Masjid Quba memiliki kenangan tersendiri dalam ingatan saya. Saat itu kursi roda milik ayah sempat hilang. Namun setelah saya ikhlaskan, justru kembali. Rupanya “dipinjam” oleh seorang jamaah yang berhajat atas sesuatu.
Melaksanakan ibadah Umrah selalu padat pengalaman yang berbeda antar individu. Seperti yang saya alami ketika membawa ayah dan ibu ke Tanah Suci Mekkah dan Madinah untuk melaksanakan Umrah.
Baca: Lingkaran Setan Tambang Ilegal di Serambi Mekkah
Setelah berusaha keras untuk dapat tawaf di samping Kabah tak diberi akses masuk, akhirnya daya dan keluarga ambil posisi tawaf di lantai dua yang lumayan jauh bila dibandingkan dengan tawaf di lantai dasar.
Setelah melakukan rukun Umrah, saya bersama rombongan melakukan ziarah ke Masjid Quba. Ayah kurang sehat sehingga harus dibantu menggunakan kursi roda.
Setelah wudhu saya papah ayah masuk Masjid Quba untuk melaksanakan salat sunat. Kursi roda saya taruh di teras masjid.
Selesai salat, ayah saya papah kembali keluar untuk melanjutkan perjalan. Betapa terkejut saat sampai ke teras Masjid Quba, ternyata kursi roda sudah tak ada lagi di sana.
Saya panik. Apalagi saat melihat wajah ayah yang lemah. Panik bercampur duka. Ayah bertubuh gemuk, lemah, sehingga total membutuhkan bantuan. Tapi alat bantu telah diambil orang lain. Ternyata di perkampungan Quba, 5 kilometer dari Masjid Nabawi, masih ada orang yang meminjam barang orang lain tanpa memberitahu.
Saya berusaha mencari sambil berlari mengelilingi masjid dengan harapan ada yang menemukan kembali kursi tersebut. Dua kali saya lari kelilingi masjid, tapi kursi itu tak juga saya temukan. “Ya Allah, cobaan apa ini?” gumam saya dalam hati.
Sambil mata terus memantau di sejauh mata memandang, saya temui amir masjid sambil menceritajan kursi roda yang hilang sambil mencari solusi.
Amir masjid menjawab tidak melihat kursi roda yang saya maksud, tetapi menunjuk wheel chair lain yang ada dalam gudang untuk dipinjamkan.
Tapi saya bermohon untuk dapat diberikan kepada ayah, dengan harapan ketika ketemu kursi roda ayah yang hilang diambil untuk pengganti.
Alhamdulillah, solusi Allah berikan, saya naikkan ayah ke kursi itu lalu bergegas menuju mobil rombongan, karena rombongan sudah kelamaan menunggu.
Setiba di mobil, kursi pinjaman tadi langsung dimasukkan ke bagasi dan mobil pun siap untuk berangkat.
Batin saya mengatakan, kursi roda ayah tidak diambil orang. Pasti ada yang pinjam sebentar untuk keperluan yang juga mendesak.
Saya turun lagi dari bus sambil berlari mencoba melihat tepat pada posisi pertama kali kursi roda ayah saya taruh.
Alhamdulillah, tabarakallah. Benar adanya, wheel chair ayah sudah ada di tempat itu. Saya ambil dan lipat secepatnya dan berlari lagi menuju mobil rombongan yang sudah siaga satu. Saya meminta tolong kepada petugas umrah supaya menurunkan kursi roda pinjaman dari amir mesjid. Mereka bersedia membantu mengembalikan.
Ada dua hal yang menarik tentang peristiwa tersebut. Pertama, jangan pernah mengambil barang orang lain, meskipun sangat membutuhkan. Karena kita tidak tahu sepenting apa barang tersebut bagi empunya.
Kedua, selalu ada orang yang mementingkan diri sendiri dan tak peduli terhadap orang lain, meski sedang berada di Tanah Suci.
Ketiga, dalam kafilah, selalu penting menempatkan rasa sabar setiap kali ada hajat mendadak di luar rencana. Saya berterima kasih kepada rombongan yang tidak marah dan bersedia menunggu kami yang sedang “diuji” oleh Allah, dengan mengirimkan orang “usil” karena hajat tertentu.
Penulis Jailani Yusti. Kabid SD Disdikbud Kota Banda Aceh.