Mengudap Lobster Simeulue & Keureuling Manggeng

Lobster Simeulue
Junaidi Abdullah (penulis) dan satu porsi hidangan lobster Simeulue. Foto: Dok. Junaidi.

Keureuling Manggeng yang dimasak khas Aceh Barat Daya, membuat lidah rindu ingin kembali. Tatkala menyicip lobster Simeulue, ada rasa enggan kembali ke daratan Aceh. Benar-benar nikmat lobster Simeulue.

Sabtu, 6 Januari 2024, saya dan beberapa teman melakukan perjalanan menuju Pulau Simeulue. Dari Bireuen kami bergerak ke sana melalui jalur Beutong Ateuh, Nagan Raya.

Sudah lama muncul niat hendak berpelesir ke Simeulue. Katanya pulau tersebut indah, hasil lautnya juga bernilai tinggi. Rasa penasaran semakin tinggi karena katanya rasa lobster Simeulue sangat lezat. Tapi keinginan tersebut tak kunjung maujud. Baru pada Januari 2024, niat tersebut tunai, karena ada kegiatan meminang gadis Simeulue untuk seorang kerabat di Bireuen.

Perjalanan dari Bireuen menuju ke Simeulue tentu saja sangat menarik. Sepanjang perjalanan, Ilahi membentangkan negeri ini di atas permadani keindahan. Setiap incinya yang tersaji hanyalah indah dan indah.

Minggu dinihari, 7 Januari, sekitar pukul 02.00 WIB, kami tiba di sebuah kampung yang disebut Tanoh Dapet. Kampung itu berada di Kecamatan Ceulala, Aceh Tengah. Tak ada informasi apa pun tentang Kampung Tanoh Depet saat saya membuka Sistem Informasi Gampong (SIGAP) kampung tersebut.

Informasi yang saya dapatkan justru dari kennews.id, yang menuliskan, sebelumnya Tanoh Depet merupakan bagian dari Kampung Paya Kolak, Kecamatan Silihnara. Permukiman tersebut bermula tahun 1970-an, tatkala Abu Kasim Aman Rahman membuka belantara menjadi ladang. Saat itu dia bersama delapan orang lainnya membuka huma di sana. kemudian secara bergelombang, datang peladang lainnya.

Karena gulita malam, tak banyak yang dapat saya dan teman-teman nikmati di sana. tatkala kami singgah di sebuah warung kopi, barulah kami disajikan dengan pemandangan kampung bawah dengan kerlip cahaya lampu. Sangat indah.

Usai menyeruput kopi, kami melanjutkan perjalanan menuju Blang Pidie. Satu-satunya rute yaitu melintasi Beutong. Kawasan Beutong selain eksotik, juga memiliki nilai sejarah dalam konflik Aceh. Di Beutong Ateuh, Teungku Bantakiah dan santrinya, dihabisi dalam peristiwa berdarah.

Baca: Pembantaian Teungku Bantaqiah di Beutong Ateuh

Tiba di Blang Pidie, kami beristirahat. Kemudian berkeliling kawasan itu untuk menikmati suasana. Setelah puas berkeliling, saya dan teman-teman pun singgah di sebuah warung nasi di Manggeng. Nama warung makan tersebut Adek Khalis. Di sana kami santap siang dengan menu kuah ikan keureuling. Rasanya maknyus. Ikan jurung memang luar biasa. Dimakan tanpa kuah pun nikmat.

Ikan yang masih sekerabat dengan ikan mas ini populer sebagai bahan pangan kelas tinggi. Ikan jurung yang ada di Indonesia dan Malaysia adalah tor douronesis (semah biasa atau kancra bodas), tor tambra (tambra), tor tambroides (tambra), dan tor soro (kancra).Demikian disebut oleh Weber, M. & L.F. Beaufort. 1916, dalam The Fishes of the Indo-Australian Archipelago.

Ikan keureuling alias jurung, merupakan salah satu ikan bernilai tinggi di Aceh dan di seluruh kawasan. Konon, pahlawan Aceh Cut Nyak Dhien sangat menggemari ikan tersebut.

