Industri migas Aceh lagi hangat-hangatnya diperbincangkan. Sejumlah perusahaan yang kita kenal dengan sebutan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sedang melakukan eksplorasi di lepas pantai Aceh.
Migas Aceh pernah menjadi berkah bagi Pemerintah Pusat, sekaligus mimpi buruk bagi rakyat Aceh. Gemerlapnya industri migas Aceh dan industri ikutannya, hanya sedikit memberikan berkah bagi orang-orang tempatan.
Gemerlapnya Kota Lhokseumawe sebagai ibukota Aceh Utara, terlihat hingga ke kampung halaman saya di Teupin Mane, sebuah desa pedalaman yang berjarak 11 kilometer ke arah selatan Kota Bireuen. Sebuah permukiman tertinggal dengan jumlah orang putus sekolah lebih dominan ketimbang yang mendapatkan kesempatan menuntut ilmu di sekolah formal.
Baca juga:PGE Akan Survey Seismik 3D Migas di Aceh Utara & Atim
Ketika menginap di ladang dan langit malam tidak mendung, saya selalu melihat cahaya kuning kemerahan di balik pegunungan Cot Sirula. Saya bertanya kepada ibu tentang cahaya itu. Ibu menyebutkan bila cahaya itu berasal dari cerobong-cerobong pabrik Mobil Oil di Blang Lancang.
Saat itu saya membayangkan betapa bahagianya penduduk Aceh Utara yang tinggal di sekitar pabrik Mobil Oil. Mereka yang selalu mendapatkan terang hingga pagi hari, hidup dengan berkecukupan. Saya membandingkan dengan Teupin Mane yang kala itu masih sangat bergantung pada listrik kampung, yang dinyalakan setengah jam jelang Magrib, dan dimatikan tepat pukul 00.00 WIB. Setiap rumah hanya diberikan jatah dua lampu.
Tapi khayalan tentang indahnya kehidupan Lhokseumawe buyar tatkala Nek Lhok berkunjung ke rumah. Perempuan yang tidak pernah menikah hingga meninggal dunia, ketika berkunjung—menjenguk kami—dengan pakaian seadanya. Kulitnya legam, dengan uban yang banyak di kepala.
Menurut cerita kakak-kakak yang pernah ke Lhokseumawe, Nek Lhok tinggal di Pusong, rumahnya di tepi pantai, berdinding tepas, dan bekerja sebagai penjemur ikan asin. Bila pasang tiba, rumahnya yang sederhana dibanjiri air laut. Sandal Lebaran yang dibeli bapak untuk kakak, sempat dibawa keliling rumah oleh air laut.
Kisah-kisah miris semakin banyak saya konsumsi ketika beranjak remaja. Khususnya saat mulai sering membaca koran. Berita tentang buruknya kualitas kehidupan rakyat di sekeliling proyek vital nasional menjadi kecamuk di kepala. Mengapa bisa demikian? Apakah orang Aceh tidak pantas mendapatkan kesempatan bekerja di sana. Apakah mereka tidak layak di sana? Apa penyebabnya?
Hingga sekarang, setelah raksasa KKK3 Mobil Oil pamit dari Aceh, “monumen” kemiskinan masih terlihat nyata di sepanjang jalur pipa gas. Ketimpangan yang terjadi di depan mata, membuat rakyat Aceh kala itu mudah sekali diajak bergabung—atau setidaknya mendukung—gerakan perlawanan yang digerakkan Teungku Hasan Muhammad di Tiro.
Tadi siang, Sabtu (17/12/2022) sekitar pukul 14.00 WIB, sebuah WA dari seorang teman yang bekerja di lembaga pengontrol migas di Aceh, menyentak alam sadar saya. Betapa selama ini saya masyuk memberi dukungan terhadap industri migas yang kembali bergeliat di Aceh, meski belum tahu kapan KKKS itu mulai produksi lagi.
WA itu berisi lowongan kerja di salah satu perusahaan migas yang membuka kesempatan kepada tenaga kerja professional; dengan berbagai posisi.
Dari syarat pertama saja, agar dapat bergabung ke perusahaan yang akan mengisap migas Aceh, sudah tidak memungkinkan untuk sebagian besar kaum muda Aceh yang berjumlah 167 ribu orang dengan status pengangguran. Saya langsung nelangsa.
Syarat pertama agar bisa mendaftar di perusahaan yang akan menyedot migas Aceh tersebut yaitu lulusan petroleum engineering. Sebuah jurusan kuliah yang sangat asing di Aceh.
Syarat kedua, harus memiliki pengalaman di bidang migas sesuai bidang yang dilamar, minimal 10 tahun. Syarat ketiga, dll, cukup memusingkan saya. Harus ada sertifikat ini, harus punya sertifikat itu.
