Menyoal Larangan Tidur di Masjid Agung Sibolga

Menyoal Larangan Tidur di Masjid Agung Sibolga
Ilustrasi. Foto: Komparatif.ID.

Naluri kemanusiaan kita diusik, saat video penganiayaan seorang pemuda asal Simeulue oleh beberapa orang di pelataran Masjid Agung Sibolga, Sumatera Utara beredar luas.

Korban ditendang, diinjak, diseret dan ditelantarkan kemudian di halaman parkiran Masjid Agung Sibolga. Begitulah kejadian yang berlangsung begitu cepat, kejadian yang tergolong “biadab” karena dilakukan di tengah negeri yang seharusnya aman dan di dalam tempat yang sepatutnya nyawa dan darah dilindungi—Rumah Tuhan– Masjid, arena di mana manusia meminta ampun dan bersujud.

Tapi di sana justru sebaliknya. Kita dipertontonkan perilaku bengis dan sadis tanpa perikemanusiaan hanya karena soal larangan konyol, tak boleh tidur di dalam masjid.

Masjid—di manapun itu, merupakan rumah ibadah umat Islam yang selalu terbuka. Bukan sekadar tempat beribadah, tapi juga menjadi tempat persinggahan para musafir ketika mereka membutuhkan tempat melepas penat untuk sementara waktu. Konon lagi masjid yang berada di tepi jalan besar, merupakan tempat paling aman bagi pelintas bila ingin beristirahat. Tak ada yang melarang, dan selalu terbuka kepada siapa saja.

Masjid juga dibangun secara gotong royong. Dana pembangunan masjid secara umum merupakan hasil sumbangan warga tempatan, maupun penderma dari luar. Baik donator besar maupun pelintas yang menyumbangkan secara alakadar.

Jadi, sejatinya masjid merupakan milik publik—khususnya umat Islam, tanpa terkecuali. Di manapun, kapanpun pintu masjid harus dan “wajib” dibuka bagi mereka yang ingin “bertemu” dengan Tuhan-Nya, tak hanya saat waktu yang telah ditentukan, toh di sini, manusia memiliki akses interaksi yang lebih serius “bertemu” dan “berdialog” lewat doa dengan-Nya.

Sebagai bangunan milik publik, masjid dikelola oleh panitia. Di sana ditempatkan marbot sebagai pemelihara harian. Mereka yang disebut marbot—dalam bahasa Aceh disebut bileu—diberikan mandat menjaga kebersihan, dan tugas-tugas lainnya. Tugas marbot memelihara masjid, bukan menguasai, konon lagi memiliki.

Baca juga: Hendak Istirahat di Masjid, 1 Mahasiswa Asal Simeulue Tewas Dianiaya di Sibolga

Akan tetapi dalam beberapa kasus, mereka justru kerap memunculkan otoritas kekuasaan—yang digunakan untuk menciptakan larangan-larangan ‘aneh.’ Salah satunya keterangan yang kerap ditempel di dinding masjid, yaitu dilarang tidur. Saya sendiri, tak terlalu mengerti darimana akar simbol larangan ini muncul.

Toh, jika ditelisik turats, tidak ada keharaman dan larangan beraktifitas normal di dalam masjid, tentunya termasuk tidur jika lelah, konsensus sejak agama terakhir ini muncul ke permukaan masyarakat.

Bahkan, Nabi Muhammad pembawa agama ini, sosok yang begitu santun dan memiliki budi pekerti yang cukup luhur pernah membiarkan seorang Arab Badui yang tak memahami makna masjid menyelesaikan perilaku buang air kecil sembarangan, dan kebetulan dilakukan di dalam masjid. Lalu, Nabi yang amat pemurah dan baik hati tersebut memerintahkan sahabatnya untuk membersihkan bekas najis Arab Badui tersebut. Tapi, kini, jangankan untuk kencing layaknya Arab Badui tersebut, tidur saja mendapat larangan di masjid.

Perilaku baik dan luhur sang Nabi, tidak ditiru penuh oleh sebagian manusia yang mengaku bagian dari pengikut agama Islam. Bahkan, kebanyakan menyimpang, tidak hanya dari meneladani moral yang diajarkan sang Nabi, tapi perintah-perintah keharusan menghormati nyawa manusia dalam agama ini sebagaimana kasus di Sibolga.

Musafir sejatinya mendapat tempat terhormat dalam Islam, mereka patut dan wajib dibantu di manapun. Bahkan, dalam delapan golongan zakat, mereka adalah ibnu sabil yang berhak mendapatkan harta sumbangan dari umat Islam.

Sebaliknya, kasus di Masjid Agung Sibolga, seorang musafir dilecehkan, jangankan mendapatkan zakat, harta dan nyawanya dirampas dengan brutal dan keji—hanya karena larangan tidur di masjid.

Saya sendiri pernah mengalami pengalaman menjengkelkan dari seorang marbot masjid perbatasan Aceh. si marbot melarang saya tidur di masjid.Padahal masjid itu merupakan tempat ibadah tempat saya singgah saban Jumat, dan ikut mendermakan harta sesuai kemampuan saya.

Saat itu, saya yang sangat kelelahan karena sedang melakukan perjalanan sangat panjang, bermaksud merebahkan diri sejenak, setelah melaksanakan salat. Saya sudah sangat mengantuk kala itu.

Begitu saya tertidur, tiba-tiba seorang marbot datang dan membangunkan saya. Dia melarang saya tidur. Saya bertanya, apakah ada larangan dari Nabi untuk tidak tidur di masjid.

Tampak ia agak bingung, namun tetap bersikeras untuk melarang saya tidur di masjid. Saya merasa Rumah Tuhan yang dimiliki oleh semua Muslim, direbut haknya oleh kuasa marbot yang kurang pengetahuan dan krisis rasa kemanusiaan.

Idealnya, marbot masjid itu seperti di Masjid Jogokariyan, Yogyakarta. Marbot yang paham tanggung jawab dan kewajibannya untuk mengurus masjid dan pengunjung. Tidak hanya memberi rasa nyaman dan aman, tapi meneladani perilaku sang Nabi dalam membangun peradaban Islam.

Masjid tidak perlu fisik dan infrastruktur megah, tapi kultur keislaman di dalamnya harus tumbuh dalam menghormati siapapun.

Peristiwa di Masjid Agung Sibolga hendaknya menjadi pelajaran bagi pengelola masjid. Bahwa orang-orang jahil yang diamanahkan mengelola masjid, haruslah dibekali pengetahuan yang cukup. Mereka harus tahu masjid bukan ruang privat.

Tapi ruang publik yang dapat dikunjungi kapan saja, oleh siapa saja. selain salat, di masjid juga bisa beristirahat bagi siapa saja yang butuh istirahat.

Semoga dengan kejadian di Masjid Agung Sibolga, kita dapat memetik pelajaran, bahwa orang yang tidak memiliki pengetahuan yang memadai, tidak boleh diberikan kewenangan mengurus masjid.

Artikel SebelumnyaHendak Istirahat di Masjid, 1 Mahasiswa Asal Simeulue Tewas Dianiaya di Sibolga
Artikel SelanjutnyaBupati Pidie Jaya Puji Peran Media Sukseskan MTQ Aceh 2025

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here