing hitam. Ketika anak berbuat salah, orang tua menyalahkan sekolah. Sekolah menyalahkan wali murid. Pengamat menyalahkan pemerintah, pemerintah menyalahkan tata perilaku, agamawan menyalahkan zaman.
Moral tidak bisa dijaga oleh Satpol PP dan Wilayatul Hisbah. Mereka manusia biasa dan hanya perangkat kerja pemerintah yang tidak memiliki kewenangan lebih, serta tidak memiliki keuangan lebih.
Satpol PP yang diharapkan dapat menertibkan kota harus mengurus banyak hal. Mulai dari urusan lembu masuk kota, kedai yang dibangun di atas gorong-gorong, parkir tidak tertib, perokok yang melanggar perda, hingga menjaga moral generasi muda.
Setiap ada masalah, selalu kita teriak “Kemana Satpol PP?” Untuk Satpol PP tidak menjawab “Kami masih di sini. Jumlah kami terbatas. Gaji kami tak lancar dibayar, dana operasional kami sedikit. Sedangkan masalah sangat banyak.”
Rasulullah telah mengingatkan bahwa setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, maka orang tuanyalah (kita) yang membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi. Maka, yang menjadikannya moral generasi muda kita menyimpang adalah lingkungan dan pengasuhan yang dalam konteks hari ini, tidak bisa hanya dibebankan kepada orang tua semata.
Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara rumah, sekolah, dan masyarakat. Namun, sayangnya, ketiga pilar itu kini hampir ambruk dihantam tsunami kerusakan moral. Dan ini bukan datang tiba-tiba, tapi buah dari abainya kita selama bertahun-tahun.
Dalam pembinaan moral gerenasi muda, rumah kehilangan fungsinya sebagai madrasah pertama. Orang tua sibuk mengejar karir, harta, dan urusan pribadi, sehingga lupa bahwa tugas mendidik jauh lebih urgen dan harus dimulai dari rumah.
Sekolah pun tak jarang lebih fokus mengejar angka dan prestasi akademik ketimbang memperhatikan tumbuh kembang moral generasi muda. Sementara masyarakat, yang seharusnya menjadi benteng terakhir, justru lebih sering menjadi penonton pasif yang baru bersuara setelah musibah terjadi. Kita semua hadir secara fisik, tapi absen secara emosional dan spiritual.
Kenakalan remaja adalah gejala sakit sistemik, bukan sekadar kesalahan pribadi. Kita tidak bisa lagi melihatnya hanya dari sisi pelanggaran hukum atau perilaku menyimpang belaka. Saat remaja menganggap balapan liar sebagai hiburan, narkoba sebagai pelarian, dan kekerasan sebagai solusi, itu adalah tanda bahwa moral kolektif bangsa ini sedang runtuh. Maka menyelesaikan persoalan ini tidak cukup dengan pendekatan penghukuman. Kita harus membangun ulang kesadaran bahwa kerusakan ini adalah tanggung jawab bersama.
Solusi tidak bisa lagi bersifat parsial. Kita harus mengubah ekosistem sosial yang mendukung tumbuh kembang anak dengan cara yang lebih positif dan progressif. Dua aktor strategis yang bisa menjadi motor utama adalah orang tua dan pemerintah desa yang berhubungan lebih banyak dan lebih dekat dengan tumbuh kembang anak-anak kita.
Orang tua harus kembali memainkan perannya sebagai guru pertama dan utama dalam menjaga moral gerenasi muda. Mereka tidak bisa lagi sekadar memastikan anak cukup makan dan sekolah. Rumah tangga harus membangun peradaban yang penuh cinta dan kasih sayang dalam arti yang sebenarnya. Perut harus terisi, uang harus ada, sentuhan nurani juga harus diberi.
Kini saatnya semua pihak bergerak. Mari kita selamatkan moral generasi muda. Jangan tunggu sampai anak kita sendiri yang menjadi korban. Karena bila kita terus menonton dan membiarkan, percayalah, persoalan moral generasi muda yang kian merosok, suatu saat akan masuk ke dalam rumah kita; cepat atau lambat.
Bila itu sudah terjadi, kita bisa apa? Sekarang saja kelimpungan.