Komparatif.ID, Banda Aceh— Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah I Kementerian Kebudayaan (Kemenbud) bersama Masyarakat Peduli Sejarah Aceh (Mapesa) menggelar pameran Perang Aceh-Belanda 1873–1903 di Taman Gunongan, Banda Aceh, mulai Senin (24/11/2025) hari ini.
Pameran ini menghadirkan berbagai artefak sejarah yang selama ini jarang tersentuh publik, termasuk senjata, dokumen, manuskrip, dan catatan ilmiah yang berkaitan dengan perlawanan rakyat Aceh melawan kolonial Belanda.
Peneliti Sejarah Islam Mapesa, H. Aridho Hidayat Alif, mengatakan pameran ini penting karena menyajikan fakta-fakta ilmiah yang selama ini tidak banyak diketahui masyarakat luas.
Ia menegaskan bahwa melihat kembali sejarah Perang Aceh bukan hanya untuk mengenang masa lalu, tetapi juga untuk memahami bagaimana orang Aceh memaknai dirinya sendiri.
“Pameran ini menghadirkan data-data ilmiah bagaimana Aceh melihat dirinya sendiri. Bukan melulu dari mata-mata Belanda, para penjajah, atau yang mereka tebal yang iri terhadap Aceh,” ujarnya melalui medsos Mapesa, Senin (24/11/2025).
Baca juga: Puluhan Nisan Bersejarah di Gampong Jawa Dicuri Mafia
Menurut Aridho, pameran ini menjadi ruang untuk menghadirkan sudut pandang yang selama ini kurang diangkat. Ia menjelaskan bahwa sejarah Perang Aceh tidak hanya ditulis oleh Belanda, tetapi Aceh memiliki rekamannya sendiri yang tidak kalah lengkap dan ilmiah.
Melalui artefak dan dokumen yang ditampilkan, pengunjung dapat melihat bagaimana Aceh memandang perjuangannya, bukan sekadar melalui kacamata pihak penjajah.
Ia menilai banyak narasi kolonial yang selama ini mendominasi pembacaan sejarah justru menutupi aspek penting tentang strategi, keyakinan, dan keteguhan rakyat Aceh dalam menghadapi invasi Belanda.
Aridho mengatakan pameran ini memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengenali kembali jati diri mereka melalui sumber-sumber asli orang Aceh.
Ia menyebut bahwa rekaman sejarah yang ditampilkan memuat cara berpikir dan cara masyarakat Aceh mendokumentasikan perlawanan mereka, baik melalui catatan tertulis, manuskrip, maupun peninggalan senjata yang digunakan pada masa perang.
Pameran ini tidak hanya menampilkan benda-benda perang, tetapi juga rangkaian dokumen langka yang menjelaskan strategi, dinamika sosial, dan peran tokoh-tokoh Aceh dalam mempertahankan kedaulatan.
Pengunjung dapat melihat bagaimana perlawanan terjadi bukan hanya di medan tempur, tetapi juga melalui kemampuan intelektual dan spiritual masyarakat Aceh dalam merumuskan taktik dan mempertahankan keyakinan.
“Semua ini menunjukkan bahwa perjuangan tidak hanya terjadi di medan tempur, tapi juga dalam pikiran, strategi, dan keyakinan rakyat Aceh yang memilih melawan penjajah,” imbuhnya.












