
Komparatif.ID, Banda Aceh— Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh merekomendasikan sebanyak 2.680 korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa konflik Aceh kepada Badan Reintegrasi Aceh (BRA) untuk mendapatkan reparasi atau hak pemulihan dalam periode 2025 hingga 2030.
“Secara keseluruhan dari 2025-2030, BRA sudah menginput 2.680 data korban pelanggaran HAM masa lalu berdasarkan rekomendasi KKR Aceh untuk mendapatkan reparasi,” kata Ketua Pokja Reparasi KKR Aceh, Yuliati, melansir Antara, Senin (3/11/2025).
Khusus untuk 2025, KKR Aceh juga telah merekomendasikan sebanyak 557 korban pelanggaran HAM agar memperoleh reparasi dari BRA. Data tersebut, kata Yuliati, kini masih menunggu proses realisasi.
Hingga kini, KKR Aceh telah mengambil pernyataan dari 5.155 korban pelanggaran HAM masa lalu. Selain itu, terdapat 1.200 kasus lain yang masih dalam tahap analisis kebenaran sebelum dapat direkomendasikan untuk mendapatkan hak pemulihan.
Yuliati menjelaskan, sejauh ini KKR Aceh telah menyalurkan reparasi mendesak kepada 235 korban dari total 242 nama yang direkomendasikan kepada Gubernur Aceh melalui BRA pada 2022. Bantuan tersebut diberikan dalam bentuk bantuan sosial berupa uang tunai.
Baca juga: 23 Tahun Berlalu, Pelanggaran HAM Berat Bumi Flora Masih Menggantung
BRA sendiri merupakan lembaga yang dibentuk pascaperdamaian Aceh melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Lembaga ini berada di bawah Pemerintah Aceh dan memiliki tugas mengakomodasi kebutuhan mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tahanan dan narapidana politik, serta korban konflik lainnya.
Menurut Yuliati, bentuk reparasi ke depan tidak lagi hanya berupa bantuan sosial, melainkan akan difokuskan pada pemberdayaan ekonomi dan rehabilitasi sosial. Skema baru ini diatur dalam Keputusan Gubernur Aceh Nomor 100.3.2/1180/2025 tentang Penetapan Pedoman Pelaksanaan Reparasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Masa Lalu di Aceh yang ditandatangani pada 29 September 2025.
“Kalau dulu kita tidak memiliki ketentuan khusus soal reparasi sehingga diberikan dalam bentuk bansos. Tapi mulai ke depan, sudah ada dua skema, yaitu pemberdayaan ekonomi dan rehabilitasi sosial,” ujarnya.
Yuliati menegaskan bahwa pemenuhan hak korban bersifat berkelanjutan dan dapat diberikan kepada siapa pun tanpa memandang kondisi ekonomi. Ia menekankan, yang terpenting adalah adanya bukti bahwa seseorang benar merupakan korban pelanggaran HAM di masa lalu.
“Ketika dia adalah korban yang pernah mengalami peristiwa di masa lalu, dia berhak untuk mendapatkan pemenuhan atau pemulihan yang memang menjadi haknya,” kata Yuliati.











