“Jika kita mengikuti perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligent), – yang akhir-akhir ini sering dibincangkan, bahkan dijadikan tema dalam Kongres Peradaban Aceh kali ini – kita akan mulai mendapat gambaran bahwa kecerdasan buatan ini beroperasi pada tatanan kognisi rendah.”
Sejak lama rakyat Aceh menghidupi kondisi alamiah yang kaya keragaman budaya. Rakyat Aceh yang sama ini hidup dalam beberapa kelompok etnik yang agak berbeda dalam latar kebudayaan,bahasa, makanan, adat, seni, upacara dan tradisinya. Sekurangnya ada 8 etnik Aceh yang tersebar di seluruh Aceh, yakni etnik Aceh, Tamiang, Gayo, Alas, Kluét, Aneuk Jamee, Simelue, Lokop, dan Singkel.
Sejak lama juga, rakyat Aceh akrab dengan pembauran dan sadar bahwa Aceh terbentuk karena interaksi budaya. Kaum pendatang berbaur dengan masyarakat melalui perdagangan, pendidikan,siar agama, hingga peperangan. Penduduk Aceh bermigrasi ke kota-kota bahkan ke negara lain,untuk bermukim atau berkunjung. Jadi seakan-akan ada rakyat Aceh yang tinggal di Provinsi NAD, dan banyak pula sebagai Aceh yang bermukim di luar NAD; jadi ada Aceh “dalam” dan Aceh “luar”.
Kedua kelompok ini mengalami berbagai persoalan interaksi budaya dalam menjalani hidupnya, yang tidak dapat lepas dari nilai-nilai budaya ke “Aceh-an” dalam tradisi dan adatinya. Telah terjadi perubahan dan pergeseran pola hidup, akibat modernisasi keindonesiaan, keberbaurannya dengan masyarakat nasional yang lebih beragam, baik yang terjadi di Aceh, maupun bagi mereka yang berada di rantau di luar Aceh.
Baca: Gerhana Kebudayaan Aceh
“Keragaman dan keberbauran ini merupakan bukti bahwa kegiatan manusia, yang mengacu pada nilai-nilai budaya, tidak selalu tetap konstan; tetapi senantiasa berubah, bergerak, beralih, menyesuaikan diri dengan zamannya.”
Nilai adalah dimensi lebih sempit dari budaya. Ia mengacu pada apa yang dianggap baik, pantas,buruk, tidak pantas. Nilai adalah dimensi abstrak dari budaya, tapi terukur dan disepakati secara sosial untuk menjadi pedoman. Tiap zaman memiliki tatanan nilai bersama. Dalam dimensi waktu, seterusnya nilai lama atau nilai tradisional, tidak harus menghilang, lenyap, lalu digantikan oleh nilai-nilai yang sama sekali baru. Selalu proses interaksi dialogis yang dinamik.
Budaya adalah urusan kompleks, dan saya pikir dekat dengan apa yang kita maknai tentang peradaban. Budaya terbentuk karena terjadinya akulturasi dengan budaya lain sehingga semakin berkembang baik dalam pengetahuan, aktivitas, dan material. Perkembangan yang kompleks itu mengakibatkan perubahan nilai-nilai karena selalu ada kesepakatan-kesepakatan baru di atas yang lama. Masalah “lama” dan “baru” itu adalah masalah kita yang berdiri di masa kini. Pada saat nilai-nilai kultural diciptakan, acuannya adalah konteks sosial yang cocok dengan budaya pada masa itu. Jadi nilai-nilai budaya (katakanlah nilai dalam tradisi) sebetulnya kontekstual pada zamannya.
Agama Islam (dengan nilai-nilai “baru”nya ketika itu) datang ke Aceh dan hidup berkembang menjadi falsafah yang esensial sebagai pedoman hidup dan berbudaya masyarakat Aceh. Nilai islami yang dimaknai sebagai rahmat untuk alam dan untuk sesama manusia, dapat berkembang di Aceh karena sejalan dengan sikap penghargaan terhadap keragaman dan keberbauran budaya di Aceh, atau bahkan tempat-tempat lain di dunia sepanjang sejarah peradaban.
Dalam kata lain, nilai-nilai Aceh sejalur dengan nilai-nilai Islam jika masyarakatnya sendiri ingat untuk menghargai keberagaman, kedalaman spiritual nenek moyang, dan bersedia mengaktualisasikan nilai-nilai dengan perubahan kebudayaan. Seterusnya, nilai Islami ini bersifat sebagai payung kebatinan universal yang mengayomi untuk merespon atau menciptakan nilai-nilai baru dalam kebudayaan Aceh yang aktual. Dialog kreatif dengan melihat masa lalu sebagai inspirasi untuk masa depan adalah prinsip saya dalam memikirkan budaya dan seni. Dalam bahasa lebih singkat, nilai-nilai ini yang harus kita jadikan “spirit” yang masuk dalam batin.