Saya bersyukur bahwa salah satu KKKS mulai membuka kesempatan kerja; sekaligus berduka bahwa syarat tersebut sejauh ini sangat tidak mungkin dapat dicapai oleh orang-orang muda yang saya kenal. Artinya, kesempatan kerja di bidang migas tersebut belum bisa dimasuki oleh orang-orang yang saya kenal.
Inilah yang terjadi puluhan tahun lalu ketika KKKS masuk ke Lhokseumawe, mengekploitasi Blang Lancang dan sekitarnya. Karena tidak memenuhi syarat, akhirnya orang-orang Aceh yang di bawah rumahnya terdapat migas, terpaksa menjadi penonton. Mereka menonton orang-orang luar masuk dengan segala fasilitas, hidup mewah—karena mereka professional. Orang-orang Aceh yang ada di sekitar industri hanya dianggap sebagai penerima manfaat CSR dalam bentuk bantuan yang sepanjang masa tidak dapat membangkitkan harkat dan martabat penerimanya.
Orang Aceh, malas, bodoh, keras kepala, merupakan label yang telah sekian lama dilekatkan, yang akhirnya mau tak mau harus diterima. Orang-orang miskin memang susah diatur, keras kepala, angkuh, tak tahu tata krama, udik. Ya, itu memang penyakit yang melekat pada orang miskin. Konon lagi orang Aceh yang punya kegemilangan sejarah masa lalu. Bertambah-tambah pula keras kepalanya.
Ditambah lagi dengan stigma orang Aceh tak disiplin, tak bisa diatur, kerja sesuka hati. Benar, itu karakter pekerja kelas bawah, yang tak punya orientasi masa depan. Kenapa? Karena mereka bodoh. Karena gaji tak cukup, karena tak diperlakukan layaknya manusia merdeka.
Stigma-stigma buruk itu terus dilabel sampai saat ini. Oleh orang-orang besar yang punya kekuasaan. Mereka yang sebenarnya memiliki kesempatan memulihkan mental orang Aceh, justru ikut-ikutan membuat program kerja pembangunan ekonomi masyarakat, layaknya cara kerja perusahaan dalam membina masyarakat dengan pola CSR. Tak serius dan asal jadi.
Kutukan Migas Aceh Jangan Terulang
Aceh negeri yang kaya. Sumber daya mineralnya masih sangat banyak. Buktinya sampai sekarang berbagai kekuatan, baik legal maupun ilegal terus-menerus mengeruk kekayaan alam di sini. Orang-orang bodoh diprovokasi agar tidak ramah terhadap investasi, orang-orang culas diajak bekerja sama, dan orang-orang berintegritas diasingkan hingga akhirnya putus asa, dan menyerah.
Berapa ton emas di rimba-rimba Aceh dibawa keluar melalui praktek-praktek ilegal? Tak ada yang tahu. Hutan hujan tropis di pedalaman Pidie terus dirusak demi emas. Siapa yang menertibkannya? Tidak ada. Apakah Aceh kekurangan aparat penegak hukum? Tidak!
Demikian juga dengan industri migas yang kini kembali bergeliat. Saya khawatir, nanti orang Aceh kembali menjadi penonton. Tak bisa masuk sebagai pekerja karena tak memenuhi kriteria yang dibutuhkan perusahaan migas. Di sisi lain tak tahu harus kemana. Ujung-ujungnya menempuh jalan keliru.
Saya tak mau kutukan itu berulang. Saya selalu mengedepankan semangat ramah investasi. Tapi sepertinya apa yang saya pikirkan, hanya sebatas angan-angan saya sebagai anak kampung yang ingin melihat masa depan Aceh gilang-gemilang seperti kisah-kisah di negeri dongeng: pemimpin adil, rakyat sejahtera.
Apa yang sudah disiapkan oleh pemerintah supaya putera-puteri Aceh memiliki kesempatan lebih besar terserap ke industri migas Aceh? Berapa banyak anak-anak kampung udik, yang orangtuanya miskin, dapat bekerja di perusahaan yang menyedot migas Aceh? sejauh ini belum ada harapan sama seklai. Di titik ini saya mulai khawatir akan masa depan angkatan kerja Aceh. Mereka berpotensi kembali menjadi penonton; mengulang kisah kakek dan ayah mereka di masa lalu.
Di titik ini, jiwa keacehan saya kembali terusik, karena belum melihat langkah-langkah pasti dan terukur dari pemerintah dan KKK3, tentang nasib pemilik negeri. Hal yang terpampang justru ancaman, bahwa dengan segenap persyaratan, kesempatan angkatan kerja Aceh yang berasal dari basis akar rumput akan tertutup bekerja di industri migas Aceh; layaknya tertutupnya pintu surga kepada iblis dan anak cucunya.