Komparatif.ID, Kuala Lumpur— Parlemen Malaysia resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pekerja Gig 2025 yang telah lama ditunggu-tunggu. UU perlindungan pekerja informal itu memberikan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap lebih dari 1,2 juta pekerja gig yang selama ini bergantung pada pendapatan dari sektor ekonomi digital.
Melalui pengesahan tersebut, UU perlindungan pekerja informal memastikan pekerja gig diakui sebagai kategori tenaga kerja tersendiri, berbeda dari karyawan tradisional maupun kontraktor independen.
Mereka kini memiliki hak atas kontrak kerja tertulis yang mengatur standar minimum, termasuk pembayaran, perlindungan asuransi, pengaturan jam kerja, serta prosedur pemutusan hubungan kerja yang adil.
Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia, Steven Sim Chee Keong, menegaskan langkah ini menutup ketimpangan perlindungan tenaga kerja yang selama ini terjadi di sektor gig.
“Selama ini, 1,2 juta pekerja gig bekerja tanpa perlindungan layak, seakan kontribusi mereka pada ekonomi tidak dianggap penting. RUU ini mengakhiri ketidakadilan itu,” ujar Steven Sim dikutip dari Malay Mail, Senin (1/9/2025).
Ia menambahkan regulasi baru ini merupakan tonggak penting bagi kesejahteraan pekerja yang selama ini berada di sektor informal.
Berdasarkan data kuartal pertama 2025, jumlah angkatan kerja Malaysia mencapai 16,7 juta orang, dengan sekitar 3,45 juta atau 20,65 persen bekerja di sektor informal, termasuk pekerja gig.
Baca juga: Pekerja Migran Ilegal Rawan Jadi Korban Perdagangan Manusia
Catatan Organisasi Jaminan Sosial (Socso) menyebutkan terdapat 133.481 pekerja p-hailing dan 189.450 pekerja e-hailing yang terdaftar berkontribusi lewat UU Jaminan Sosial Pekerja Mandiri 2017.
Dengan lahirnya UU perlindungan pekerja informal, cakupan perlindungan diperluas tidak hanya bagi pengemudi, tetapi juga kurir, pekerja lepas, hingga kreator digital yang bekerja melalui platform daring.
Beberapa perusahaan besar seperti Grab dan Foodpanda kini diwajibkan menyediakan kontrak kerja yang jelas dan tidak lagi diperbolehkan melakukan perubahan tarif sepihak, pemblokiran akun secara sewenang-wenang, ataupun melarang pekerja menggunakan banyak platform sekaligus.
Pemerintah Malaysia juga membentuk Tribunal Pekerja Gig untuk menyelesaikan sengketa antara pekerja dan perusahaan. Tribunal ini dapat memberikan putusan berupa kompensasi, pemulihan hak, hingga pembayaran upah.
Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim, yang juga menjabat sebagai Menteri Keuangan, menyebut pengesahan ini sebagai kemenangan besar bagi pekerja gig.
“RUU ini selaras dengan semangat kemerdekaan, membebaskan mereka dari tekanan, sekaligus memenuhi tuntutan yang sudah dijanjikan, meski proses legislasi ini panjang dan rumit,” ujar Anwar dalam pernyataannya, dikutip dari Bernama.
Anwar menambahkan pemerintah berkomitmen penuh untuk memastikan perlindungan pekerja gig, termasuk pengemudi e-hailing, kurir, serta pekerja digital.