
Komparatif.ID, Banda Aceh— Kebutuhan pangan masyarakat Aceh masih sangat bergantung pada pasokan dari provinsi tetangga mencapai 70 persen dari total kebutuhan harian.
Fakta ini diungkapkan oleh Zubir Marzuki, praktisi perdagangan pangan dan ASN Dinas Pangan Aceh, saat pelantikan Satgassus Swasembada Pangan Kota Banda Aceh, Minggu, (27/4/2025).
“Kondisi Aceh hari ini masih sangat ketergantungan pangan ke provinsi tetangga mencapai 70 persen,” ujarnya.
Zubir mengatakan Aceh saat ini baru mampu mencapai swasembada beras, sementara untuk komoditas pangan lain masih jauh dari target. Ia menjelaskan, tingkat kemandirian pangan Aceh baru sekitar 20 persen, sehingga ketergantungan terhadap pasokan luar daerah masih tinggi.
Beberapa komoditas utama seperti bawang merah, cabai, telur, daging sapi dan kambing, serta berbagai jenis sayuran dan bahan pangan olahan, masih harus didatangkan dari luar setiap harinya dalam jumlah besar.
Baca juga: Aceh Bisa Dapat 82 Triliun Per Tahun, Tak Perlu Dana Otsus
Kebutuhan harian Aceh terhadap sayuran seperti kentang, kol, sawi, kembang kol, wortel, brokoli, dan tomat tercatat mencapai 200 ton. Untuk bawang merah, kebutuhan mencapai 43 ton per hari, daging sapi 18 ton, telur ayam ras 1,8 juta butir, telur bebek 320 ribu butir, daging bebek 52 ribu ekor, dan ayam kampung pedaging 7.000 ekor setiap hari.
Selain itu, kebutuhan harian tepung beras mencapai 60 ton, tepung ubi atau tapioka 50 ton, nenas 90 ton, dan jeruk manis 64 ton. Semua komoditas ini sebagian besar masih dipasok dari luar Aceh.
Zubir menekankan pentingnya kehadiran Satgassus Swasembada Pangan untuk membantu pemerintah daerah dalam membina dan memonitor program-program ketahanan pangan agar berjalan baik dan benar. Ia berharap, pemerintah daerah juga dapat mendukung Satgassus dengan alokasi anggaran untuk memperkuat peran mereka di lapangan.
“Salah satu masalah mendasar yang perlu diatasi adalah ketergantungan Aceh terhadap pasokan pangan dari luar provinsi, sehingga melemahkan kemandirian ekonomi dan menghambat pertumbuhan industri lokal,” lanjutnya.
Ia menilai, potensi Aceh untuk kemandirian pangan sangat besar. Dengan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat lokal, Aceh dapat memperkuat produksi bawang merah, cabai, telur, sayuran, nenas, jeruk, daging, dan susu.
Saat ini, belanja kebutuhan pangan masyarakat Aceh telah mencapai Rp25 ribu per kapita per hari, atau sekitar Rp51 triliun per tahun. Sementara itu, belanja non-pangan mencapai Rp 15 ribu per kapita per hari atau sekitar Rp 31 triliun per tahun.
Zubir berharap pada 2026, Aceh sudah mulai mempertahankan dana besar ini agar berputar di dalam daerah sendiri, sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menekan angka pengangguran.
“Kemandirian pangan di Aceh dapat dicapai melalui pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan dan pemberdayaan masyarakat lokal,” imbuhnya.
Ia juga menyoroti pentingnya regulasi pembiayaan berbasis syariah untuk mendukung petani, peternak, nelayan, serta industri pangan lokal. Menurutnya, pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota bersama wakil rakyat harus berani mengambil langkah konkret, seperti mengoptimalkan peran Bank Daerah tidak hanya untuk mencari keuntungan tetapi juga untuk memberikan manfaat besar bagi kemajuan ekonomi daerah.
Pemanfaatan Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang disediakan pemerintah pusat, menurutnya, harus dimaksimalkan untuk kemajuan Aceh.