
Komparatif.ID, Banda Aceh— Sejak harga beras melonjak tak masuk akal, Karina Dewi (36) harus memutar otak mencari tambahan pemasukan. Tapi, sebagai rakyat jelata di akar rumput, dia tak punya pilihan selain bertahan di tengah kondisi ekonomi yang kian menjepit nalar dan kantong.
Sejak Juni 2025 harga beras melonjak drastis di Aceh. Sebelumnya harga beras belum mencapai Rp200 ribu per zak 15 kilogram. Tapi setelah memasuki Juni, secara berangsur-angsur dan cepat, harga beras naik. Terakhir telah mencapai Rp240 hingga Rp250 ribu per zak 15 kilogram.
Pendapatan Karina Dewi setiap bulannya berkisar Rp1,4 juta. Uang itu dia peroleh dari upah bekerja sebagai buruh di pabrik bata di Matangglumpangdua, Bireuen. Dengan dua anak yang telah remaja, Karina Dewi harus pintar-pintar mengelola dapur, supaya tidak keteteran. Untung saja, sang suaminya telah keluar dari Aceh. Dengan demikian, dapur Karina tetap memiliki sumber dukungan dari kiriman sang suami yang bekerja sebagai kuli di tanah rantau.
“Harga beras saat ini sudah semakin mahal. Saya membeli yang satu zak Rp240 ribu. Ada yang lebih mahal, tapi saya tak mungkin membelinya. Ini saja sudah megap-megap,” kata Karina Dewi, warga Gampong Pante Gajah, Peusangan, Bireuen, Sabtu (23/8/2025).
Perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai buruh cetak bata tersebut mengaku dengan lonjakan harga pangan yang terjadi, membuat dirinya harus memutar otak, yang membuatnya pusing tujuh keliling.
Beras di Aceh bukan hanya mahal. Tapi juga terbatas. Teungku H. Musannif Sanusi, S.E., S.H, yang merupakan Ketua Yayasan Darul Ihsan Tgk. H. Hasan Krueng Kalee, mengeluhkan kenaikan harga beras di Aceh diiringi dengan jumlah stok yang terbatas.
Musannif pada Selasa (12/8/2025) menerangkan kepada Komparatif.ID, bahwa sejak dua bulan terakhir dirinya kesulitan membeli beras dalam jumlah yang banyak untuk kebutuhan makanan untuk santri di Dayah Terpadu Darul Ihsan Teungku Hasan Krueng Kalee, Siem, Darussalam, Aceh Besar.
Baca juga: Bulog Aceh Kirim 4.000 Ton Beras ke Sumatra Utara
Setiap bulan Dayah Darul Ihsan menghabiskan beras untuk konsumsi santri sekitar 510 zak. Masing-masing zak berukuran 15 kilogram. Setiap hari beras yang dihabiskan di dapur dayah mencapai 16 sampai 17 zak. Adapun jumlah santri yang menimba ilmu di dayah tersebut mencapai 1.450 orang.
“Setiap hari di dayah kami menghabiskan 16 sampai 17 zak beras ukuran 15 kg,” terang Musannif.
Musannif mencatat, harga beras di Aceh melonjak sangat cepat dalam dua bulan terakhir. Pertama Rp195.000, kemudian melompat tinggi secara bertahap dan cepat. Kini harga beras satu zak 15 kg mencapai Rp240.000 sampai Rp250.000.
Musannif tambah pusing, setelah harga beras melonjak drastis, stoknya ternyata terbatas. Sejak harga meninggi, dia kesulitan mendapatkan beras dalam jumlah banyak. Kilang-kilang padi yang sebelumnya telah menjadi langganan, kini membatasi penjualan. Bila dulu bisa ditebus hingga 100 zak per kilang, kini dikurangi hingga 50 persen.
Sebagai pengelola pendidikan boarding, Musannif memperluas upaya mencari beras. Dia mendatangi distributor besar. Para distributor juga menolak menjual dalam jumlah sangat banyak.
“Pemasok beras untuk dayah kami angkat tangan. Mereka kelimpungan. Harga mahal memang masalah. Tapi lebih bermasalah, setelah harga mahal, uang ada, tapi beras tak bisa dibeli sesuai kebutuhan,” kata Musannif.