Seni merupakan kegiatan budaya yang sarat dengan penciptaan nilai-nilai baru yang memperkaya batin. Kesenian yang tercipta di zaman lampau dan mampu bertahan hingga saat ini kita hidupi sebagai adat tradisi yang berisi nilai-nilai aktual untuk memperkuat batin.
Artinya akar masa lalu jangan putus, walau alasan sebaik-baiknya orang bertindak tradisi karena ada relevansi dengan masa kini. Oleh karena itu, kesenian merupakan kegiatan budaya yang luhur karena dilakukan oleh seniman dengan perasaan halus yang sangat menghargai tradisi, sehingga mampu menelitinya dan mencipta nilai-nilai baru berdasar dialog dirinya di masa kini dengan masa lalunya: Tradisional dan modern saling rangkul; terinspirasi oleh tradisi (berdialog secara kreatif dengan nilai/kebijaksanaan masa lalu) untuk mencipta solusi masa kini.
Kembali pada dimensi nilai, kita bicara dalam tingkatan abstrak untuk pedoman kolektif tentang mana yang baik, berguna, memajukan, dan mengembangkan dalam batin kita sendiri. Dengan mengelola kegiatan dan pendidikan kesenian diharapkan dapat lahir seseorang yang mampu berpikir strategis untuk memperkuat pembangunan budaya Aceh yang terintegrasi antara aspek materialistik dengan nilai-nilai budaya yang spiritual di dalamnya.
Sifat seniman tidak dapat tumbuh dalam seseorang yang secara kaku menerima pengetahuan dan fenomena yang ada sebagai resep dan doktrin. Batin itu tidak akan berkembang dan tumbuh subur dalam doktrin sebab doktrin mematikan perasaan. Sifat kesenimanan hanya dapat tumbuh jika dibiarkan tumbuh dalam rasa akrab, alamiah, logis, yakin, dan mengalir merupakan suatu proses panjang yang ada dan hidup dalam dirinya karena hubungannya dengan sesama manusia, dengan alam lingkungan, dan dengan Tuhannya. Seni adalah pencapaian naluriah kemanusiaan tertinggi ketika logika, rasionalitas yang kaku menjadi lentur, terbuka, dan bertemu dengan kebenaran yang maha tinggi.
Menyadari bahwa naluri, darah, nafas Islami itu sudah ada dan terbentuk dalam masyarakat Aceh, seperti kita selalu ingat ujar-ujar bijak yang berbunyi:”Tuboh di Adam, nyawong di Nabi, eleumée di Tuhan”(Tubuh dalan diri Adam, nyawa dalam diri Nabi, dan iImu diturunkan oleh Tuhan) maka pengamatan (analisis) terhadap manusia dan kemanusiawian merupakan struktur (tubuh) yang penting dalam memahami kehidupan, termasuk untuk kebudayaan dan kesenian.
Misalnya di dalam studi desain, pengetahuan tentang “human(ity) centered design” menjadi studi kontemporer yang sangat dipergunakan hari ini terutama dikaitkan pada desain untuk perangkat aplikasi teknologi dan layanan kebutuhan sehari-hari. Dalam studi seni dan filsafat, tentulah studi mengenai materialisme, tubuh dan kesadaran menjadi sumber inspirasi untuk penciptaan konsepkonsep baru.
Dengan meneladani (mengevaluasi/menghargai) hidup Nabi, kita akan menemukan kekayaan mengenai semangat menghargai hidup, kesungguhan berupaya, dan kesabaran melakukan proses dan menerima hasil yang terbaik untuk kita. Dalam melakukan kegiatan berkesenian dan berbudaya, seseorang harus bergantung pada keyakinan akan adanya ketetapan ilahiah yang berupa logika alamiah, keterkaitan antara usaha dan hasil. Usaha ini akan membentuk kepercayaan akan adanya kemungkinan atau alternatif lain, sehingga mendorong dirinya untuk melakukan percobaan/eksperimen terus menerus. Hanya melalui eksperimen akan tercipta nilainilai baru, tidak terduga, yang berbeda dengan yang sudah ada.
Sumber keyakinan utama ada pada Tuhan. Hanya dengan memahami kebesaran Tuhan, kita dapat memiliki keberanian untuk berimajinasi, mencoba mengerti sifat-sifat Tuhan yang Maha Pencipta. Dari imajinasi itu terbentuklah pengetahuan dan bakal pengetahuan baru. Berbekal ilmu dari Tuhan itulah manusia kemudian berbudaya dan berkesenian yang utuh.
Jika kita mengikuti perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligent), – yang akhir-akhir ini sering dibincangkan, bahkan dijadikan tema dalam Kongres Peradaban Aceh kali ini – kita akan mulai mendapat gambaran bahwa kecerdasan buatan ini beroperasi pada tatanan kognisi rendah.
