Ketika banjir besar melanda Aceh akibat dampak Siklon Senyar tahun 2025, banyak orang kembali melempar satu kalimat yang terdengar seolah ilmiah: “Inilah siklus 25 tahunan yang berulang.”
Kalimat itu menenteramkan sebagian orang, tetapi sekaligus menutupi kenyataan bahwa bencana kali ini bukan sekadar pengulangan masa lalu. Untuk memahami apakah benar ada “siklus”, kita perlu menengok sejarah banjir Aceh secara menyeluruh, dan menyelami bagaimana ekologi yang berubah membuat banjir masa kini tak dapat disandarkan pada pola lama.
Jejak sejarah banjir besar di Aceh terekam bahkan sebelum republik ini lahir. Pada tahun 1936, dokumen kolonial mencatat banjir besar yang menyapu wilayah Aceh dan mengganggu aktivitas umum.
Lalu tahun 1953 kembali muncul laporan banjir besar di Sigli dan Aceh Besar. Jika ini disebut sebagai rentang waktu, jaraknya hanya 17 tahun—angka yang tidak menjejak pada 25 atau suatu interval yang stabil.
Narasi sejarah ini menunjukkan bahwa memori kolektif tidak selalu linear, dan kejadian besar sering kali disederhanakan menjadi “perulangan” padahal tidak demikian.
Memasuki era modern, banjir besar kembali mencatatkan dirinya. Tahun 2006, banjir melumpuhkan wilayah Aceh Tengah, Aceh Utara, dan sebagian Aceh Timur. Korban meninggal, ribuan warga mengungsi, jembatan runtuh, dan jalur lintas provinsi terputus.
Kemudian tahun 2013 banjir merendam ribuan rumah di Lhoksukon dan sekitarnya, dan pada 2017 kejadian besar kembali menyapu beberapa kabupaten. Jika memang ada siklus 25 tahun, seharusnya banjir besar itu hanya terjadi pada interval usia generasi, bukan dalam jeda kurang dari satu dekade. Di sini kita melihat bahwa data tidak mendukung preskripsi yang populer.
Di sisi lain, fenomena Siklon Senyar memberikan konteks baru. Siklon tropis yang berada di sekitar perairan barat laut Aceh bukan fenomena biasa. Ketika tekanan rendah berkembang dan membawa suplai uap air dalam jumlah besar, langit Aceh seperti dibelah terbuka. Hujan turun tanpa henti selama dua hari, dengan intensitas yang melebihi kapasitas sungai untuk menampung limpasan. Peristiwa meteorologi ini bukan bagian dari “daur 25 tahun”, melainkan efek langsung dari dinamika atmosfer yang semakin tidak stabil akibat perubahan iklim.
Baca juga: Kain Kafan untuk Aceh dan Sumatra
Namun bencana tidak murni datang dari langit. Sungai tidak lagi seperti yang ditulis dalam buku-buku geografi lama. Hulu sungai sekarang banyak berubah menjadi kebun berkelanjutan, areal non-resapan, bahkan permukiman yang merambah lereng bukit.
Ekologi yang dulu menjadi penahan air—hutan lebat yang menyerap air hujan sebelum mengalirkannya perlahan ke sungai—kini berubah menjadi permukaan yang memantulkan air. Ketika hujan ekstrem datang, limpasan meningkat, dan sungai meluap seolah kehilangan kesabaran.
Pembangunan yang mencetak beton dan aspal di dataran rendah memperburuk keadaan. Banda Aceh, Aceh Besar, hingga sebagian Lhokseumawe menjadi ruang yang kedap air. Drainase yang dibangun bertahun-tahun lalu kini tak lagi sepadan dengan jumlah bangunan yang berdiri. Air yang semestinya meresap, tertahan dan membentuk genangan tidak surut. Di sinilah banjir bukan lagi urusan sungai belaka, tetapi persoalan tata ruang dan manajemen lingkungan.

Bila ada “siklus”, maka itu adalah siklus kelalaian kebijakan. Banjir besar datang, langkah darurat muncul, bantuan mengalir, lalu semua mereda dimakan waktu. Setelah itu, ruang kosong kembali dibangun, aliran air diubah paksa, hutan dikurangi perlahan, sungai dipersempit demi akses pembangunan. Ketika badai datang lagi, kejadian besar terulang, namun bukan karena siklus alam—melainkan siklus keputusan yang berulang.
Siklon Senyar menjadi peringatan panjang bagi Aceh. Ia membuka tabir kenyataan bahwa frekuensi cuaca ekstrem akan meningkat, bukan menurun. Bahwa ekosistem yang terdegradasi tidak lagi mampu menahan air yang datang dalam volume besar. Bahwa infrastruktur yang kita bangun tidak dapat dianggap sakral dan sempurna—ia harus disesuaikan dengan perubahan risiko.
Oleh karena itu, membaca sejarah banjir Aceh bukan untuk mencari angka keberulangan waktu, tetapi untuk membaca jejak kesalahan yang dapat diperbaiki. Kita tidak lagi bisa bersandar pada narasi “25 tahun lagi akan kembali” karena kenyataannya risiko itu kini datang lebih rapat, lebih intens, dan lebih tak terduga.
Siklon Senyar bukan bab terakhir dalam buku kebencanaan Aceh, melainkan bab pembuka yang menuntut perubahan cara berpikir.
Pada akhirnya, banjir besar Aceh adalah cerita tentang sungai yang berubah, langit yang semakin tak pasti, dan manusia yang memutuskan hubungannya dengan alam tanpa memahami konsekuensinya.
Jika narasi ini hendak ditutup dengan kalimat persuasif, maka kalimat itu sederhana: jangan menunggu 25 tahun lagi untuk bertindak, karena bencana tidak menunggu kita. Ia mengikuti celah, menyusup ke titik lemah, dan menguji keberanian kita untuk memperbaiki keadaan. Dan Aceh, kali ini, harus memilih untuk belajar.
Tulisan Adun Nursalim disitat dari linimasa Facebook-nya.












