Komparatif.ID, Banda Aceh–Festival Ornamen Aceh bertema “Menemukan Wajah Aceh Lewat Ornamen”, baru pertama kali digelar setelah begitu lama tak pernah diadakan. Festival tersebut dihelat di Museum Tsunami Aceh berkat dukungan pendanaan dari INDONESIANA; sebuah program fasilitasi kebudayaan Kemendikbud bekerjasama dengan Kementerian Keuangan.
Dalam sebuah postingan di linimasa Facebook pada Jumat (9/6/2023), Ketua Laboratorium Seni Aceh Rakitan, yang juga tuan rumah Festival Ornamen Aceh 2023 “Menemukan Wajah Aceh Lewat Ornamen, menuliskan: Datang dan saksikanlah, sebuah acara perdana yang mungkin akan terjadi sekali saja, jika tidak mungkin kita laksanakan kembali.
Sarjana Seni alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta tersebut pantas seperti mengutarakan kesan skeptis. Karena seni rupa merupakan sesuatu yang telah asing di Aceh.
Baca: Bahasa Aceh Semakin Tak Arab Dengan Generasi Muda
Skeptisme Tungang secara tidak langsung diamini oleh Kuratorial Festival Ornamen Aceh- Menemukan Wajah Aceh Lewat Ornamen. Dalam laporannya pada pembukaan FOA 2023 di memori hall Museum Tsunami Aceh, Sabtu (10/6/2023).
Masykur Syafruddin yang juga Direktur Pedir Museum, dalam pidatonya di hadapan puluhan peserta yang didominasi mahasiswa dan pegiat seni, acara tersebut merupakan yang perdana dilakukan di abad 21. Kesenian dan kebudayaan Aceh, khususnya seni ukir, telah lama tidak mendapatkan tempat.
Masyikur Syafruddin menjelaskan, usaha-usaha melestarikan seni ukir sudah tidak pernah lagi dilakukan secara terstuktur, dalam tempo yang cukup lama.
Dalam catatan sejarah, usaha pertama pelestarian seni ukir Aceh dilakukan oleh F.W. Stamshauss. Controleur yang digelari Ampon Calang oleh penduduk, merupakan kurator pertama Museum Aceh. koleksinya pernah dipamerkan di Semarang.
Kemudian T.J. Vetlman, seorang perwira Kerajaan Belanda yang mengumpulkan kerajinan logam emas dan perak yang memiliki keindahan ukiran ornamen.
“Itu dilakukan pada akhir abad 19, dan awal abad 20. Artinya seratus tahun lalu,” kata Masykur.
Seorang sarjana Belanda, J. Kreemer, pada 1922 dalam bukunya berjudul Atjeh yang diterbitkan dalam dua jilid, sudah mencari dan menyorot kesenian-kesenian Aceh yang sudah mengalami kemunduran. Bahkan beberapa di antaranya telah punah.
Kreemer menuliskan bila seniman seni ukir (utoh) khusus rumoh Aceh, sudah sangat sulit ditemukan di Banda Aceh dan Aceh Besar.Karya-karya seni ukir yang indah masih banyak ditemukan di Pidie waktu itu.
Kreemer menulis bahwa satu-satunya ornamen ukir karya orang Aceh yang diaplikasikan di Masjid Raya Baiturahman adalah kaligrafi karya Teungku Arab dari Gampong Subon, Lhoknga.
Pameran terakhir bertema ornamen dilaksanakan pada 7-14 Juni 1981 di Museum Aceh. digelar dalam rangkaian MTQ Nasional ke-12, kegiatan itu bertajuk “Pameran Lukisan, Kaligrafi, dan Mesjid di Aceh”.
Wajah Aceh yang Hilang
Festival Ornamen Aceh 2023, merupakan gagasan Laboratorium Seni Aceh Rakitan yang dinakhodai oleh seniman ukir Iskandar bin Ishak atau lebih dikenal dengan panggilan Tungang. Kegiatan itu digelar 10 sampai 13 Juni 2023.
“Ini merupakan langkah awal dalam rangka mengumpulkan ragam ornamen Aceh yang diambil dari berbagai bentuk benda budaya artefak sejarah,” kata Masykur.
Apa yang dilakukan saat ini—pameran—merupakan salah satu ikhtiar kaum muda pelestari sejarah Aceh, setelah melihat fakta bahwa konflik bersenjata selama 30 tahun, musibah gempabumi dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004, telah melenyapkan benda-benda bernilai seni. Khususnya di kawasan pesisir Aceh yang luluh lantak dilamun gempa dan gelombang Samudera Hindia.
“kami telah dan akan terus melestarikan ornamen-ornamen Aceh. meski telah banyak yang hilang, tapi tidak boleh semuanya hilang.” Sebut Masykur.
Pada pameran “Menemukan Wajah Aceh yang Hilang” panitia memamerkan ornamental yang menggambarkan keberagaman, yang dapat menunjukkan wajah Aceh di masa lalu. Hal-hal yang dipamerkan seperti ornamen nisan Kesultanan Samudera Pasai, ornamen nisan Kesultanan Lamuri, ornamen nisan Kesultanan Aceh Darussalam, ornamen arsitektur Aceh, ornamen benda etnografi, karya seni kriya kayu, foto rumoh Aceh, dan lukisan.
Usia ornamen Samudera Pasai yang dipamerkan cukup tua. Berasal dari awal abad-13 dan 16. Dari Lamuri bertarikh abad 15 dan 16. Sedangkan dari ornamen nisan Kesultanan Aceh Darussalam bertarikh abad-16 hingga 19.
Ornamen benda etnografi yang dikumpulkan dari koleksi masyarakat, lembaga pemerintahan, termasuk koleksi museum luar negeri, ikut dipamerkan pada kegiatan itu.
“Kami melukis ulang, mengambil dari bagian-bagian tertentu. Dilukis pada kanvas dan dipahat pada kayu dan batu. Selain ditampilkan dalam bentuk rekontruksi, juga ada yang asli seperti kayu-kayu dari bekas masjid tua di pedalaman Pidie, kain, rompi, dan tikar dari pedalaman Gayo, dan lain-lain,” sebutnya.
Beberapa pengunjung pameran mengatakan sangat asing dengan ornamen-ornamen itu. Mereka juga tidak mengetahui tentang seni ukir Aceh, andaikan tidak ada Festival Ornamen Aceh “Menemukan Wajah Aceh Lewat Ornamen”.
Sejumlah pengunjung berselfie ria dengan latar belakang pajangan ornamen. Ada pula yang mengabadikan melalui video amatir. “Pameran ini seperti membawa saya ke Lorong masa lalu, ketika benda-benda yang ditampilkan ini masih menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan budaya Aceh di masa lalu,” sebut seorang lelaki yang menuntun putranya yang masih sangat belia.