Bagi warga Palestina di Tepi Barat, harapan mendapatkan Lailatul Qadar di Masjid Al-Aqsa, merupakan impian besar setiap Ramadan tiba. Demi mencapai masjid, mereka harus berjuang sangat keras di tengah aturan yang dibuat Pemerintah Israel yang berubah-ubah.
Kota Yerusalem tempat berdirinya Masjid Al-Aqsa, merupakan daerah yang disucikan oleh tiga agama: Yahudi, Kristen, dan Islam. Secara de facto Yerussalem merupakan ibukota negara Israel. Di sanalah kediaman Presiden, Perdana Menteri, kantor Mahkamah Agung, dan Knesset (Parlemen Israel) berada. Universitas Ibrani, dan Museum Israel juga berada di Yerussalem. Meski dunia internasional menganggap itu sebagai pendudukan paksa, tapi Pemerintah Zionis tak ambil pusing. Termasuk tak ada satupun kantor kedutaan negara sahabat di sana. Israel tak menaruh pikiran.
Kota Yerussalem sepenuhnya berada di bawah kontrol Pemerintah Israel setelah berhasil mengalahkan Yordania dan Suriah pada 1967 lewat Perang Enam Hari.
Baca: Bentrokan di Al-Aqsa Lukai 158 Warga Palestina
Palestina juga mengklaim Yerussalem sebagai bagian dari wilayahnya. Namun faktanya, kawasan Palestina seperti Nablus, Tepi Barat (West Bank) Ramallah, Yericho, Hebron, Betlehem, dan sekitarnya saat ini dalam penguasaan Israel.Pemerintah Palestina tidak berjalan di sana.
Meski dalam pendudukan, bukan bermakna warga Palestina yang bermukim di Yerussalem dan daerah okupasi lainnya bebas akses ke Masjid-al-Aqsa. Selalu ada alasan dari tentara dan polisi Israel untuk menolak masuknya warga Palestina ke Al-Aqsa.
Demikian juga pada Ramadan 1444 Hijriah. Warga Palestina di tanah pendudukan berbondong-bondong menuju Al-Aqsa, demi mendapatkan kesempatan bertemu Lailatul Qadar di Masjid al-Aqsa pada malam Senin (17/4/2023).
Tidak mudah mencapai al-Aqsa. Umat Islam di Palestina harus menuju ke sana dengan perjuangan tidak ringan. Tiba di pos pemeriksaan menuju gerbang Yerussalem, mereka harus berdesak-desakan.
Petugas keamanan Israel di Pos Qalandiya membagi dua lajur. Perempuan di kanan, laki-laki di kiri. Penduduk Yerussalem di sini, orang cacat di sana. Sangat ketat, sekaligus amburadul. Siapa saja berpotensi tidak dapat melewati perbatasan. Lewat tidak lewat, bukan saja bersandar pada aturan yang telah ditetapkan. Tapi dari suka tidak suka prajurit yang bertugas.
Deia Jamil, seorang perempuan berprofesi guru Bahasa Arab berusia 40 tahun, yang mengajar di Kota Ramallah, tidak diperkenankan memasuki Yerussalem. Dia hanya bisa pasrah dan berlutut di tanah sembari berdoa. Padahal dia sudah mencoba meyakinkan penjaga bahwa dirinya hanya ingin beribadah di Al-Aqsa. Ia tidak berpolitik.
Al-Aqsa adalah magnet bagi penduduk Palestina. Juga muslim dunia. Kota suci ketiga bagi umat Islam tersebut selalu menjadi tujuan ziarah religi. Namun karena berada di kawasan pendudukan Israel, sehingga tidak mudah diakses.
Ketika berbondong-bondong ribuan orang ingin ke Al-Aqsa demi mendapatkan peluang bertemu Lailatul Qadar pada Ramadhan ke 27, Israel berlaku tidak ramah.
Tahun ini, seperti di masa lalu, Israel telah melonggarkan beberapa pembatasan, mengizinkan perempuan dan anak kecil dari Tepi Barat untuk memasuki Yerusalem tanpa izin. Mereka yang berusia antara 45 dan 55 tahun yang memiliki izin yang sah dapat berdoa di kompleks Masjid Al-Aqsa.
Namun lagi-lagi, tidak mudah mencapai Masjid Al-Aqsa.“Saya merasa benar-benar tersesat,” kata Noureddine Odeh (53), ranselnya melorot di salah satu bahunya. Istri dan putri remajanya berhasil melewati pos pemeriksaan. Ia sendiri tidak berhasil lewat.
Seorang gadis berusia 16 tahun dari Kota Jenin dengan panik menelepon orang tuanya yang memasuki Yerusalem tanpa dia. Seorang remaja berusia 19 tahun dari Ramallah mengganti mantelnya dan memakai kacamata hitam dan lipstik sebelum mencoba lagi.
Tidak jelas berapa pengajuan izin masuk yang diterima oleh Israel dari Tepi Barat dan Gaza.Tetapi mereka mengatakan bahwa sejauh bulan ini, sekitar 289.000 warga Palestina—mayoritas dari Tepi Barat dan beberapa ratus dari Jalur Gaza—telah mengunjungi Yerusalem untuk berdoa.
Gairah umat Islam di Palestina untuk beribadah di Al-Aqsa sangat besar. Konon lagi dengan impian bertemu Lailatul Qadar. Maka apa pun akan dilakukan, supaya dapat bersujud di masjid bersejarah itu.
Demi Lailatul Qadar, Semua Bisa Dilakukan
Berjuang dengan cucuran darah dan keringat, merupakan keseharian warga Palestina demi mencapai tujuan. Di sana tidak ada yang mudah.
Apalagi demi bertemu malam istimewa pada akhir Ramadan—Lailatul Qadar. Mereka ingin bertemu dengan malam istimewa tersebut ketika sedang beriqtikaf di Al-Aqsa.
Yang lain menemukan cara yang lebih berisiko untuk sampai ke kompleks suci—berebut melewati penghalang raksasa Israel atau meluncur di bawah kawat berduri.
Abdallah, seorang mahasiswa kedokteran muda dari kota selatan Hebron, memanjat tangga reyot dengan enam temannya di kegelapan menjelang fajar pada hari Senin – kemudian meluncur ke bawah tali di sisi lain dinding – sehingga dia bisa sampai ke Al- Aqsa untuk Lailatul Qadar. Mereka membayar seorang penyelundup masing-masing $70 untuk membantu mereka memanjat penghalang.
Abdallah tentu harus sport jantung melakukan aktivitas tersebut. Karena bila diketahui, ditangkap dan dipenjara merupakan hukuman paling ringan. Bagaimana kalau ditembak mati?
Militer Israel telah menangkap ratusan warga Palestina yang menyelinap melalui lubang di penghalang pemisahan selama Ramadan. Lubang-lubang liar dibasmi. Tapi semangat menembus batas tetap menyala-nyala.
Tiba di dalam Kota Yerussalem juga tidak menjamin keamanan. Polisi yang ada di mana-mana senantiasa meminta identitas tiap orang yang dicurigai. Warga yang masuk secara ilegal harus pandai bergelap-gelap dalam terang, berterang-terang dalam gelap. Penyamaran harus maksimal.
Tapi di antara kecemasan, selalu terselip kegembiraan. Setiap kali berhasil melewati pintu masuk kompleks suci, Abdallah merasa sangat bahagia. Ia sangat antusias bersujud sembari menanti Lailatul Qadar.
Sumber: Arab News, World Gazetter, Old City of Jerusalem and its Walls