Komparatif.ID, Banda Aceh— Dua puluh lima tahun sudah berlalu sejak Aceh kehilangan Jafar Siddiq Hamzah, seorang aktivis hak asasi manusia (HAM). Ia ditemukan meninggal dunia pada 3 September 2000 dengan empat luka tusukan dan wajah disiram air keras. Hingga kini, kasus kematiannya belum pernah pernah diusut tuntas.
Jafar Siddiq Hamzah
Jafar Siddiq Hamzah lahir di Blang Pulo, Lhokseumawe, Aceh, pada 16 November 1965. Ia merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara pasangan Nyak Hamzah Yusuf dan Habibah Rashid.
Sejak muda, Jafar dikenal cerdas dan tekun belajar. Setelah menempuh pendidikan dasar di kampung halamannya, ia melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri Lhokseumawe, lalu ke Sekolah Pendidikan Guru Tingkat Menengah.
Kecintaannya pada dunia hukum membawanya merantau ke Medan untuk menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Amir Hamzah. Setelah lulus, ia bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan. Dari situlah kariernya sebagai pengacara sekaligus aktivis pembela HAM bermula.
Komitmennya pada isu kemanusiaan semakin kuat ketika ia mendirikan International Forum for Aceh (IFA), sebuah organisasi non-pemerintah yang berfokus pada kampanye perdamaian dan perlindungan HAM di Aceh.
Melalui IFA, Jafar berusaha membuka mata dunia terhadap pelanggaran HAM yang marak terjadi di tanah kelahirannya, terutama di masa operasi militer.
Pada 1999, Jafar melanjutkan studi ilmu politik di New School for Social Research, New York. Di Amerika Serikat, ia aktif membangun jaringan internasional sembari bekerja paruh waktu sebagai sopir taksi.
Meski berada jauh dari Aceh, Jafar Siddiq Hamzah tidak pernah lepas dari misi besarnya: memperjuangkan perdamaian dan menuntut keadilan bagi korban pelanggaran HAM.
Ben Terral dalam jurnal Estafeta edisi Musim Dingin 2001 menjelaskan Jafar Siddiq Hamzah pulang ke Aceh pada Juni 2000. Ia pulang di bawah ancaman pembunuhan karena membentuk Indonesia Human Rights Network di New York untuk advokasi internasional pelanggaran HAM di Aceh.
Baca juga: Kunci Perdamaian dalam Resolusi Konflik Aceh
Meski begitu, Terral mengatakan Jafar tidak takut, ia pulang menyelidiki kekejaman yang dilakukan oleh militer dan polisi Indonesia, serta keterlibatan Mobil Oil dalam penindasan di sana.
“A forceful advocate for his people, Jafar criticized violence perpetrated by Indonesian military and police as well as by members of the Free Aceh Movement (GAM), while noting that the military was responsible for the vast majority of human rights abuses in Aceh, and that some violence attributed to GAM was actually perpetrated by military operatives,” kenang Terral.
Hilang dan Ditemukan Tak Bernyawa
Pada akhir Juli 2000, Jafar pulang ke Indonesia untuk urusan pribadi sekaligus membangun jaringan dengan sesama aktivis. Tanggal 27 Juli ia berangkat dari Banda Aceh ke Medan, kemudian singgah di Lhokseumawe, sebelum akhirnya tiba di Medan pada 29 Juli. Di kota itu, Jafar sempat bertemu dengan teman-teman dan beberapa kerabat.
Namun, pada 5 Agustus 2000, kabar tentang dirinya tiba-tiba terputus. Ia sempat menghubungi temannya dan berjanji menjemput seorang kerabat di Bandara Polonia Medan. Akan tetapi, Jafar Siddiq Hamzah tak pernah muncul.
Pencarian dilakukan keluarga, LBH Medan, hingga lembaga swadaya masyarakat lain. Laporan resmi orang hilang pun disampaikan ke kepolisian.
Sebulan kemudian, Minggu pagi 3 September 2000, jenazah Jafar ditemukan bersama empat mayat lain di pinggir Jalan Merek-Sidikalang, Desa Nagalingga, Kabupaten Karo, Sumatera Utara.
Dari hasil forensik, jasad itu dikenali melalui ciri fisik yang sesuai, termasuk bekas operasi usus buntu dan kondisi gigi. Jafar dikebumikan di kampung halamannya di Blang Pulo, Aceh Utara, pada 8 September 2000.
Kematian Jafar terjadi di tengah eskalasi konflik bersenjata di Aceh usai dicabutnya status Daerah Operasi Militer (DOM) pada 1998. Meskipun DOM berakhir, kekerasan tidak serta-merta berhenti.
Data LBH Aceh menyebutkan, sedikitnya ada 223 kasus penghilangan paksa di seluruh Aceh pada masa itu. Banyak korban berasal dari kalangan sipil, aktivis, hingga tokoh masyarakat yang dianggap berseberangan dengan pemerintah.
Kehilangan Jafar mendapat perhatian internasional. Pemerintah Amerika Serikat melalui Duta Besar AS untuk Indonesia Robert S. Gelbard dan organisasi Human Rights Watch (HRW) menekan pemerintah Indonesia untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
Pengacara dan rekan Jafar di New York, Luke Z. Fenchel, meminta pihak berwenang Indonesia mengusut tuntas kematian aktivis HAM Aceh itu. Ia menyebut Jafar pulang meredakan konflik tapi malah dari korban kekerasan.
Namun desakan itu tidak pernah benar-benar ditindaklanjuti. Hingga seperempat abad berlalu, misteri pembunuhan Jafar Siddiq Hamzah dan empat korban lain yang ditemukan bersamanya tetap tak terpecahkan.
Disarikan dari berbagai sumber: ETAN, Kompas, The East Timor Estafeta, Daily News, theprogressive.org, World Policy Journal, New School University.