Mantan anggota DPRA tersebut berharap pemerintah memberikan perhatian untuk kenaikan harga beras dan jumlahnya yang terbatas di pasaran.
Sejumlah distributor beras di Aceh Besar dan Banda Aceh yang ditemui Komparatif.ID pada Kamis (14/8/2025) mengakui bahwa telah terjadi lonjakan harga beras pada pertengahan Juli tahun ini. Karena harga melonjak, sejumlah distributor harus mengatur ulang sistem tata kelola perdagangan beras.
Distributor mengatakan mereka tidak menolak pembelian dalam jumlah besar. Tapi yang dilakukan adalah melakukan “pemerataan penjualan”. Mereka melakukannya demi menyiasati semakin menipisnya stok gabah di kilang.
Baca juga: Harga Beras di Pidie Melonjak, Warga Minta Pemerintah Bertindak
Para distributor saat ini dihadapkan dengan pilihan sulit. Apakah memenuhi permintaan satu pembeli besar di tengah berkurangnya kiriman dari kilang, atau menjualnya secara proporsional kepada seluruh jaringan pelanggan. Mereka memutuskan menjual secara proporsional, demi menjaga ekosistem bisnis jangka panjang.

“Bukan bermaksud untuk membatasi pembelian, justru kami senang bila ada pembelian dalam skala besar, namun yang jadi masalah saat ini stok beras premium yang terbatas, juga untuk menjaga para pelanggan,” ujar seorang distributor beras di Banda Aceh.
Dilema lainnya. Saat ini pemerintah menerbitkan regulasi tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) gabah. Harga gabah harus dibeli mahal, tapi harga beras diperintahkan dijual dengan harga semurah-murahnya. Antara HET gabah dan anjuran menjual beras dengan harga murah, menjadi sesuatu yang dilematis, kalau tak sopan disebut tak masuk akal.
Sesuai HET yang diterbitkan pemerintah, harga gabah per kilogram Rp6.500. pihak kilang membeli dari petani Rp7.200 per kilogram. Biaya antar ke pabrik Rp300 per kilogram.
Pihak kilang sudah mencoba menurunkan harga dengan cara membeli gabah lebih murah dan menurunkan ongkos angkut ke kilang. Akan tetapi rencana itu tidak bisa dijalankan karena tidak ada satupun truk yang bersedia mengangkut gabah ke kilang mereka.
“Sempat kami coba turunkan harga beli gabah. Tapi gak ada satupun truk pengangkut padi yang masuk ke kilang kami,” ungkapnya.
Zahmadi, seorang karyawan kilang padi Meutuah Baro (MB) di Aceh besar mengatakan persoalan beras di Aceh saat ini terjadi di hulu; jantung produksi gabah.
“Penyebab melambungnya harga beras premium adalah tidak ada lagi pasokan bahan baku. Sehingga kami (kilang padi) saling mencari bahan baku, dan itu membuat harga bahan bakunya tinggi,” papar Zahmadi.
Ia menjelaskan betapa parahnya situasi pada akhir Juli. Stok gabah di kilang mereka hampir kosong. Untuk meminimalisir kekosongan, mereka memasok padi dari Pulau Jawa.
Sampai dengan pekan pertama Agustus, harga beras premium masih masih berada di atas harga eceran tertinggi (HET) dengan harga jual Rp 234.000 per zak (Rp 15.600/kilo). Akan tetapi Zahmadi memastikan harga tersebut akan mengalami penurunan dalam beberapa hari selanjutnya. Per 12 agustus 2025, HET Aceh berada di angka Rp 15.400 per kilo.
Merujuk data dari Dinas Koperasi UKM dan Perdagangan ( DISKOPUKMDAG) Aceh, harga beras berangsur-angsur mengalami kenaikan sejak 7 Juli 2025. Pada periode ini harga beras premium tercatat sebesar Rp15.300 per kilo. Lalu harganya mengalami kenaikan.
Puncak kenaikan harga beras terjadi pada 7 Agustus 2025 yang menyentuh angka Rp16.600. Dalam tempo sebulan harga beras premium naik dengan total sebesar Rp1.300 per kilonya. Sementara dalam periode 7 Juni–7 Juli 2025, harga beras premium hanya naik Rp300, jauh dibandingkan periode berikutnya.
