“Terigu telah menjadi bahan makanan pokok kedua setelah beras di Indonesia. Perang antara Ukraina versus Rusia memberikan dampak. Tapi posisi Indonesia cukup aman dari krisis pangan, karena produksi beras kita saat ini 10,2 juta ton; Indonesia kembali swasembada.”
Ukuran teumon ie (kue pendamping kopi) di banyak tempat di Aceh dalam beberapa bulan terakhir menjadi lebih kecil. Sejumlah kue yang berbasis tepung terigu harganya tetap saja masih 1000 rupiah, tetapi bentuknya semakin mini. Sebaliknya ada sejumlah kedai kopi yang menjaga ukuran tetap sama, namun harga kue telah naik menjadi 1.500 rupiah. Pilihan pertama disebut dengan “mazhab harga tetap”, ukuran berkurang, sedangkan yang kedua adalah “mazhab harga naik”, ukuran tetap.
Seorang teman saya yang rajin “bertasbih” di kedai kopi setelah sembahyang Subuh, kini punya dua pilihan. Biasanya makan kue dua yang harganya 1000 rupiah setiap pagi, kini harus makan empat kue, kalau tidak perutnya akan “terganggu”. Pilihan lain yang tersedia, dua kue dengan harga 1500 rupiah, namun sayangnya tidak banyak kedai kopi yang menganut “mazhab” menaikkan harga.Seorang pun tidak tahu apa yang akan terjadi di hari-hari mendatang, mengingat harga terigu yang dari sehari-ke sehari semakin naik.
Kejadian yang dialami hari ini, oleh khalayak di Aceh dan di seluruh tempat di Indonesia, masih bisa makan nasi, minum kopi plus kue-kue berbahan terigu. Banyak kawasan di negara-negara Afrika yang penduduknya sudah mengalami krisis pangan, apalagi kalau makanan utamanya adalah terigu. Paling parah adalah negara-negara yang penduduknya mengkonsumsi makanan utama berbasis gandum.
Terhadap negara-negara yang makanan utamanya gandum, ada yang tidak menanam gandum, ada yang menanam gandum, namun produksinya sangat sedikit. Negara-negara itu ditemui terutama di Afrika dan Timur Tengah. Mesir, Sudan, Pantai Gading,Lebanon adalah contoh barang negara-negara yang mengantungkan sumber makanan utamanya pada gandum impor.
Sesungguhnya, tidak hanya negara-negara itu yang gandumnya dimasukkan dari negara lain. Pada tahun 2021 cukup banyak, paling kurang sekitar 25 negara yang lebih dari 60 persen gandum sebagai makanan utamanya diimpor, dan puluhan negara yang gandum impornya kurang dari jumlah itu (FAO 2021). Mulai dari negara kaya dan maju seperti Finlandia, negara berkembang namun maju, seperti Turki, negara miskin terkebelakang seperti Eritria,Namibia, dan Republik Demokrasi Congo, semuanya merupakan bagian dari negara pengimpor utama gandum.
Kini harga gandum telah meroket, dan dunia kini mengalami krisis pangan yang sangat parah. Krisis iklim globa, Covid-19 yang sebelumnya telah menganggu kegiatan pertanian di berbagai belahan bumi, kini semakin menjadi lebih perah akibat perang Ukraina. Agresi Rusia yang diprakarsai oleh Presiden Vladimir Putin telah menyempurnakan krisis pangan.
Dunia kini “dipaksa” oleh AS untuk memboikot semua impor barang Rusia, termasuk gandum dan bahan makanan lainnya. Sebagai tambahan, penguasaan sejumlah kawasan Ukraina oleh Rusia, terutama kawasan pesisir Laut Tengah berikut dengan kota pelabuhan ekspor utama Ukraina telah membuat gandum Ukraina tertumpuk di gudang-gudang, dan tak dapat diekspor.
Krisis pangan dunia sebenarya telah cukup lama terjadi.Pada tahun 2007 -2008 dunia pernah mengalami krisis pangan. Krisis itu kemudian terjadi lagi pada tahun 2011-2014, dan kejadian itu terulang lagi pada tahun 2020 sampai dengan hari ini (UN-FAO 2022; Boomberg 2022). Sumber krisis yang sebelum tahun 2020 terjadi lebih banyak dipicu oleh krisis ekonomi yang kemudian menjalar kepada kenaikan harga komoditi, fosil-minyak bumi, pupuk, dan akhirnya membuat harga pangan naik.
Apa yang membuat krisis pangan kali ini berbeda adalah parahnya iklim di beberapa tempat di dunia dalam beberapa tahun terakhir, ditambah dengan hantaman Covid-19 telah menciptakan gelombang besar krisis pangan. Apa yang menjadi persoalan besar dengan perang Ukraina tak hanya berurusan dengan status kedua negara itu sebagai gudang gandum dunia, akan tetapi juga bertemali dengan krisis energi dan krisis pupuk global.
