Komparatif.ID— Dalam ajaran Islam, mahar merupakan salah satu kewajiban yang harus diberikan oleh seorang suami kepada istrinya saat menikah. Meski bukan bagian dari rukun nikah, mahar memiliki posisi penting sebagai simbol penghormatan dan bentuk tanggung jawab seorang suami kepada istrinya.
Bentuk mahar yang diberikan bisa berupa uang, barang, atau manfaat tertentu yang telah disepakati kedua belah pihak.
Namun, dalam praktiknya, ada beberapa pasangan yang memilih untuk menjadikan mahar sebagai utang yang akan dibayarkan di kemudian hari. Lantas, bagaimana pandangan Islam terhadap mahar yang berupa utang?
Moh Soleh Shofier dalam kolomnya di nu.co.id menjelaskan dalam berbagai mazhab fikih, mahar dalam bentuk utang diperbolehkan dengan syarat tertentu.
Mazhab Syafi’i dan Hanbali, misalnya, membolehkan mahar dalam bentuk utang selama ada kejelasan mengenai waktu pembayarannya. Dalam kitab Al-Muhaddzab, Imam Abu Ishaq As-Syirazi menjelaskan bahwa mahar dalam akad nikah dapat berbentuk barang, uang, atau bahkan utang yang dibayarkan secara bertahap atau ditangguhkan.
Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa akad nikah merupakan akad atas manfaat, sehingga ketentuan mengenai bentuk mahar bisa disesuaikan sebagaimana dalam akad sewa-menyewa.
Dari kalangan Mazhab Hanbali, Ibnu Qudamah juga mengatakan segala sesuatu yang sah dijadikan harga dalam jual beli atau upah dalam sewa dapat dijadikan mahar, baik dalam bentuk barang maupun utang, dengan pembayaran yang bisa dilakukan secara tunai ataupun ditunda.
Namun, ada ketentuan yang harus diperhatikan dalam penundaan pembayaran mahar. Jika waktu pembayarannya tidak jelas, terjadi perbedaan pandangan di antara ulama.
Menurut Mazhab Hanbali, jika mahar yang berupa utang tidak memiliki batas waktu pembayaran yang jelas, maka akad tetap dianggap sah. Dalam kondisi ini, kewajiban membayar mahar akan jatuh ketika terjadi perceraian atau kematian salah satu pihak.
Baca juga: Apa Hukum Belanja Online saat Khutbah Jumat?
Sebaliknya, Mazhab Syafi’i berpendapat jika mahar yang dijanjikan tidak memiliki batas waktu pembayaran yang jelas, maka akadnya tidak sah, dan istri berhak mendapatkan mahr mitsl, yaitu mahar yang setara dengan mahar perempuan lain yang status sosialnya sama dengannya.
Sementara itu, Mazhab Maliki memiliki ketentuan lebih ketat dalam mengatur mahar dalam bentuk utang. Jika mahar berupa barang tertentu yang sudah ada di tempat akad, seperti rumah atau pakaian, maka wajib diberikan saat itu juga dan tidak boleh ditunda kecuali dalam waktu yang sangat singkat, misalnya dua hingga lima hari.
Namun, jika mahar berupa barang yang belum tersedia di tempat akad atau berupa sesuatu yang tidak ditentukan secara spesifik, seperti uang atau emas, maka penundaan boleh dilakukan dengan syarat batas waktunya jelas.
Bahkan, penundaan bisa dikaitkan dengan peristiwa tertentu seperti musim panen, asalkan sifat peristiwa tersebut jelas dan dapat diprediksi kapan terjadi.
Mazhab Hanafi juga membolehkan mahar dalam bentuk utang, tetapi dengan syarat utama bahwa waktu jatuh temponya harus jelas. Para ulama dalam mazhab ini menegaskan penundaan pembayaran mahar tidak boleh terlalu abstrak, seperti mengaitkannya dengan kejadian yang tidak pasti, misalnya “akan dibayar ketika aku mampu” atau “ketika angin bertiup.”
Jika batas waktu pembayaran tidak ditentukan dengan jelas, maka mahar tersebut dianggap tidak sah karena berpotensi merugikan pihak istri.
Mahar dalam bentuk utang memang memberikan fleksibilitas bagi pasangan yang ingin menikah tetapi memiliki keterbatasan finansial.
Namun, berdasarkan pandangan ulama dari berbagai mazhab, kejelasan mengenai waktu pembayaran mahar menjadi faktor penting agar akad nikah tetap sah dan tidak menimbulkan permasalahan di kemudian hari.
Dalam praktiknya, Soleh Shofier menjelaskan meskipun Islam memperbolehkan mahar dalam bentuk utang, para ulama menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menetapkan akad.
Hal ini karena mahar merupakan hak istri yang harus dipenuhi oleh suami, dan menunda pembayaran tanpa kejelasan bisa berpotensi menimbulkan sengketa di kemudian hari. Oleh karena itu, pasangan yang akan menikah perlu memahami ketentuan ini agar pernikahan mereka tidak hanya sah secara agama tetapi juga terhindar dari potensi masalah hukum di masa mendatang.
Selain itu, penting bagi calon suami untuk mempertimbangkan kemampuan finansialnya sebelum menentukan mahar dalam bentuk utang. Sebab, meskipun mahar dalam bentuk utang diperbolehkan, tanggung jawab untuk melunasinya tetap ada, dan dalam beberapa mazhab bahkan bisa menjadi kewajiban yang harus dipenuhi saat terjadi perceraian atau kematian.
Dengan demikian, transparansi dan kejelasan akad menjadi aspek yang sangat ditekankan dalam Islam agar tidak ada pihak yang dirugikan dalam pernikahan.
Kesimpulannya, menikah dengan mahar utang memang diperbolehkan dalam Islam, tetapi harus memenuhi syarat utama yaitu kejelasan waktu pembayarannya.
Jika tidak ada batas waktu yang jelas, maka dapat menimbulkan perbedaan pendapat di antara ulama dan berpotensi menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari.