Komparatif.ID, Banda Aceh— Kuah beulangong ala Lhoknga, dipilih oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh sebagai menu utama pembubaran panitia Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) 8.
Makan siang bersama bertambah meriah ketika Ketua PWI Aceh Nasir Nurdin, dan Sekretaris Muhammad Zairin, menyeruput sumsum tulang lembu.
Langit Banda Aceh, Sabtu (18/11/2023) tidak cerah. Mendung bergelayut di langit. Bara api berkobar di bawah belanga besar berisi hampir 40 kilogram daging sapi lokal yang sedang dimasak di atas tungku.
Kuah berbumbu kari menggelar dipanaskan oleh api membara. Asap yang mengangkut aroma daging yang hampir masak, menebar semerbak.
Nasir Nurdin yang sedang duduk di ruang kerjanya, turun ke bawah. Dia berdiri di pintu gang sempit, menatap ke arah dua koki kuah beulangong yang sedang memasak. Pria berkacamata itu tersenyum. Dia melangkah turun, menuruni anak tangga, dan kemudian menapak ke samping belanga besar.
Tangannya meraih satu aweuk panyang yang dibuat dari kayu. Dia mengaduk isi belanga yang telah ditambahkan batang pisang. Hati batang pisang yang telah dipotong-potong, dicampurkan ke dalam kuah, setelah daging empuk.
Secara umum, batang pisang yang dicampur ke dalam kuah beulangong yaitu dari batang pisang hutan yang batang dan pelepahnya berwarna merah. Dalam bahasa Aceh disebut pisang bu (pisang monyet). Tapi, kalau ingin mendapatkan rasa lebih enak, hati batang pisang wak (sejenis pisang batu) lebih pas. Hanya saja karena jumlahnya sangat terbatas, maka tidak dipilih oleh banyak koki.
Baca juga: Mengapa Kuah Beulangong Dicampur Nangka Muda?
Si koki berumur sekitar 50 tahun lebih itu menjelaskan, di Aceh Besar, campuran kuah beulangong ada beberapa jenis. Sesuai dengan wilayah. Ada yang mencampurnya dengan gori (Nangka muda), buah pisang,dan batang pisang. Soal rasa nyaris tidak ada perbedaan. Semakin jago seorang koki, maka bertambah nikmat pula rasa kuah beulangong.
Nasir Nurdin semringah tatkala menghidu aroma kuah beulangong itu. dua pria kurus di sampingnya tersenyum. Mereka bahagia kerja kerasnya diapresiasi.
Pukul 11.30 WIB, kuah beulangong itu tanak. Dua koki itu mengambil timba, menciduk kuah dan isinya, menggunakan centong, kemudian menuangnya ke dalam ember. Panitia lainnya, memindahkan kuah dari ember ke dalam tempat khusus, kemudian dihidangkan ke meja.
Tidak ada seremonial. Siapa saja yang datang dan santap siang, dapat mengambil tempat di manapun. Satu-satunya penanda bila Nasir Nurdin dan Zairin adalah pejabat penting di PWI, mereka disajikan tulang lutut lembut yang berisi sumsum. Mereka menyeruput dengan mimik sangat puas.
Nasir Nurdin menyebutkan, makan siang bersama dengan menu kuah beulangong, merupakan bentuk rasa syukur setelah perhelatan PKA 8. PWI ikut ambil bagian dengan membuka stand di arena PKA 8.
Semakin siang, bertambah banyak tamu yang datang. Baik dari kalangan wartawan, perwakilan LSM, hingga pejabat. Salah satu yang hadir yaitu Pj Walikota Sabang Reza Fahlevi. Sementara Kadisbudpar Aceh Almuniza Kamal, sedang berada di Kota Lhokseumawe, pulang ke kampung halaman istrinya.
Beberapa orang mengaku didera rasa kantuk setelah santap kuah beulangong. Sembari tersenyum mereka mengatakan rasa kari tersebut sangat enak. Percampuran bumbu rempahnya pas. Tidak lebih dan tidak kurang.