Saat saya menjabat sebagai Direktur Eksekutif Forum Peduli HAM (FPHAM) pada November 1998, saya dan Komnas HAM melakukan penggalian terhadap sebuah kuburan di kawasan Lhoksukon. Menurut info kuburan berisikan beberapa korban konflik. Dipimpin oleh dua pakar forensik di Amerika Serikat, kegiatan hari tersebut berlangsung sampai pukul 18.00 WIB.
Sekitar pukul 09.00 pagi penggalian selesai. Isinya tiga tengkorak dengan, tulang belulang, beberapa potong pakaian serta tali rafia yang masih utuh melekat pada tulang tangan. Saya turut serta membersihkan tulang-tulang itu, mengukur panjang dan beratnya di bawah pengawasan kedua pakar tersebut.
Seluruh tulang lalu dimasukkan ke dalam kardus dan kami serahkan kepada Polsek Lhoksukon dengan pesan untuk dikuburkan kembali dengan perangkat desa dan diberi tanda “korban konflik.”
Pada 2011 saya diundang oleh LSM KontraS Aceh untuk berbicara di depan sekitar 100 warga masyarakat, mayoritas Aceh Besar dan Pidie, yang anggota keluarganya hilang saat konflik. Nama acara: Peringatan Hari Penghilangan Paksa Internasional di Asrama Haji, Banda Aceh.
Baca: Kisah Suami Istri yang Disiksa di Rumoh Geudong
KontraS turut memajang pakaian (baju, celana, sandal) para korban yang tidak diketahui lagi nasibnya itu. Saya menyampaikan pidato dengan menahan air mata kesedihan yang tak terperikan. Seusai pidato, sejumlah keluarga itu datang memeluk saya,“Bantu kami, Pak,bantu kami, Pak, bantu kami, Nak!” kata mereka dalam bahasa Aceh. Air mata saya jatuh.
November 2018 saya memenuhi undangan Komisi Kebenaran dan Rekonsliasi (KKR) Aceh. Tugas saya adalah memberi kesaksian ahli dalam Forum Dengar Kesaksian (RDK) para korban penyiksaan (tema saat itu) dalam rentang masa konflik sampai 2005. Hadir 14 korban dari Aceh Besar, Pidie, Benar Meriah, dan Aceh Selatan.
Semua mereka menyampaikan testimoni. Lalu saya dipanggil naik panggung dan memberikan pandangan-pandangan saya tentang pelanggaran HAM yang tadi saya dengar dari testimoni. Saat itu saya bicara hak-hak korban dan mekanisme penyelesaian kasus, secara lokal, nasional dan internasional.
Di Anjong Mon Mata itu, perasaan sedih mendalam kembali mendera saya. Saya teringat tulang belulang manusia di Lhoksukon, kepada wajah para keluarga dari korban yang hilang saat bertemu di Asrama Haji Banda Aceh, kepada ratusan korban lainnya yang saya temui bersama relawan pada tahun 1998-1999 saat melakukan investigasi kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di Aceh Timur, Aceh Utara, dan Pidie.
Tiga kisah di atas memang sangat personal. Tujuannya adalah memberitahu publik bahwa persoalan kejahatan HAM di beberapa tempat di Aceh bukanlah kisah fiktif, melainkan kisah nyata yang sarat dengan kepedihan.
Juga penuh tanda tanya. Di Lhoksukon itu, mengapa mereka dibunuh dan ditanam dalam satu lubang yang sama? Satu tengkorak bahkan terlihat bekas peluru tepat di bagian ubun-ubun. Namun kami tak tahu siapa gerangan para korban itu.
Baca: Ini Dia Penampakan Masjid Arrahman Rumoh Geudong
Lalu para keluarga di Asrama Haji; mengapa anggota keluarga mereka hilang? Siapa yang menghilangkan mereka? Dan di mana mayat mereka berada. Kemudian di Anjong Mon Mata. Apa yang menyebabkan mereka mengalami penyiksaan? Apa salah mereka?