Untuk diketahui, gabungan gandum Rusia dan Ukraina menjadi nomor dua eskportir dunia – 87 juta metrik ton, sedikit kalah dari eksportir nomor satu dunia, Amerika Serikat-93 juta metrik ton (IGC, Farm Policy News 2022). Apa yang menjadi lebih kompleks kali ini adalah posisi Rusia di dunia dalam hal sumber energi minyak bumi dan gas alam, berikut dengan salah satu sumber utama penghasil pupuk untuk keperluan pertanian global. Contoh yang paling nyata adalah, dari 20 negara utama pengekspor pupuk global, Rusia berada pada nomor satu dengan total nilai ekspor pada tahun 2020 sebesar 12.5 miliar dolar (CIA, The Fertilizer Institute 2022).
Boikot Rusia yang dipaksakan AS untuk dunia telah menggoncangkan harga minyak dan gas bumi. Sebagai akibatnya hampir seluruh negara penghasil pangan mengalami kenaikan harga energi, mulai dari penggunaan untuk berbagai alat petanian, sampai dengan transportasi sampai ke konsumen. Tidak hanya itu, krisis Ukraina juga telah membuat harga pupuk mengalami peningkatan yang meroket. Di Indonesia saja hari ini, harga pupuk non subsidi mengalami kenaikan lebih dari 100 persen.
Absennya gandum Rusia dan Ukraina, naiknya harga minyak dan pupuk, sisa masalah pangan yang diakibatkan oleh hantaman Covid-19 global kini telah membuat masa depan pangan semakin tidak bisa diprediksi. Apalagi bila perang itu terus berlanjut di tahun-tahun mendatang tanpa prospek penyelesaian.
Sebuah perhitungan yang dibuat oleh World Food Programe dan Bank Dunia baru-baru ini (Mai 2022), mengindikasikan kenaikan harga pangan dari bulan Januari 2021 dibandingkan dengan harga pada bulan Mei 2022 untuk komoditi jagung sebesar 55 persen dan gandum sebesar 91 persen.
Selanjutnya dengan kenakan harga yang seperti itu, diperkirakan ancaman kelaparan global akan mencapai 323 juta jiwa pada tahun 2022. Angka ini belum final karena Bank Dunia (2022) juga memperkirakan harga pangan akan tetap tinggi sampai dengan tahun 2024.
Indonesia tidak berada dalam posisi yang sangat terancam dalam konteks ancaman pangan global, paling kurang sampai dengan tahun ini, dan mungkin juga untuk tahun-tahun yang akan datang. Kenaikan harga gandum memang telah memberikan pengaruh untuk Indonesia, akan tetapi karena makanan pokok negeri ini adalah beras, kenaikan itu belum memicu harga beras naik.
Suatu hal yang cukup menggembirakan, Indonesia pada tahun ini mendapat berkah produksi padi yang mencapai angka tertinggi 10,2 juta ton (BPS, April 2022), status swasembada pangan yang pernah dicapai pada tahun 1984-1986, pada masa Pak Harto, kini terjadi lagi. Lembaga penelitian padi internasional International Rice Research Institute -IRRI, yag berpusat di Los Banos, Filipina, baru saja memberi pengakuan untuk prestasi itu, dan Presiden Jokowi telah menerima penghargaan atas capaian itu.
Capaian itu tidak lepas dari komitmen pemerintah yang telah membangun infrastruktur irigasi besar-besaran di seluruh Indonesia. Tidak kurang dari 38 bendungan besar, 4.500 embung, dan 1,1 juta jaringan telah selesai dibangun dalam tujuh tahun terakhir. Jika semuanya berjalan konstan, dan jika sampai tahun 2024, 23 bendungan besar, berikut dengan ratusan ribu jaringan irigasi dapat dibangun, optimisme swasembada pangan akan terus berlanjut.
Apa yang menjadi persoalan pokok Indonesia hari ini adalah penduduknya mengkonsumsi bahan makanan yang tidak ditanam di Indonesia dalam jumlah yang relatif besar. Konsumsi gandum seperti yang didapatkan di rumah tangga, dan semua kenai kopi di Aceh dan Nusantara adalah contoh nyata betapa ketahanan pangan yang bergantung dari bahan impor sangat rapuh ketika terjadi krisis ekonomi, kekurangan pangan, dan bahkan konflik global.
Kini, di samping nasi, makanan keseharian masyarakat mulai disusup oleh bahan utama gandum dalam porsi yang tidak biasa. Masalahnya tidak sesederhana yang kita lihat dan bayangkan. Siapapun yang pernah hidup pada tahun tujuhpuluhan dan delapan puluhan, pasti ingat bahwa jenis kue yang berbahan gandum sangatlah sedikit. Makanan dan penganan yang dikonsumsi publik sangat diwarnai oleh pangan lokal, baik beras, pisang, maupun umbi-umbian.