Setelah makan siang, kami berangkat ke Labuhanhaji, Aceh Selatan. Kami tidak membawa serta minibus menyeberangi Samudera Hindia. Mobil kami titipkan di pelabuhan. Biaya parkirnya tidak jelas. Awalnya disebut Rp200 ribu. Setelah negosiasi dapatlah Rp100 ribu untuk tiga hari.

Kami diangkut menuju Sinabang menggunakan KMP Teluk Sinabang. Perjalanan tersebut mencapai berjam-jam. Kapal berlayar pukul 11.00 WIB, dan tiba di Pelabuhan Sinabang pukul 20.00 WIB.

Saya sempat mengalami  shock culture saat melihat proses adat. Padahal masih tahapan meminang. Acaranya sangat panjang. Berbeda dengan proses di pesisir utara-timur Aceh yang serba cepat.

Tatkala kami tiba, tidak bisa langsung menuju rumah calon mempelai wanita. Harus menyambangi rumah tetua adat di sana. Kemudian bawaan mahar harus ditaruh dalam kotak, dan kemudian digendong seperti bayi. Demikian juga calon mempelai wanita, digendong oleh walinya.

Karena badan sudah remuk redam di perjalanan, saya tidak lagi mengikuti prosesi selanjutnya.

Setelah beristirahat, pada Senin hingga Selasa , 8-9 Januari, saya dan teman-teman berkeliling Pulau Simeulue. Di sana saya memiliki teman saat kuliah. Kami dibawa keliling ke beberapa lokasi seperti Bandara Lasikin, dan beberapa tempat lain.

Bandara Lasikin
Junaidi (kiri) bersama seorang teman berfoto di plang nama Bandar Udara Lasikin. Foto: Dok. Junaidi.

Menurut cerita si teman, Lasikin berasal dari kata lham sikin (pisau tenggelam). Konon di masa lampau, pisau seorang opsir Belanda jatuh ke dalam sungai. Sejak itu lham sikin ditabalkan, dan lama-kelamaaan menjadi Lasikin. Benar atau tidaknya kisah itu, kami tidak tahu. Selain itu tak perlu juga melakukan klarifikasi.

Baca: Pembuktian Rahmi Putri Ramadani dari Simeulue

Di seputar kawasan Lasikin, kami menikmati lobster Simeulue yang telah mendunia. Lobster laut yang segar, dagingnya agak lebih keras dari daging udang. Lebih berserat, dan manis.

Lobster Simeulue telah berdiwana ke berbagai negara. Jangan tanya soal harga lobster Simeulue bila sudah terbang ke tempat lain.

Kami juga mendapatkan oleh-oleh gelang akar bahar. Sepintas saya memperhatikan, gelang akar bahar mirip anak ular melingkar. Akar bahar ini merupakan tumbuhan yang tumbuh di atas terumbu karang, beda dengan hewan akar bahar yang hidup di terumbu karang. Hewan akar bahar merupakan keluarga anthozoa, hewan yang tidak memiliki tulang belakang. sama seperti lobster Simeulue yang tidak bertulang belakang.

Pantangan dan Energi Lobster Simeulue

Ada satu pantangan dari Simeulue yang harus dihormati. yaitu, siapa saja yang datang, tidak diperkenankan langsung pulang. Harus menginap sampai tiga hari. Kedua–pantangan saya buat sendiri tiap berpergian pelesirantidak boleh pulang melalui jalan yang sama.

Itulah mengapa selesai proses lamaran, kami tidak langsung tancap gas ke daratan Aceh. demikian juga saat pulang, kami memilih rute berbeda.

Untung saja energi lobster Simeulue masih banyak tersimpan di dalam tubuh. Saat pulang, Rabu, 10 Januari 2023, kami menempuh rute Blang Pidie-Terangon- Blang Keujeuren.

Saat di Blang Pidie, kami sempat menikmati kopi bersama teman-teman di sana yang kini telah jadi pejabat di Abdya. []

Artikel SebelumnyaMAA Aceh Besar Luncurkan Buku Kedudukan Lembaga Adat
Artikel SelanjutnyaSabang Siap Jadi Pusat Dukungan Offshore Industri Migas Aceh
Junaidi Abdullah
Seorang traveller Indonesia yang bermukim di Bireuen, Aceh. Penikmat kajian humaniora.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here