Tersandera Tudingan Beras Oplosan
Zahmadi menerangkan para pengelola kilang padi di Aceh menghadapi dilema lainnya. Yaitu tudingan melakukan pengoplosan beras. Istilah beras oplosan menjadi trending di masyarakat, akibat narasi keliru tentang upaya kilang mencampur beras.
Sebelum isu beras oplosan menjadi persoalan, praktek mencampur beras pera dan pulen, telah lazim dilakukan, demi mendapatkan tekstur yang pas. Atau mengombinasikan gabah dari dua daerah yang berbeda.
Tapi sekarang praktek mencampur beras telah masuk ke wilayah abu-abu, yang membuat pebisnis kilang padi was-was.
“Kalau itu dianggap oplos, berarti kami tidak bisa kerja lagi,” keluhnya.
Modernitas Merusak Kendali Petani Atas Padi
Ihwal naiknya harga beras premium, menurut Zahmadi, terjadi akibat adanya pergeseran struktural dalam metode panen petani yang dipicu oleh modernisasi. Dulu, dengan metode panen manual, petani memiliki kendali lebih besar atas hasil panennya. Mereka bisa mengeringkan padi secara bertahap dan menyimpan sebagian gabah di rumah sebagai “lumbung hidup”. Stok inilah yang secara perlahan dilepas ke pasar sehingga menciptakan aliran pasokan yang stabil bagi kilang sepanjang tahun.
Kini, penggunaan masif mesin pemanen modern atau combine harvester mengubah cara petani memanen padi. Mesin tersebut di satu sisi menghadirkan efisiensi. Akan tetapi secara kualitas produksi, menghasilkan gabah dengan kadar air tinggi yang tidak bisa disimpan lama.
Karena petani tidak memiliki fasilitas pengering padi yang memadai, mereka tidak punya pilihan selain langsung menjual gabah pada hari itu juga. Akibatnya, fungsi petani sebagai penyimpan stok penyangga alami telah hilang.
Sebagai pengelola kilang, Zahmadi pernah mengalami pengalaman tak enak. Saat itu mereka membeli gabah hasil panen combine harvester. Di atas kualitas padinya bagus. Begitu diperiksa di bagian tengah karung, ternyata padinya telah busuk. Mau tak mau pihaknya menolak membeli gabah tersebut.
Ia tidak menampik bahwa kekosongan stok gabah sering terjadi setelah tiga bulan panen raya. Tapi tidak menyebabkan harga gabah melonjak. Bila pun ada kenaikan, tidak separah yang terjadi saat ini.
Kini, di tengah kondisi ekonomi yang semakin tidak menentu, dinamika pasar gabah mengalami disrupsi parah. Pesta pasokan saat panen raya, diikuti oleh periode paceklik yang panjang. Inilah yang melahirkan perang harga antar kilang, demi merebut sisa gabah yang ada. Pada akhirnya, konsumen akhir adalah pihak yang harus semua bebannya.
Stok Beras Medium di Bulog Aceh Capai 109.000 Ton
Pemimpin Perum Bulog Kanwil Aceh, Ihsan, mengatakan bahwa stok beras di gudang mereka sangat aman, mencapai 109 ribu ton. Semuanya merupakan beras kelas medium. Sedangkan yang mengalami lonjakan harga yaitu beras premium.
Ihsan menyebutkan kenaikan harga beras premium murni disebabkan oleh persaingan antar kilang dalam merebut bahan baku di tangan petani.
Di tengah harga beras premium yang semakin tinggi, Bulog melakukan intervensi pasar. Dengan cara melakukan program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Tujuannya memberikan alternatif beras medium yang terjangkau bagi masyarakat.
Meski mengaku hanya mengelola beras medium, tapi pengiriman beras Aceh ke Sumatera Utara oleh Bulog, menimbulkan kecaman publik. Bagaimana bisa ditengah kenaikan harga beras yang gila-gilaan di Serambi Mekkah, Bulog Aceh justru mengirim ribuan ton beras ke Provinsi Sumut.
Ihsan menjelaskan pengiriman beras Aceh ke Sumut merupakan perintah dari Pemerintah Pusat untuk pemerataan stok nasional. Dipilihnya Aceh karena faktor kedekatan secara geografis.
Ihsan tentu tidak bisa menolak. Pilihannya hanya satu, melaksanakan perintah.