Hal itu dikarenakan, karakteristik teknologi di balik kecerdasan buatan yang antara lain berupa kemampuan pembelajaran mesin agar mampu memprediksi dan merekomendasi dari sejumlah data yang ada (machine learning), kemampuan menerjemahkan tampilan data yang alamiah (natural language processing), dan kemampuan menghasilkan data baru hasil pembelajaran sejumlah jejaring data yang ada (generative adversarial network); mirip dengan proses kita dalam mengingat-mengerti-menerapkan karena dalam tataran kognisi rendah ini. Seluruh kegiatannya berdasarkan pada pengetahuan atau data yang sudah ada.
Kecerdasan buatan sangat berguna untuk mengatasi masalah operasional umum yang bila dilakukan secara biasa akan menyita waktu dan kurang produktif. Tetapi, mengetik pertanyaan di sebuah gawai dan dijawab oleh robot, tanpa sikap skeptis/analitik terhadap bias dari algoritma, tentulah bukan pengetahuan yang lengkap. Memasukkan kata kunci (prompt) di aplikasi kecerdasan buatan generatif, hingga muncul hasil visual, teks, atau video, tentulah bukan mencipta, tetapi hanya menerapkan.
Kecerdasan buatan komputer adalah alat bantu, tapi bukan untuk merasakan dan memahami kenyataan secara paripurna sebagaimana seharusnya seni dan peradaban. Sebab diperlukan “kognisi tinggi” sebagai sesuatu yang reflektif. Perenungan hanya datang dari daging, darah, batin, perasaan, kecemasan, kesedihan, kemarahan, untuk dapat berpikir utuh, untuk dapat mengalami dengan lengkap sebuah kenyataan sebagai sebuah pengalaman batin aktual.
Sebuah language generative model, selamanya hanya akan meniru bahasa kita, bukan menjadi kita. Seperti seekor kucing yang berputar-putar mengejar ekornya sendiri, itulah kecerdasan buatan yaitu sebuah “kecerdasan tingkat rendah” yang hanya mampu membuat fatamorgana.
Tapi kecerdasan buatan adalah peluang. Sebagai seniman dan desainer, saya membayangkan kegiatan seni budaya sudah tentu harus bisa mendayagunakan perangkat kecerdasan buatan untuk meningkatkan produktivitas berkesenian. Pendayagunaan masukan dari kecerdasan buatan sangat membantu kekayaan riset pengetahuan, masukan penyempurnaan narasi, mengidentifikasi faktor umum yang luput dipertimbangkan, eksperimen tambahan sketsa visualisasi, dan kegiatan pengayaan perwujudan imajinasi kita lainnya. Tapi kecerdasan buatan itu hanya meniru perasaan, dia tidak merasakan. Maka tanpa itu, ia tidak membuat pemerkasaan apa pun.
Walaupun demikian, pemikiran seni dan kebudayaan sangat potensial untuk bersinergi dengan kecerdasan buatan dengan mengeksplorasi karakteristik teknologinya, bukan dengan hanya menggunakan fungsi umumnya dalam menghasilkan “jawaban-jawaban rekayasa”. Seseorang seniman, ahli sastra, ahli sejarah, antropolog, arkeolog, filolog dan lain-lain yang menggunakan kecerdasan buatan, tidak akan berhenti pada utilitas visual, tekstual, atau urusan kelengkapan data. Tapi seharusnya dapat memanfaatkan teknologi itu untuk lebih melihat persoalan seni budaya secara kompleks terkait dengan isu umum humanitas karena kecerdasan buatan itu akan membantunya mempelajari koneksi antara ratusan paper, memberikan alternatif pemahaman—tapi bukan jawaban reflektif.
Kecerdasan buatan mampu memberi cakrawala lebih tapi keputusan untuk melihat jauh dan memperkaya batin hanya datang dari kita sendiri, dari nilai-nilai kita bela dengan setia, dari ikhtiar kita untuk membantu memperbaiki dunia dan krisis multidimensinya yang kita buat sendiri. Kita yang bertanggung jawab. Demi masa depan
Begitulah adat dan budaya Aceh terus menggeliat, tidak diam. Menggeliat itu adalah upaya meregang diri untuk mencari kenyamanan yang lebih serasi dan sesuai, dan tentunya lebih menyegarkan. Karena itu, kita harus berancang-ancang dengan menggeliat yang benar, agar tidak ada otot yang tegang dan tulang yang retak. Menggeliat menandakan sesuatu masih hidup dan dinamis.
Bandung, 11 Maret 2024.
Oleh AD Pirous
Catatan redaksi: Artikel ini dibacakan oleh orang lain pada Kongres Kebudayaan Aceh (KKA) II 2024 di ISBI, Jantho, Aceh Besar,Selasa, 7 Mei 2024. AD Pirous meninggal dunia pada 16 April 2024 di Bandung.