Tidak banyak kota kecamatan yang menjual mi Aceh seperti hari ini. Bahkan Kota Banda Aceh saja sebagai ibu kota propinsi mempunyai penjual mie Aceh yang hitungannya cukup dengan jumlah jari sebelah tangan saja. Mi instan yang dikenal dengan nama Supermie juga tidak banyak dikonsumsi, jauh sekali berbeda dengan saat ini. Bahkan, bagi sebagian masyarakat mi dalam berbagai versi menjadi makanan nomor dua setelah nasi.
Menggunakan kacamata awam, keadaan konsumsi gandum masyarakat hari ini, dipastikan jauh lebih banyak dibandingakan dengan 20-30 tahun yang lalu, baik menuruti jumlah mulut, maupun jumlah konsumsi per individu. Hal ini terbukti dengan angka-angka yang ditemukan oleh seorang Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Sentosa (2022). Menurutnya,jika pada tahun tujupuluhan, porsi gandum dalam makanan sehari-hari cuma 5 persen, 40 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2010, jumlahnya meningkat menjadi 18 persen.
Angka tahun 2010 tidak bertahan lama. Hanya 10 tahun kemudian angka meledak, tepatnya 27 persen pada tahun 2021. Perhitungan Andreas (2021). Di perhitungkan pada tahun 2045, porsi gandum dalam makanan keseharian dapat mencapai 50 persen, berimbang, dan bahkan mengalahkan porsi beras. Jika hal ini menjadi kenyataan, artinya, posisi ketahanan pangan nasional kita berada dalam keadaan yang sangat rapuh.
Kenaikan angka konsumsi gandum seperti yang telah ditulis di atas jelas menjadi bukti dengan berbagai jenis kue dan penganan yang dikonsumsi masyarakat kita sehari-hari. Kreativitas pembuatan kue yang berbasis gandum, jauh lebih hebat dari kreativitas pembuatan kue yang berbasis tepung beras.
Ragam jenis kue berbasis gandum di kedai kopi kita di Aceh terhitung belasan jumlahnya. Sementara itu, jenis kue lokal yang berbasis tepung beras masih berada di sekitar timphan, nagasari, kue lapis, onde-onde dan putu. Ada jenis mi Cina yang disebut kwe tiuw yang berbasis tepung beras harusnya kembali diadaptasi menjadi kwe tiuw Aceh.
Kreativitas “pedagang mi gampong Aree” melokalkan mi kuning terigu Cina dengan racikan “bumbu Aceh”- kemiri dan capli kleng plus rempah lain adalah sebuah fusi makanan yang luar biasa. Krativitas itu kini mungkin dapat dibutuhkan untuk melokalkan kwe tiew untuk mengurangi ketergantungian pada gandum.
Kehati-hatian pemerintah dan publik tentang pentingnya diversifikasi makanan sehari yang berbasis lokal kini menjadi semakin penting untuk dikerjakan. Tidak hanya beras, masih cukup banyak jenis makanan lokal yang dapat diolah untuk menjadi makanan atau kudapan yang lebih enak.
Tantangan terbesar industri makanan hari ini adalah masuknya berbagai jenis fast food tidak hanya dari AS, akan tetapi juga dari Jepang, Korea, dan Italia. Anak-anak kita hari ini sudah makan ramen Jepang, pizza Italia, burger dan donut AS, dan itu adalah gandum basisnya. Sekarang makanan itu masih di ibu kota propinsi, dan sebentar lagi akan masuk ke kabupaten.
Ketergatungan dengan makanan berbasis gandum –tepung terigu– segera akan mendapat goncangan baru dalam beberapa waktu ke depan. Memteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo sudah memberi isyarat untuk kenaikan harga mi instan akan naik 3 kali lipat. Ini artinya mi yang salama ini harganya 3000 rupiah akan berharga 9.000 rupiah.
Indonesia, menurut data dari Katadata (2022) merupakan negara pengkonsumsi mi instan terbesar kedua di dunia setelah negara Cina. Dari 118.18 miliar bungkus mi instan dunia, konsumen Indonesia menghabiskan 13,27 miliar bungkus-11,23 persen. Posisi nomor satu dipegang Cina dengan jumlah konsumsi 43.99 miliar bungkus, atau sekitar 37,22 persen.
Mengingat ancaman harga gandum dan ketidakpastian keamanan pangan global, kecenderungan kenaikan porsi terigu dalam konsumsi sehari-hari yang terus meningkat adalah ancaman besar masa depan kita. Pilihannya tidak banyak, memproduksi sendiri- sesuatu yang tidak mungkin, atau kembali menggunakan lebih banyak bahan lokal berikut dengan diversivikasi menu. Kalau tidak, teumon ie berbahan terigu akan punya dua pilihan, harga tetap dengan ukuran super mini, atau ukuran tetap, harga semakin tinggi.