Mari pula kita beranda-andai. Jika semua para korban dan ahli waris itu ditanya apakah para pelaku kejahatan serius atau kejahatan berat seharusnya dihukum? Mungkin 100% akan menjawab “YA.” Itulah sebabnya mengapa berbagai negara memiliki peraturan-peraturan hukum kriminal. Indonesia misalnya memiliki KUHP, UU HAM, dan UU Pengadilan HAM.
Namun, menyeret para pelaku ke meja hijau ibarat mendorong bongkahan beberapa ton batu dengan tangan kosong. Sendirian saja. Terasa begitu mustahil. Terkhusus lagi jika pelaku kejahatan kemanusiaan itu adalah aparatur pemerintah, aparat keamanan, polisi, militer, dan berbagai kesatuan lain.
Penguasa tahu tentang kejahatan ini, tetapi enggan untuk melakukan proses hukum secara serius. Ibarat menepuk air di dulang, terpecik ke muka sendiri. Padahal bisa saja para pelaku menyalahi hukum dan melanggar HAM. Kemuliaan tujuan tak bisa justifikasikan dengan melakukan kejahatan. Di sini praktik impunitas berlangsung. Para pelaku tak dijerat dengan tali hukum.
Komnas HAM sudah menyelidiki 17 kasus yang kemudian dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Dari 17 kasus ini, 12 sudah diakui oleh negara melalui pernyataan Presiden Jokowi pada awal Januari lalu. Namun, tak ada yang sampai kepada penuntutan.
Internasional sepakat mengutuk setiap impunitas. Hukum internasional mengandung beberapa peraturan khusus yang berkaitan dengan upaya penuntutan dan pemberian hukum kepada pelaku kejahatan kemanusiaan.
Dasar peradilan kepada mereka adalah pada fakta pelaku telah melanggar prinsip kemanusiaan sendiri. Maka diaturlah bahwa kejahatan genosida dan apartheid dapat dihukum.Keduanya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pun demikian dengan penyiksaan, juga adalah kejahatan berat HAM.
Pelaku kejahatan-kejahatan tadi, jika masuk ke beberapa negara, dapat ditangkap dan dapat diesktradisi atau diadili di negara di mana dia ditangkap. Namun, norma-norma hukum internasional itu sering lebih indah di dalam aturan dibanding realita.
Karena itu PBB memegang prinsip bahwa seluruh kejahatan kemanusiaan harus terlebih dahulu diadili di dalam negeri, dengan menggunakan mekanisme hukum yang ada. Jika suatu negara tak mampu, atau tak mau, maka individu yang HAM-nya dilanggar atau ahli warisnya bisa melaporkan ke Komisi Tinggi HAM PBB. Namun, jalan ini pun teramat tidak mudah.
Ini terasa kontras sekali dengan hak korban yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dan juga konvensi internasional. Korban berhak atas kebenaran atau hak untuk tahu, hak atas keadilan, hak atas reparasi,dan hak atas jaminan ketidakberulangan.
Jika ada proses persidangan, para korban juga berhak atas perlindungan dari ancaman fisik dan teror dari pihak mana pun. Jika kasus dapat diadili, korban juga berhak terhadap pemulihan nama baik dan ganti rugi atau kompensasi.
Dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, hak korban bahkan diatur secara lebih luas. Ini misalnya mencakup: hak keamanan diri dan keluarga; hak bantuan hukum; hak atas informasi penyelesaian perkara; hak bantuan biaya hidup, medis dan psikososial, dan beberapa hak lainnya.
Tetapi, peraturan atau UU adalah benda mati. Manusialah yang membuatnya hidup. Manusia yang harus menerjemahkan bahwa inti para pemenuhan hak itu juga mencakup pemberian keadilan kepada para korban dengan beragam cara dan upaya. Jika itu tak dilakukan, maka nasib korban adalah seperti pungguk merindukan bulan.